Aku Pikir Aku Rasa

Kenapa Pengalaman Merasakanku Terkesan Tak Murni

Rakean Radya Al Barra
4 min readAug 9, 2024
Photo by Nik on Unsplash

Ketika Rajji dan Arsyad dan Rakean disatukan, ada saja bahan pikir aneh yang lahir dari semilir semesta dan mendaratkan diri di loncatan sinaps. Kali ini, Mei 2024, sembari aku asyik menyusun slides di samping mereka, aku ikut menyimak pembicaraan yang dimulai Rajji tentang responsnya dalam mengolah perasaan.

Rajji baru-baru sadar bahwa ternyata cara kami bertiga menyikapi perasaan sendiri tak begitu umum. Hal tersebut ia simpulkan dari interaksinya dengan ragam manusia — hal yang cukup insightful bagi kami karena most likely spektrum sosialnya Rajji ter-diverse di antara kami bertiga.

Yang Rajji temukan dari penggaliannya terhadap cara hidup manusia adalah bahwa umumnya, orang merasakan sesuatu dan that’s it. Ada pemicu yang membuat marah, misal, maka marah tersebut langsung termanifestasi dalam aksi, baik itu eksternalisasi (peluapan) maupun internalisasi (sabar). Atau katakanlah ada yang membuat sedih. Sedih tersebut otomatis mendireksi tindakan secara intuitif. Impuls kesedihan tersebut berwujud dalam berbagai bentuk.

Tentu, jika perasaan tersebut memang dominan, hal tersebut berlaku juga untuk si kami — hanya saja umumnya ada semacam jarak antara impuls perasaan dengan wujudnya. Bagiku setidaknya, perasaan adalah sesuatu yang I figure out. Bukan sesuatu yang aku tahu itu apa. Tak mesti ada proses pembuktian empiris di tingkat diri sendiri, tapi setidaknya pada umumnya ada jeda dan konfirmasi internal dulu bahwasanya — “oh iya kayaknya aku lagi sedih.”

Ia menjadi sesuatu yang harus teridentifikasi, dan bukan sesuatu yang langsung berwujud atau memegang kendali seluruh langkah diri. Tentu ini cukup useful karena jarak antara perasaan dan tindakan membuat seseorang tak mudah dipengaruhi gangguan-gangguan minor menjengkelkan yang biasa membuat orang bertindak macam-macam, tetapi di lain sisi ia cukup membingungkan juga. Mungkin aku tak akan langsung balik mencaci-maki seseorang yang telah mengejekku (kecuali jika bercanda karena itu lucu), tetapi itu lebih karena tak terpengaruh saja ketimbang karena sabar secara sadar, misal.

Nangkep gak yah? Hahaha.

Sederhananya begini: orang-orang suka bilang think before you act, tetapi entah kenapa yang otomatis terpraktikkan adalah think before you feel. Perasaan umumnya mesti teridentifikasi dulu, dan barulah ada wujud-wujud dari perasaan itu. Bergantung situasi, proses identifikasi ini bisa intuitif dan cepat sekali ataupun tak kunjung selesai.

Rajji berpendapat bahwa ini adalah konsekuensi dari ego yang tinggi dan jiwa sok tahu yang seolah paling paham akan dirinya sendiri, sehingga hanya bisa betul-betul merasakan jika dirinya menyematkan label perasaan tersebut terlebih dahulu. Mungkin ada benarnya.

Hal ini membuatku sadar bahwa banyak hal yang aku rasakan itu tidak murni-murni amat. Salah satu contoh paling ketara mungkin adalah perasaan menghamba di saat bulan Ramadhan. Apakah di sujud-sujud malam terakhir aku sedih karena aku betul-betul sedih, atau karena aku menyengaja untuk berpikir bahwa aku sedih karena aku seharusnya sedih dan barulah wujud-wujud kesedihan itu muncul? Hal ini membuatku mempertanyakan kemurnian ibadah, yang sepertinya beneran membuat sedih. Murnikah ini?

Contoh lain: empati. Meskipun aku bisa memposisikan diri sebagai pendengar yang cukup baik (terima kasih teman-teman yang mempercayakan, sekarang aku bisa aja jadi bandar gosip klo mau :P), ada proses identifikasi internal yang berlangsung cukup panjang sampai akhirnya aku bisa betul-betul paham rasanya. Aku berpikir hingga aku merasakan. Aku pikir aku rasa. Murnikah ini?

Lebih jeleknya lagi, ketika orang-orang sudah mengikuti kata hati mengenai “what’s right” dan langsung bertindak karenanya — katakanlah unjuk rasa (apapun bentuknya dan apapun peruntukannya)—aku umumnya masih berkutat dengan pikiran dulu, menyerap input dan mengolahnya secara sadar maupun tidak. Pun jika aku ikut bertindak, biasanya perasaannya muncul belakangan. Murnikah ini?

Lagi-lagi, of course, kalau perasaannya cukup mendominasi, aku pun tak kuasa untuk menahan wujudnya — semisal dibuat jengkel oleh kelakuan annoying si Neng yang mengakibatkan aku langsung menegurnya hahaha (maav neneng). Hanya saja, secara umum, hidup menjadi flat-flat saja dan aku seolah batu stoik yang mengikuti gerak-gerik bumi.

Murnikah ini?

Belakangan ini, aku baru tahu bahwa ada perasaan atau emosi yang berkorelasi dengan sifat diriku yang serba berpikir ini. Bukan baru tahu, sih. Namun, baru tahu bahwa hal tersebut bisa diklasifikasi sebagai emosi. Anehnya, ialah salah satu perasaan yang paling intuitif bagiku. Wujudnya adalah banyak pikiran, mengungkit-ungkit masa lalu, mengada-ada skenario buruk masa depan.

Ia suka memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tingkat kepentingannya mungkin harus dipertanyakan.

“Have I done good enough? Why not?”

“What is this stupid luck? Do I really deserve this?”

“Do I belong here? Why am I here?”

“Am I enough for her? Will I ever be?”

“Murnikah ini?” haha, “Why am I asking these questions?”

Oh. Nama perasaannya?

Anxiety.

Photo by Jonathan Ansel Moy de Vitry on Unsplash

--

--