Berani? Aku?

tentang beranjak dewasa plus sedikit cerita florida dan al barra

Rakean Radya Al Barra
5 min readDec 15, 2022
old town, kissimmee, florida

Kalau ditanya waktu kecil, aku ga akan menggolongkan diri sebagai orang berani.

Aku masih inget waktu kelas 4 SD pernah main kano berempat di danau dan riweuh sendiri. Gimana kalo gini? Gimana kalo gitu? Jangan kejauhan tar ga bisa balik. De es be de es be. Padahal dah pake pelampung segala macem, masih aja overthinking si bocah.

Sejak kecil sejauh yang aku ingat, aku ga pernah identik sama apa-apa yang dianggap gagah atau berani. Dulu, aku takutan kalau masuk haunted house, kacau dalam segala permainan olahraga (masih sih), dan benar-benar ga bisa tidur tanpa boneka. Aku nyaman menjadi si kutu buku cupu aja, yang di-respect karena intelek. Dan waktu itu sepertinya persepi orang-orang terhadapku juga kurang-lebih begitu.

Tapi entah apa horor-horor kehidupan yang menerpaku, ada sesuatu yang berubah. Datang SMA dan perkuliahan, si Rakean ini jadi lebih sering gaskeun, lebih sering nekat sendiri, lebih sering gaseru kalo nobar film horor, dan lebih sering dibilang gegabah sama ibu (hehe sowwy Buu I can practically hear u say “Kaaa, tong sok gagabah! 😠” wkwk ❤). Dan jadi lebih mengerti tentang konsep “berani”.

Manusia takut dengan hal yang tidak diketahuinya. Ketidaktahuan menyisakan ruang hampa penuh kebolehjadian yang kerap diisi dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk.

Makanya orang bilang berani dan bodoh itu tipis perbedaannya. Hal yang menakutkan menimbulkan berbagai kekhawatiran, baik yang instingtif maupun yang sadar. Kalau segala kekhawatiran itu tertutup oleh ignorance, itu bodoh. Kalau segala kekhawatiran itu diakui, tapi dikesampingkan dan tidak diberi wadah untuk mempengaruhi diri, itulah berani.

Dulu waktu kecil aku menganggap orang-orang dewasa sekelilingku sangat berani. Ada Ayah, ada Ibu, ada temen-temen ortu, ada guru-guru. Mereka terlihat begitu cakap menjalani kehidupan. Pede dan has everything figured out. Pasti persepsimu waktu kecil terhadap para dewasa kurleb sama.

Lalu dalam pendewasaan, barulah kita sadar bahwa itu ga sepenuhnya benar.

Berhubungan dengan ini, aku pernah mendengar satu episode Yes Theory Podcast yang bertemakan “Growing Up”. Dalam episode tersebut, tamunya bercerita tentang menemukan pasangan muda di stasiun kereta. Ia kebingungan karena pertama kali ke sana sendirian.

Karena pasangan tersebut terlihat pede dan familiar, ia bertanya ke mereka tentang kereta yang berangkat ke Versailles. Ternyata pasangan tersebut sama-sama bingung. “But we’ll figure it out.” Datanglah pasangan lagi yang terlihat kebingungan. Mereka pun mendatangi pasangan pertama itu, bertanya hal yang sama, dan mendapatkan jawaban yang sama.

Di situ sang tamu podcast menyadari bahwa para dewasa: orang tua, guru, dan semua orang yang kelihatan pede ber-dewasa di sekeliling kita itu bukannya sudah mengerti segalanya. Tapi nyaman dengan ketidaknyamanan. Merasa akan pasti di tengah ketidakpastian. Dan bahwa secara prinsip terhadap kebingungan apapun, “we’ll figure it out.”

Dan layak pasangan pertama di cerita kereta dan semua orang dewasa di sekeliling kita sewaktu kecil, aspek pede ini benar-benar terlihat. Ga cuman terlihat, malah, tapi terpancarkan. Ia memengaruhi pembawaan, sikap tubuh, juga mimik wajah.

Rupanya aku pun menunjukkan hal yang serupa tanpa sadar. Sebagai konsekuensi dari “nyaman dengan tidak nyaman” aku ternyata bisa menyasarkan diri di negara orang, mengejar berbagai peluang tak pasti, dan memulai pembicaraan dengan stranger tanpa begitu terpengaruh oleh kekhawatiran atau ketakutan. Dan meskipun kekutubukcupuan tetap melekat denganku (and proudly so!), aku anehnya ketempelan juga cap “berani” dari orang-orang.

Perubahan ini jadi bahan refleksi yang menarik.

Kemarin, hampir semua awardee IISMA UPenn 2022 berlibur empat hari ke Florida untuk semacam makrab. Tempatnya di dekat Orlando dan sekitar, yang terkenal dengan berbagai theme park macam DisneyWorld dan Universal (tapi aku ga ke yang mahal-mahal sayangnya :”).

Karena ada beberapa teman yang ke Universal (dengan berbagai atraksi Harry Potter), di malam sebelumnya kita nobar film Harry Potter dan muncul topik pembicaraan Hogwarts Houses masing-masing.

Ada yang bangga jadi Slytherin yang ambisius, ada yang mengakui sifatnya mirip Hufflepuff yang ramah, ada yang seneng banget sama Ravenclaw yang cerdas.

Waktu aku iseng bertanya mereka ngiranya aku House yang mana, kesannya malah mereka yang bingung kenapa aku bertanya.

“Aw man why’re you asking? You’re definitely a Gryffindor!” Gryffindor, yang berani. Berani? Aku?

Padahal sejak kecil aku ya aku. Yang cupu kutu buku. Dan aku sejak kecil mengidentifikasikan diri dengan Ravenclaw haha, dan ini pertama kalinya aku digolong Gryffindor sama siapapun. Perubahan macam apa ini Lumayan jadi bahan pikir.

Malam selanjutnya, kita mengunjungi Old Town, sebuah theme park kecil bergaya klasik yang kita setuju adalah “The Most American place we’ve ever seen.” Susah dideskripsi, pokoknya Amerika banget. (Sebrangnya aja ada toko machine gun haha)

Salah satu ride di sana adalah Sky Coaster, sebuah harness yang digantungkan dari lengkung raksasa, ditarik ke atas setinggi 90 meter, lalu dilepas. Orang yang naiknya lalu mempraktikkan fisika dasar materi gerak bandul sederhana versi ekstrem.

Oh ya, dan rupanya ini Sky Coaster terbesar di dunia.

“Kapan lagi?” kata sayah teh dengan gegabah.

Jadi aku bersama Lion dan Karin yang sama-sama gelo memutuskan untuk mencoba si Sky Coaster ini untuk melengkapi The Florida Experience, walau kaki bergetar.

Dan… bener-bener seru! Takut? Jelasss, apalagi dalam detik-detik lepas freefall sebelum tegangan tali terasa, BEUH kayak jatuh beneran ada sensasi merinding dingin setubuh-tubuh. Tapi selebihnya enjoyed the swing and the view!

Jadi dengan begitu dan komentar Gryffindor kemarinnya, juga pengalaman macam-macam perjalanan di US, aku jadi berefleksi soal keberanian. Karena seringnya dalam situasi yang orang anggap mengkhawatirkan, aku merasa cukup pede bahwa everything will turn out alright. Haha aku ternyata ga pandai mengekspresikannya di sini, intinya begitulah, si Rakean ternyata mulai berani (?).

Barangkali itu jawaban doa Aki dan Ayah yang memberikan nama akhirku — Al Barra. Karena Aki orangnya kreatif, nama Ayah — Barra — itu singkatan dari kalimat lima kata yang keren. Sayangnya setelah Aki meninggal, rupanya ga ada yang inget lagi pastinya kepanjangannya apa tapi harusnya sih keren. Intinya Barra versi Aki itu semacam pengabdi Pencipta, dobel R-nya Rahman dan Rahim, kayaknya. Huruf A pertamanya mungkin “abdi”? Gatau deh.

Lalu ada aku, Al Barra. Meskipun sederhananya ia penambahan “Al” pada nama Ayah, dengan begitu namanya menyerupai nama sahabat Rasul ﷺ: Al Baraa ibn Malik al-Anshari (البراء بن مالك الأنصاري), saudaranya Anas ibn Malik.

Ada beberapa kisah tentangnya, yang ga akan dibahas di sini, dan intinya sifat khasnya adalah keberanian. Saking beraninya, di tengah perang, Al Baraa ibn Malik ini inisiatif untuk dilempar ke dalam benteng penuh musuh di atas perisai supaya pintunya bisa dibuka dari dalam agar pasukan kaum Muslimin bisa menyerang. Now that’s brave. Semoga spiritnya bisa aku teladani.

Lalu, dengan segala bahasan tentang keberanian ini ada pertanyaan lagi. Apa aku anggap diri sendiri berani? Lumayan. Masih takut juga kok sama macem-macem, kerasa waktu jalan sendirian dalam gelapnya hutan Cayuga atau nungguin bus di Philly pas dini hari.

Tapi bagiku mungkin lebih tepatnya, dengan berkurang usia dan menambah pengalaman, bukannya aku semakin berani, tapi semakin toleran terhadap ketidakpastian. Dan itu salah satu karakteristik yang aku bayangkan akan diuji suatu saat.

But “berani” is a cool word, so I can vibe with it.

Doain aja biar beraninya beneran berani dan bukan cuma bodoh versi pencitraan.

orang gegabah

--

--

Rakean Radya Al Barra

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)