Amerika: Jawaban Doa yang Tertunda

Rakean Radya Al Barra
6 min readApr 4, 2023

--

Setiap perjalanan tentu meninggalkan kesannya masing-masing. Agar kesan itu tidak hilang, mari kita tuliskan!

hello from philadelphia

Tulisan ini tidak menceritakan detail perjalanan secara khusus, dengan segala perintilan indrawi mengenai tempat, tokoh, dan tanggal. Namun, tulisan ini berhubungan dengan kesan yang tidak ingin kulupakan dari salah satu perjalanan terbesar dalam hidupku.

Semoga ada hikmahnya untuk para pembaca juga.

Pada tahun 2019 aku memutuskan untuk mencoba daftar kuliah S1 ke luar negeri. Salah satu pemicunya tentu saja adalah kesempatan gratis dari pemerintah Jepang untuk jalan-jalan di Tokyo selama satu minggu. Hal itu, ditambah ketidakpuasan terhadap pendidikan yang aku alami dan observasi di Indonesia, ditambah juga dengan rindu kepada masa kecilku yang ngikut ayah S3, membuatku bertekad untuk mengusahakan kembali ke Amerika.

Lagipula, bagiku saat itu, dunia akademik di Amerika terkesan begitu maju. Kampus-kampusnya besar dan berdampak — rajin mencetak inovasi dan berbagai headline berita. Banyak pula kampus-kampus ternama di Amerika, membuatku heran mengenai ketimpangan kemampuan berkompetisi yang begitu jelas. Semua orang pernah dengar Harvard, MIT, Stanford, dan kawan-kawannya. Universitas di Eropa paling hanya segelintir. Apalagi di Asia. Apalagi di Indonesia.

Kesannya sih, maju. Aku tidak begitu memerhatikan kehidupan Ayah sebagai mahasiswa S3 dulu di sana, jadi aku merasa masih dipengaruhi oleh bias prestise dan gemilang yang terus diamplifikasi oleh media.

Dengan begitu, aku mencari-cari cara untuk membuktikan kesan tersebut. Kuselami forum dan vlog. Kudalami kesan alumni dan mahasiswa. Dan… terlihat asik! Aku terkesan dengan budaya akademik yang holistik dan multidisipliner, mendukung mahasiswa untuk mengambil mata kuliah dengan bebas dan menyusun kurikulum pribadi sesuai hasrat eksplorasi. Aku terkesan juga dengan kebebasan berdiskusi dan dinamisnya bahasan dalam kelas — hal yang menunjukkan dedikasi pendidik dan peserta didik terhadap ilmu pengetahuan.

Untungnya aku punya teman seperjuangan. Arsyad, dengan buku SAT andalannya, menjadi partner in crime dalam ambisi ini. Kakaknya, Akhyar, yang saat itu tengah kuliah di Qatar menjadi bukti untuk kita bahwa jalur daftar-mendaftar kuliah yang seperti ini tidak impossible untuk “orang biasa” di Indonesia. Lagipula, kalau Akhyar yang homeschooling bisa terproses segala hal administratifnya, aku dan Arsyad yang berada di sekolah negeri seharusnya aman-aman aja.

Kita ngambis SAT bersama, nyicil persyaratan administratif bersama, bulak-balik ruang guru bersama, dan bahkan kelupaan tanggal ujian bersama (keos beut asli kacau kao syad gelo).

Bahkan ada kalanya aku lebih memilih latihan SAT ketimbang fokus kelas hihi astaghfirullah. Pulang sekolah pun aku mampir dulu di selasar atau kafe Masjid Salman untuk grinding paket soal. Tanpa ada lagi beban organisasi di kelas 12, begitulah keseharianku. Kalau nggak latihan SAT ya menyempurnakan essay.

Hidup yang mendadak penuh persiapan abroad ini ternyata berbuah cukup manis. Nilai SAT-ku sebesar 1500 dengan 790 di Math dan 710 di Reading. Sebenarnya bukan nilai fantastis ala anak Ivy League tapi lumayan lah. Setelah itu, karena mungkin terlanjur merasa aman, aku sedikit slump dan mendapatkan hasil yang agak kureng untuk SAT Subject.

Meskipun begitu, pada akhirnya, aku terus mengejar peluang study abroad. Kutelusuri opsi-opsi bantuan finansial dengan berbagai kemungkinan pengajuannya dan syarat tambahannya. Kususun essay tiap hari, sampai bosan dan frustrasi dengan ke-kurang ideal-annya. Kukumpulkan energi untuk bolak-balik ke ruang TU, guru, dan BK untuk mengurusi segala syarat administratif yang bagi pihak sekolah pun asing dan baru. Aku bahkan sampai tahap interview dengan alumni salah satu universitasnya, yang kurasa kaku dan juga tak ideal haha. Oh well.

Singkat cerita, kuliah S1 di luar negeri belum rezekiku. Tapi alhamdulillah, aku diterima di FTI ITB via SNMPTN peminatan Manajemen Rekayasa. Di lain sisi, si Arsyad justru gap year dan malah keterima di CS NUS setahun kemudian (tiba-tiba beut asli kacau kao syad teu ngajak).

Bagaimana perasaanku? Kecewa sih pasti. Tapi karena aku tau diri, sebetulnya hasil ini diekspektasikan. Toh kampus-kampus yang nekat kucoba daftar adalah kampus-kampus top dunia. Doa-doaku pun sebetulnya tidak meminta kuliah di luar secara eksplisit, tetapi meminta yang terbaik. Dan dengan begitu aku cukup tenang dengan hasilnya.

Singkat cerita (lagi), aku berkuliah di ITB (walau dalam pandemi). Di sana, aku semakin nyaman dan terlarut dalam kehidupan kampus yang kurang-lebih sesuai ekspektasi: dinamika belajar-dan-organisasi khas Bandung yang kutahu akan kusuka. Ambisi studi di Amerika menjadi tinggal mimpi yang aku anggap cukup berharga sebagai hikmah aja.

Lalu muncul makhluk bernama Alifia Ilmi yang tiba-tiba exchange satu semester ke UPenn. Dari melihat jejaknya dan menjejalnya dengan berbagai pertanyaan kepo, akhirnya aku tahu tentang program IISMA beserta berbagai seluk-beluknya. Rupanya cocok. Dari situ aku bertekad untuk diam-diam mendaftar.

Dan entah kenapa, berbeda dengan percobaan nekatku untuk daftar S1 keluar negeri, IISMA ini terkesan jauh lebih reachable. Feeling-ku adalah campuran antara nirekspektasi dan keyakinan: yakin, tanpa ekspektasi. Tanya aja Rajji. Dua bulan sebelum pengumuman IISMA, aku berbicara dengan Rajji tentang masa depan seolah si IISMA ini memang akan terjadi.

Di situ entah kenapa diskusi tengah malam kami di sekre berujung mendiskusikan kiat-kiat berdoa (memang ya, bahasan nongkrong suka berujung tiba-tiba religius). Salah satu poin utama dalam berdoa adalah yakin bahwa akan dikabulkan. Karena Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Maka haruslah kita berprasangka baik. Haruslah kita yakin bahwa jika tidak dikabulkan dengan mekanisme persis seperti apa yang kita bayangkan, ia akan tetap terwujud ekivalennya (atau yang lebih baik!) dalam Rencana-Nya yang lebih sempurna.

Dan ternyata memang begitu. Doa-doa terkait US yang kupanjatkan sejak SMA ternyata jalurnya begini. Dan aku merasakan empat bulan exchange di University of Pennsylvania yang menurutku amat sangat life-changing.

Yang menjadi keren adalah betapa perfect-nya jalan ini ketimbang apa yang aku impikan ketika dulu SMA. Benar-benar doesn’t make sense kalau dilihat dari perspektif usaha duniawi: hasil yang terlalu sempurna untukku yang kurang usaha. Tapi Allah sungguh Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Mungkin biar jelas konteksnya begini:

Aku dulu bimbang ketika mendaftar ke universitas-universitas di US karena dengan begitu aku akan meninggalkan kesempatan berdinamika kampus dan kemahasiswaan di Indonesia, yang aku tahu aku bakal suka. Aku pun akan kehilangan kesempatan membangun pertemanan dan network yang relevan dengan orang-orang hebat di Indonesia.

Selain itu ada dilema moral: mendaftar SNMPTN. Menjadi rahasia umum bahwa siswa SMA yang diterima SNMPTN sedikit “terikat” dengan status terimanya sehingga meninggalkan “keterikatan” tersebut akan ada konsekuensinya. Kabarnya, satu sekolah bisa sampai jadi ter-blacklist dari SNMPTN ke jurusan tertentu kalau siswanya gak jadi mengambil setelah diterima. Masalahnya, dengan nilai dan rank aku di sekolah, aku cukup pede dengan SNMPTN.

Tapi kalau aku gak mendaftar SNMPTN dan gak keterima di US, aku harus tes tulis SBMPTN atau UTBK — suatu hal yang sama sekali tidak aku persiapkan dan bisa jadi berujung gak keterima di mana-mana. Jadi pilihannya antara risk-taking pede di US saja tanpa mendaftar SNMPTN atau mendaftar SNMPTN sebagai safety net dengan potensi menzhalimi adik-adik kelas.

Karena tak kunjung ada titik tengah dalam dilema ini, aku memilih untuk menzhalimi adik kelas haha. Untungnya buat adik kelas, aku gak diterima di satu pun universitas US yang aku daftar. Dan untungnya buat aku, aku keterima SNMPTN di MR ITB.

Dan ternyata aku benar. Dalam dua tahun pertamaku di ITB, rupanya aku betah sekali dengan dinamika kegiatan mahasiswa Indonesia. Udah kebiasa juga di SMA. Aku bertemu anak-anak bangsa yang keren-keren dan membangun network yang cukup joss juga, terutama via pengalaman aku menjadi Ketua P3RI 1443 H di Masjid Salman.

Itu tuh kekurangannya kuliah di luar negeri: gak ada Salman.

Jadi, bisa dibilang jalan ini sempurna. Aku mendapatkan segala dinamika mahasiswa yang rooted di Indonesia dan mendapatkan juga kesempatan mencicipi pengalaman akademik Amerika yang luar biasa. Kedua tujuan yang sebelumnya dilema akhirnya tercapai tanpa menimbulkan konsekuensi negatif buat adick-adick kelas (hei Faris, antum harus bersyukur tida dibleklis).

Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillaah.

Dan kini setelah merasakan pengalaman akademik selama satu semester di Amerika, aku sedikit kecanduan. Hahaha. Yaa, doain aja bisa kembali. Kalau bukan via cara yang terbayang saat ini, pasti akan tertunda dalam rencana terbaik-Nya :)

Bulan Ramadhan; jangan lupa untuk mengudarakan doa-doa dengan keyakinan dan prasangka terbaikmu!

--

--

Rakean Radya Al Barra

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)