(Bukan) Wisata Religi

journey log kunjungan sepuluh masjid (dan satu musholla) di jabodetabek

Rakean Radya Al Barra
16 min readDec 13, 2024
Photo by Mosquegrapher on Unsplash

Tulisan ini mengisahkan perjalanan lima hari yang bukan dalam rangka wisata. Kalaupun wisata, tentu ia bukan wisata religi. Hence the title.

Konteksnya begini: karena pekan kemarin sudah ada tiga acara yang terjadwalkan di Jakarta (dan sekitar) pada hari Rabu, Jumat (walaupun ujungnya gak jadi), dan Sabtu, aku memutuskan untuk sekalian saja menghemat ongkos pulang-pergi dengan menetap di sana dari Rabu hingga Minggu pagi. Lagipula, Bandung dilanda hujan melulu dan Jakarta belakangan cerah dan ber-AQI bagus, cenah.

Selain itu, I’m a real sucker for symbolism and sentimentality, maka perjalanan yang kebetulan menjadi panjang ini sekalian saja aku jadikan momen refleksi pivotal pada kesempatan bulan akhir tahun.

Lalu, mengingat ada banyak waktu “kosong”-nya antara tiap-tiap acaraku, aku ingin benar-benar men-structure perjalanan ini mengikuti tiang kehidupan — shalat, dan bukan sebaliknya.

Artinya? Aku berencana untuk menyempatkan waktu di masjid-masjid yang aku temui untuk memakai kacamata pejalan, shalat bersama jamaah lokalnya, berdzikir-berdoa, membaca Al-Quran, dan berefleksi. Dengan begitu, sebetulnya acara betulannya agaknya menjadi acara tambahan — hal-hal tambahan yang menyelingi waktu shalat.

Hmm, tapi kalau begitu, mungkin ini beneran wisata religi ya?

Oleh karena itu, di antara base rules yang kutetapkan untuk tiap perjalanan ke Jakarta, kali ini aku tambahkan, “Shalat berjamaah di masjid.”

Musholla WTC 3

Rupanya peraturan dasar ini langsung aku langgar untuk shalat Ashar karena acara pertamaku — yang pakai technicalities ribet kartu akses ke lantai atas segala — membuatnya tidak memungkinkan untuk aku turun dan beranjak mencari masjid.

Tapi tak apa.

Saat sendirian di musholla bernuansa abu membosankan itu, aku memilih membaca salah satu favoritku: Surah Al-Ankabut.

Salah satu ayatnya seolah langsung mengafirmasi niat perjalananku.

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

Recite, [O Muḥammad], what has been revealed to you of the Book and establish prayer. Indeed, prayer prohibits immorality and wrongdoing, and the remembrance of Allāh is greater. And Allāh knows that which you do. [29:45]

Pas sekali. Maka aku bertekad untuk terus mengikhtiarkan niat wisata religi kali ini.

Nurul Hikmah

Aku menemukan masjid di gang dekat tempat berkegiatanku di Rabu malam itu untuk kutumpangi dalam rangka Maghrib dan Isya.

Di antara kedua waktu shalat itu, para bapak yang masih tersisa di masjid tetiba melakukan semacam panggilan absen. Aku tersenyum saja dalam dudukku, tak begitu menghiraukan mereka sampai tiba-tiba aku dipanggil dan ditanya, “Mau minum ga, Mas?”

Sepuluh menit kemudian, aku tengah membaca Surah Al-Isra dengan sebuah gelas plastik berisikan susu jahe di sampingku. Dengan fisik yang lelah setelah perjalanan panjang berdiri di TJ 1M dan pikiran yang semakin liar membuncah ke mana-mana akibat deadline baru tugas akhir, aku diingatkan oleh potongan ayat berikut.

وَكَانَ ٱلْإِنسَـٰنُ عَجُولًۭا

For humankind is ever hasty. [17:11]

Dengan perangai yang kurasa lebih tenang, datanglah aku ke acara GrowthX yang berisikan semacam workshop mengenai Strategic Planning kehidupan. Ia diisi oleh Kang Kamal Muzakki, yang dulu kukenal sewaktu beliau menjabat sebagai Direktur Rumah Amal Salman.

Setelah berbagi pengerjaan salah satu exercise-nya, temanku Arvind (yang hadir online) malah ditegur dengan lembut oleh Kang Kamal perihal jawabannya yang membanding-bandingkan sukses dengan orang lain.

Kata Kang Kamal, “Paragon sekarang udah berjalan 40 tahun. Nurhayati Subakat bikinnya waktu usia 35 tahun. Tenang aja, jangan bandingin diri sama orang di Forbes 30 Under 30. Waktumu akan datang kok. Baru aja kemarin ngurus Ramadhan di P3RI kan kamu mah.”

Maka tertawalah aku, Azmi, dan Irul dengan nostalgia familiar. Peralihan ke dunia dewasa memang suka membuat tergesa-gesa, ya? Begitulah manusia.

Funny how that theme appeared several times in the very same night.

Dan begitulah malam hari Rabu itu, yang diawali pembatalan tempat menginap, diselingi pemberian susu jahe, dan berujung ikut acara GrowthX dengan spontan, yang menjadi jalanku untuk bersilaturahmi dengan teman dan figur teladan lama (+ ikut numpang tidur).

Ya, bisa dibilang ia betul-betul malam penuh cahaya kebijaksanaan.

Nurul Huda

Tergeletak di atas karpet di sebelah handphone yang lupa untuk dicas, aku dibangunkan oleh mimpi penuh malu yang dalamnya aku telah bangun kesiangan. Ternyata, ketika aku betulan bangun, sudah pukul 5.

Ah, sial!

Artinya kesempatan Subuh berjamaah telah terlewatkan. Untungnya, masih cukup waktu untuk setidaknya shalat di masjid mumpung langit masih gelap.

Bertenagakan adrenalin bekas mimpi yang baru saja kutinggalkan, aku mengencangkan sarung dan beranjak keluar dari tempat singgahku menuju gang Masjid Al Hidayah.

Sesampaiku di sana, ternyata masjidnya sedang direnovasi. Hahah.

Maka aku bergegas dengan sendal jepit pinjamanku menuju ke daerah lain untuk menumpang beribadah. Saat aku sampai, untungnya masih ada waktu yang cukup sampai syuruq. Di masjid itu, ada bapak-bapak yang sedang tilawah dengan suara keras dan rekannya yang sedang menyapu. Masyallah — penghidup masjid. Aku menyapa mereka tipis, lalu menunaikan shalat, dan selanjutnya duduk dan mengambil Al-Quran.

Entah kenapa, aku terinspirasi untuk membaca awal-awal dari Surah Anfal.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَجِيبُوا۟ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ ٱلْمَرْءِ وَقَلْبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

O you who have believed, respond to Allāh and to the Messenger when he calls you to that which gives you life. And know that Allāh intervenes between a man and his heart and that to Him you will be gathered.

Ah iya. Kunci menuju apa yang benar-benar “menghidupkan” bukan hanya taat, tapi menyambut. Mungkin seperti aku yang tetap diberi kesempatan meski sudah gagal dua kali mengikuti base rule, karena ikhtiarku mungkin adalah bentuk jawaban antusias pada ajakan taat.

Pagi itu, perpindahanku dari Al Hidayah ke Nurul Huda mengingatkanku bahwa menindaklanjuti niat baik dapat membawakan seseorang untuk menyambut satu petunjuk ke cahaya petunjuk lainnya.

Darussalam

Daerah pasar di sekitar Kebayoran Lama selalu mengingatkanku akan kematian karena aku pernah hampir mati tertabrak truk dan motor di saat yang bersamaan sambil berjalan di sebuah jalan kecil di belakang pasar itu (cerita panjang).

Pada Kamis pagi itu, sebetulnya aku sudah merencanakan tempat lain yang agak jauh (beda kota bahkan) sebagai destinasi Dzuhur dan Asharku, tetapi hujan tiba-tiba menyambut setelah aku turun dari bus di Kebayoran. Wah gawat, di tempat ini pula.

Dengan begitu, aku memilih untuk mengungsi ke dalam pasar dan mencari masjid terdekat alih-alih memaksa naik KRL. Rupanya, setelah agak memutari labirin pasar, aku temukan bahwa ada masjid di rooftop-nya.

Dengan otak yang mau tidak mau menjadi sibuk memikirkan hari esok dan Hari Esok, aku berusaha mengalihkan energinya dengan tilawah. Salah satu yang kubaca adalah Surah Al Jumuah.

قُلْ إِنَّ ٱلْمَوْتَ ٱلَّذِى تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُۥ مُلَـٰقِيكُمْ ۖ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَـٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Say, “The death you are running away from will inevitably come to you. Then you will be returned to the Knower of the seen and unseen, and He will inform you of what you used to do.” [62:8]

Aku pun membiarkan indra berjalan liar untuk menyerap segenap isi masjid. Bersih, dingin, dan harum; kontras sekali dengan pasar di bawahnya.

Para jamaah lalu mulai berdatangan, membawakan bau daging, tanah, dan ikan bersama mereka. Tapi entah mengapa, itu tak begitu mengganggu. Aku lebih terharu bahwa pada garis singkat antara lahir dan mati, para pekerja keras pasar ini tetap memilih untuk go out of their way demi menunaikan ibadah. Lalu, ada saja orang-orang baik yang mendedikasikan waktunya untuk memelihara masjid sebaik itu sehingga ibadah tersebut terfasilitasi. Pemikiran yang membuat nyaman sekali.

Berlangsunglah shalat berjamaah. Air mata pun membasahi sajadah tepat di bawah sujudku. Aku melanjutkannya dengan menjamak Ashar. Kemudian, kududuk dalam renungan.

(Bukan) kebetulan, kedatanganku bertepatan dengan kajian pekanan masjid itu yang (bukan) kebetulan bahasannya adalah kendaraan-kendaraan menuju neraka. Dibahaslah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka itu diliputi syahwat.” Maka aku memohon untuk ditangguhkan dahulu kematianku sebelum aku benar-benar bisa mengakui telah cukup pantas dalam melalui hal-hal tidak menyenangkan dan menjauhi penghambaan syahwat.

Ajaib sekali bahwa di dekat tempat yang hampir pernah menyaksikan kematianku, di tengah hujan deras, justru aku temukan bahwa aku telah pulang ke rumah yang aman.

Baiturrahmi

Siang itu, aku bergerak menuju BSD dari Stasiun Sudimara menggunakan angkot yang aku naiki dengan hanya setengah yakin bahwa ia benar sesuai ruteku. Oh well, I guess I’ll go wherever this takes me.

Angkot itu dikendarai oleh sopir botak, bertato, dan beranting dengan perawakan besar dan gerak-gerik yang mengintimidasi. Sepanjang jalan ia bicara kasar dengan keneknya.

Akan tetapi, yang mengharukanku adalah bahwa setiap anak kecil yang turun dari angkot dan menyodorkan uang untuk membayar selalu ia balas dengan, “Bawa aja dek uangnya. Pake jajan.”

Menyenangkan sekali.

Lebih menyenangkan lagi bahwa ternyata angkot ini — yang kukira sudah keluar jalur default-nya — justru malah melintas persis di depan kafe tujuanku.

Jauh lebih menyenangkan lagi adalah suasana di kafe itu yang memungkinkanku untuk menyelesaikan begitu banyak hal sendirian, meskipun kerja tim yang kurencanakan di tempat itu tidak jadi.

Aku shalat Maghrib dan Isya di masjid yang berjarak sekitar 15 menit dari situ. Ia begitu besar. Sambil menunggu seorang teman yang hendak menemuiku untuk makan malam bersama, aku teringat bahwa sudah memasuki malam Jumat dan memutuskan untuk membaca Surah Al-Kahfi.

رَبَّنَآ ءَاتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةًۭ وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًۭا

Our Lord, grant us from Yourself mercy and prepare for us from our affair right guidance. [18:10]

Sore yang menyenangkan sekali. Ingin kulanggengkan terus rahmat dan petunjuk-Nya. Dan senantiasa menjadikan Bumi ini suatu rumah kasih-Nya.

Istiqamah

“Hey Red, wanna see the mosque? I’m pretty proud of it,” ucap temanku satu exchange-ku, Brahm, sambil menyetir menuju rumahnya.

“Why would you be proud of the mosque?” Aku bertanya — karena ia beragama Hindu.

“Hey, don’t gatekeep it; I can be proud, too! My Dad is the ketua RT.”

Tertawalah kami berdua.

Selama exchange di Amerika, aku memang sering berkegiatan bersama Brahm. Dalam satu rombongan utuh, kami memang sama-sama adalah minoritas dalam hal angkatan (kami lebih muda dari yang lain), kespontanan, dan bahkan kejombloan — jadi memang sering bepergian bersama. Contohnya, acara 5k pertamaku di Philadelphia dan kunjungan terakhirku ke NYC kulakukan berdua dengan Brahm.

Hal ini membuatnya terbiasa dengan kebutuhan ibadahku yang agak ‘ribet’ — dari wudhu, shalat, hingga makanan zabiha —untuk ukuran kehidupan US. Aku ingat sekali ia pernah membantu aku wudhu pada subuh-subuh yang dingin sekali di suatu lapangan di Philly utara, memasak dengan daging pilihanku di Orlando, dan bahkan ikut berjalan 30 menit di NYC untuk mencari masjid sampai menungguku shalat dari tempat penitipan sepatu.

Dua tahun kemudian, sifat pengertiannya tidak berubah sama sekali. Meskipun aku sendiri agak awkward, Brahm sama sekali tidak berkeberatan ketika aku membaca Al-Quran di kamarnya dan bahkan video call untuk menyetor hafalan ke temanku, Yassir. Kita malah bercanda, “Hey it’s probly the first time somebody’s read the Quran in this room hahah.”

Setelah malam yang nyaman karena tidur di kasur beneran, sesuai dengan arahannya, aku membangunkan Brahm pukul empat Subuh— terakhir kulakukan dua tahun yang lalu — dan ia pun setengah sadar mengantarkanku ke masjid kompleksnya. Ia bilang akan tidur di mobil sambil menunggu, jadi aku tak usah khawatir harus buru-buru.

Pengertian sekali.

Ternyata masjid kompleksnya memang layak untuk dibanggakan. Selain vibes kemewahan eksterior maupun interiornya, aku bahagia sekali setelah melihat jumlah bapak-bapak hingga anak-anak yang turut meramaikan panggilan fajar. Setelah shalat yang entah kenapa tidak mengantukkan sama sekali, jamaah melanjutkan ibadahnya dengan tausiyah berupa pembacaan satu bab kitab hadits.

Terinspirasi dari running text yang menampilkan sepotong ayat, aku membaca beberapa halaman akhir Surah Al An’am. Dalamnya,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ

Say, “Indeed, my prayer, my rites of sacrifice, my living and my dying are for Allāh, Lord of the worlds. [6:162]

Walau tak seberapa, telah kuupayakan untuk beriman dan berislam sebisaku, mau itu kerelaan untuk ‘ribet’ di luar negeri atau melawan magernya diri di sini. Maka aku memohon agar senantiasa konsisten.

Al Aqsha

Tibalah pagi di hari raya Jumat.

Setelah pusing bersama Brahm dalam mengurus tugas besar sains dataku, ia menawarkan untuk mengantarkanku ke masjid pilihanku untuk Jumatan — barangkali ingin mencari tempat lain yang menarik. Aku mengikuti saran anak lokal BSD, yaitu temanku Azmi. Maka tibalah aku di masjid kompleks Delatinos.

Khatib pada siang itu membawakan khutbah yang berpusat pada satu ayat Surah An-Nahl:

مَنْ عَمِلَ صَـٰلِحًۭا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌۭ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةًۭ طَيِّبَةًۭ ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Whoever does good, whether male or female, and is a believer, We will surely bless them with hayatan tayyibah (a good life), and We will certainly reward them according to the best of their deeds. [16:97]

Khatib menjelaskan bahwa hayatan tayyibah ini tidak bisa dimaknai secara tampak saja — toh para sahabat banyak yang punya kehidupan duniawi yang jauh dari definisi berkecukupan kita hari ini. Dengan begitu pula, sesuai tema dari nama masjid Delatinos tersebut, kita mesti mencemburui ketinggian iman saudara-saudara di Gaza yang tentu kita tak terbayang betapa sulit hidupnya di tengah genosida. Apapun itu, kehidupan yang baik itu memang bukan sesuai definisi kita.

Sebagai surprise, setelah shalat selesai, seorang tamu dipanggil (dengan pantun segala haha) untuk memberi tausiyah singkat mengenai peran masjid dalam peradaban. Maka majulah Anies Rasyid Baswedan ke mimbar. Kaget betul.

Pak Anies bercerita tentang peran masjid dalam membentuk orang tua, dan orang tua yang membentuk anak-anak, lalu anak-anak yang membentuk generasi unggul. Beliau kembali mengajak kita bertanya tentang Pertempuran Surabaya dan juga Gaza — “Anak-anak itu bisa bermentalitas jihad dan berangkat perang pasti dengan ridho orang tuanya.” Maka ia ingatkan untuk menjadi ‘orang tua’ yang dapat menginspirasi demikian di mana pun kita berada.

Dengan begitu, aku berpikir mengenai hayatun tayyibah seperti apa yang akan aku wujudkan untuk diriku dan anak-anakku kelak — apakah nanti di surga aku akan bisa satu derajat dengan singa-singa Baitul Maqdis? Semoga ada jalannya.

Istiqlal

Aku ucapkan selamat tinggal ke BSD dan beranjak ke kota untuk mencari tempat shalat Maghrib dan Isya, diselingi pengerjaan TA yang semakin menuju titik terang. Ada semacam rasa lelah khas pada sore-sore sedemikian itu yang ingin aku maknai lebih jauh. Dan aku ingat mengapa dahulu pada solo-trip pertamaku ke Jakarta aku membuat base rule transportasi publik — aku ingin capek. Pula dengan begitu mungkin shalatku akan lebih tulus dan rewarding.

Maka naiklah aku ke KRL yang seolah tak sampai-sampai, dilanjut TJ yang penuhnya tak masuk akal. Dan tibalah aku di Masjid Istiqlal. Setelah menitipkan tas berat yang telah kupakai berjam-jam lamanya, rasanya aku bisa terbang bebas menuju langit-langit indah masjidnya.

Saat aku datang sedang ada semacam kajian ilmiah di sana yang mengkaji hadits tentang keikhlasan yang somehow berkaitan dengan status-status amal di masa lalu. Setelah Maghrib dan Isya, aku memilih untuk mulai membaca Surah Maryam.

Awal surat ini distrukturkan pada ajakan ke Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk bercerita mengenai kisah-kisah pendahulunya, dimulai dari Nabi Zakaria alaihissalam dan Yahya alaihissalam, dilanjutkan dengan Maryam alaihissalam dan Nabi Isa alaihissalam, dan seterusnya dan seterusnya. Setelah mengingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (dan umatnya) dengan core qualities para pendahulu sebagai hamba, yang membuat lelahku terasa palsu, ditariklah benang merah mengenai orang-orang terpilih ini pada suatu ayat sajdah:

أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ مِن ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍۢ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْرَٰٓءِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَٱجْتَبَيْنَآ ۚ إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ءَايَـٰتُ ٱلرَّحْمَـٰنِ خَرُّوا۟ سُجَّدًۭا وَبُكِيًّۭا

Those were the ones upon whom Allāh bestowed favor from among the prophets of the descendants of Adam and of those We carried [in the ship] with Noah, and of the descendants of Abraham and Israel [i.e., Jacob], and of those whom We guided and chose. When the verses of the Most Merciful were recited to them, they fell in prostration and weeping. [19:58]

Aku pun bersujud dan menangis.

Dua ayat kemudian, muncullah janji Allah bagi hamba-Nya yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan kebajikan: surga. Sekumpulan ayat berikutnya lalu mendeskripsikan tempat yang begitu elok itu. Dengan membacanya aku menangis lagi. Lalu, kuselesaikan suratnya dan berdiam begitu lama rasanya untuk mengumpulkan diri dan berbagai kecamuk tak terdefinisi yang mengetuk pintu-pintu dalam diri.

Pukul 20.30 aku keluar masjid dan kembali bersiap menghadapi dunia. Sepanjang perjalanan panjang 1,5 jam naik TJ berganti tiga kali menuju tempat tumpang tidurku yang berikutnya, aku mendengar beberapa kajian tentang Ibunda kita, Maryam binti Imran, dan aku takjub dengan betapa ‘manusia’-nya beliau tetapi juga betapa unreachable-nya tingkat iman beliau. Terbayang-bayang kembali juga perasaan soal keikhlasan, ketulusan, kelelahan buat-buatanku yang tak berarti, juga janji surga — hal-hal yang menemani malamku di Istiqlal.

Pada bus 1M Blok M-Meruya, aku mengafirmasi kembali pada diri bahwa yang sebenarnya kuinginkan adalah kemurnian. Bebas dari “noda-noda jalan”. Tapi aku sadari juga bahwa barulah di surga itu aku akan benar-benar merdeka.

At-Taqwa

Pada hari Sabtu pagi aku ber-Subuh di masjid pinggir jalan besar, yang ternyata di belakangnya ada semacam kampung kota. Maka meriahlah masjid itu dan penuh dengan kakek-kakek. Sayangnya, aku begitu mengantuk. Maka di saat ada semacam agenda kumpul-kumpul setelah shalat, aku memilih meminggir dan membaca surat pendek yang teringat karena tema surga yang terngiang-ngiang di kepala sepanjang malam.

(Bukan) kebetulan saja, ayat yang mengawali transisi bahasan Surah An-Naba ke deskripsi-deskripsi surgawi begitu nyambung dengan nama masjid itu.

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا

Surely the state of triumph awaits the God-fearing. [78:31]

Melirik ke depan dan melihat kakek-kakek itu begitu bersemangat membaca Surah Yasin, aku memohon jika aku berkesempatan menjadi tua kelak, aku ingin menjadi orang yang takut terhadap Tuhannya.

Al-Akhyar

Sebelum datang ke tempat janjianku dengan beberapa teman di Jakarta Selatan, karena ternyata aku saja yang tepat waktu, aku shalat Dzuhur dan Ashar di masjid di dekatnya. Sayang sekali, kelelahan hari sebelumnya masih membuat pening dan tugas-tugas memaksaku menukar jam tidur.

Dengan begitu, view utamaku di masjid itu mostly adalah langit-langitnya — karena aku bengong sambil tiduran. Untungnya, di sana aku masih sempat membaca Al-Quran. Kini, untuk memaknai lagi segala kelelahan, aku pilih Surah Yusuf — sebaik-baik cerita. Setelah hidup sang Nabi berubah 180 derajat dengan eksekusi rencana busuk kakak-kakaknya dan penjualannya (secara murah pula) ke orang Mesir, terdapat semacam ayat intermezzo yang membuat merinding karena sebab foreshadowing yang dikandungnya:

وَلِنُعَلِّمَهٗ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِۗ وَاللّٰهُ غَالِبٌ عَلٰٓى اَمْرِهٖ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

And thus, We established Yusuf in the land that We might teach him the interpretation of events. And Allah is predominant over His affair, but most of the people do not know. [12:21]

Meski dari POV Nabi Yusuf alaihissalaam, ia mungkin dalam keadaan yang seolah nirharapan, kita sebagai pembaca umumnya sudah punya konteks lengkap mengenai what’s next. Kelak, penempatan Nabi Yusuf di Mesir akan menjadi turning point besar sejarah karena membawa era kesejahteraan dan juga Bani Israil ke sana — hal-hal yang setting up the story untuk Nabi Musa alaihissalaam nanti. Dan itu semua bisa terjadi melalui kemampuan takwil yang dianugerahkan dari Allah untuk Yusuf. Tentu, sebagai budak yang baru saja dibeli, ia tak tahu itu. Tapi kita sebagai pembaca tahu. Dan Allah mengingatkan bahwa Ia-lah yang Maha Kuasa atas segala urusan, sedang kita-kita kebanyakan seolah tak tahu hal itu.

Ah, iya. Jangan sok tahu, Rak.

Setelah itu, karena ternyata aku gagal tidur siang, aku membeli bakso depan masjid saja untuk sementara mengganjal ngantukku dan melanjutkan perjalanan. Memikirkan Nabi Yusuf sang teknokrat, aku berandai-andai apakah suatu saat aku juga bisa menjadi di antara orang-orang berkapasitas terbaik?

Al-Faizin

Di tengah acara Effective Altruism yang ternyata menabrak jam shalat, aku dan temanku Risqi izin keluar untuk mengejar shalat berjamaah di masjid sebrangnya. Untungnya, masih bisa kita dapatkan meskipun harus masbuk tiga rakaat.

Ternyata, oleh karena hujan besar yang akan menimpa di pagi hari esoknya, inilah masjid terakhirku dalam perjalanan ini. Maka cukup elok juga bahwa pilihan ayat-ayat terakhir pada wisata religi ini adalah awal-awal Surah Al-Fath:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًۭا مُّبِينًۭا ١ لِّيَغْفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَٰطًۭا مُّسْتَقِيمًۭا ٢ وَيَنصُرَكَ ٱللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا ٣ هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِيمَـٰنًۭا مَّعَ إِيمَـٰنِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًۭا ٤ لِّيُدْخِلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَـٰتِ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّـَٔاتِهِمْ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عِندَ ٱللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًۭا

Indeed, We have given you, [O Muḥammad], a clear conquest. That Allāh may forgive for you what preceded of your sin [i.e., errors] and what will follow and complete His favor upon you and guide you to a straight path. And [that] Allāh may aid you with a mighty victory. It is He who sent down tranquility into the hearts of the believers that they would increase in faith along with their [present] faith. And to Allāh belong the soldiers of the heavens and the earth, and ever is Allāh Knowing and Wise. [And] that He may admit the believing men and the believing women to gardens beneath which rivers flow to abide therein eternally and remove from them their misdeeds — and ever is that, in the sight of Allāh, a great attainment. [48:1–5]

Aku terus-terus berharap agar kita termasuk orang-orang beruntung itu — orang-orang yang menang.

lupa foto masjidnya jadi ini ada dokum di dari cafe di sebrang + jalan depan masjid aja yak

Lima hari itu sama sekali tak terasa.

Takkan kusesali.

Ternyata, mengawali pekan pertama Desember dengan perjalanan cukup enak untuk merangsang kembali saraf-saraf refleksi dan memicu otot annual planning untuk mulai pekerjaan angkat bebannya.

Aku harus berbenah. Ya, aku harus berbenah.

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

Responses (2)