Buku dan Pizza di Ibukota Amerika

Rakean Radya Al Barra
7 min readNov 20, 2022

--

Siapa yang gak tau Washington D.C.?

Photo by Srikanta H. U on Unsplash

Sejak kecil kita akrab dengan si gedung putih ikonik di antara pohon rindang dan rumput tertata, dilengkapi dengan bendera biru bergaris merah-putih yang gagah di atapnya. Dan kita tau bahwa itulah tempat tinggalnya orang ter-powerful di dunia: sang presiden Amerika Serikat.

Dan entah itu dari berita, omongan orang, atau hafalan sekolah, kita pasti mengaitkan White House ini dengan Amerika (syp yg gtw amerika?!). Lalu Amerika dengan ibukotanya: Washington D.C.

Pada akhir September lalu, aku berkesempatan untuk weekend trip ke si DC ini. Dan uniknya, tempat favoritku di sana ternyata bukan salah satu dari monumen-monumennya yang megah, museum-museumnya yang lengkap, atau pun jalanannya yang bersih.

Ketemunya juga kebetulan.

Waktunya siang, tepatnya pada hari keduaku di DC. Karena satu dan lain hal, aku bodohnya cuma tersisa $15 cash sampai akhir hari. Padahal aku belum makan siang, belum makan malam, dan masih harus naik Metro ke Union Station untuk pulang ke Philadelphia. Oh iya, dan aku sendirian.

Bermodalkan Google Maps, aku berjalan dari Embassy Row menuju suatu restoran halal yang kata review harusnya 10-an dollar. Hmm. Saratus mapuluh rebu. Agak berat sih, sejujurnya. Tapi da lapar. Jadi aku terus melangkah dengan penuh harap bahwa porsinya akan cukup untuk dua kali makan.

Sarapanku sekian jam yang lalu cuma telor ceplok tanpa nasi, jadi jelas lapar. Perut yang protes menjadi tambahan semangat untuk menempuh perjalanan satu mile ke si restoran. Sebenarnya itu bukan restoran halal yang terdekat, tapi ia searah dengan atraksi selanjutnya: Adams Morgan Neighborhood.

Adams Morgan (AdMo) adalah neighborhood eklektik yang terdiri atas beberapa jalan yang dihidupkan dengan bangunan warna-warni bergaya rowhouse klasikal. Di depannya ada trotoar lebar yang didekorasi oleh meja dan kursi berpayung ala cafe-cafe Eropa. Tapi isinya jauh dari “Barat” aja.

Restoran Ethiopia bersebelahan dengan cafe Brazil. Arts Center lokal berbagi bangunan dengan toko tembakau dan toko empanada. Warna-warni berbagai ras dan budaya tampil di tiap storefront dengan bangga: benar-benar multikultural!

Dengan hal ini, ditambah vibe Indie-nya dan mendung yang mendukung, aku gak bisa kelewatan kesempatan untuk foto-foto.

semoga kalian bisa merasakan vibe admo dari jepretan-jepretan ini~

Aku berjalan santai menenteng kamera, melewati bangunan-bangunan bercat pastel sambil melirik menu-menunya. Lalu aku melihat ini:

Beli buku gratis pizza? Win-win parah. Rencana awal dibuang. Aku langsung masuk.

Lost City Books adalah bookstore independen yang menjual buku baru, buku bekas, dan specialty-nya: buku yang sudah tidak dicetak. Vibe-nya konsisten dengan AdMo: indie, artsy, and authentic. Aku masuk dan langsung disapa ramah oleh staf dibalik meja kasir. Salah satu tengah merapikan buku-buku dan satu lagi sedang membantu pelanggan lain mencari buku tertentu di database-nya. Dua-duanya masih muda, style pakaiannya pun nyentrik.

Pada tiap lantai tokonya, tiap rak buku disusun dengan rapi per kategori. Ruangan diberi lighting hangat yang memberikan elemen cozy yang entah kenapa bisa beriringan dengan ke-indie-annya, tanpa meredamkannya. Di sudutan dan bahkan di tengah salah satu ruangan terdapat kursi-kursi empuk untuk baca santai. Bukunya memang boleh dibaca langsung di sana, tanpa halangan bungkus plastik yang mengesalkan. Tiap tanda dan label dalam tokonya digambar dan ditulis manual. Sentuhan yang bagus. Hal ini semakin membuatnya terasa humble, down-to-earth, dan at home. Aspek fisik dan tata letak toko berhasil memberikan customer experience yang nyaman.

Secara spesifik aku terkesan dengan satu rak khusus di dekat kasir. Judulnya “Staff Picks”. Tiap level pada rak tersebut diisi oleh buku-buku rekomendasi staf tertentu, ditandai dengan nama orangnya. Di sebelah tanda nama ada deskripsi diri tiap staf, lengkap dengan hobinya, passion-nya, dan preferensi genre bukunya. Dengan begitu, aku secara natural tertarik dengan buku rekomendasi dari staf yang terasa relate.

Konsep “Staff Picks” ini semakin meningkatkan kesan ketulusan para karyawan. Anak-anak muda yang bekerja di sini bukan orang yang sekedar kerja dan perlu uang, tetapi mereka senang dengan buku dan senang dengan misi Lost City. Aku sendiri sulit membayangkan bentuk ekivalen dari independent bookstore semacam ini di Indonesia.

Para staf tidak berhenti dengan deskripsi mengenai pribadinya di rak “Staff Picks”. Mereka menulis resensi singkat berupa deskripsi, pendapat, dan review pribadi untuk bermacam-macam buku di sekeliling toko. Tulisan-tulisan ini ditempel di rak pemuat buku yang di-review. Memang mungkin sentuhan kecil, tetapi sangaat membantu sikami para calon pembeli. Implikasinya, para staf di sini benar-benar kutu buku yang tidak sabar untuk menyebarkan keberkesanan yang mereka dapatkan dari bacaannya. Keren!

(Dan ternyata, dalam eksplorasiku ke bookstore dan perpustakaan lain, hal ini tergolong standard practice. Ya, ga kaget sih. Di US, passion terhadap buku memang standar!)

contoh rak standar di lost city

Passion ini magnetik. Logikanya, setiap orang yang masuk ke toko buku independen pasti punya kadar ketertarikan tertentu terhadap buku. Apalagi dengan suasana yang semendukung itu. Jadinya, aku yang baru berkunjung terasa menjadi bagian dari komunitas orang-orang yang sama-sama suka membaca. Mereka adalah people with a passion, yang antusias mencari bacaan selanjutnya. Hal ini tampak dari obrolan antarpengunjung, dari pertanyaan-pertanyaan mereka ke staf, juga dari ekspresi eksploratif mereka saat memandang rak-rak buku. Antusiasme ini menular; aku tersenyum lebar.

Si “komunitas” ini terdiri atas berbagai macam orang. Ada pasangan tua yang begitu mesra dalam saling merekomendasikan bacaan nonfiksi. Si bapak menemukan buku ekonomi yang pernah dibaca djaman dahoeloe kala; si ibu mengangguk sambil menenteng koleksi essai politik. Ada kumpulan pemuda yang menjajah daerah fiksi sambil membahas novel-novel Rick Riordan. Ada para mahasiswa yang mencari referensi spesifik untuk memperkaya essai-essainya. Ada para lokal yang familiar. Ada para pendatang dengan tas besar-besarnya.

Karena sama-sama hobi buku, tak jarang muncul basa-basi antar pengunjung yang sama sekali gak saling kenal. Aku pun mendengar celetukan tentang update-an terbaru manga One Piece dan malah ikut-ikutan membahas perkembangan situasi Straw Hat Crew di pulau Dr. Vegapunk wkwkwk. Makanya jadi pembaca genks. Kami ramah-ramah kok!

Sambil berusaha meresap segala kekerenan ini, aku menghabiskan waktu berlalu-lalang di tiap lantai, sesekali skimming buku yang menarik. Aku menemukan buku tentang rasa capek, buku tentang Al-Quran milik Thomas Jefferson yang ternyata cukup menginspirasinya, buku tentang peran US dalam peristiwa-peristiwa negeri kita pada tahun 1965, dan bermacam judul menarik lainnya. Aku melangkah dari satu rak ke rak lainnya, membaca deskripsi dan rekomendasi para staf sambil menikmati suasananya. Betah beut. Dan semakin tampak bahwa toko ini beserta buku-bukunya dipelihara dengan penuh cinta.

Ah, seandainya ada yang gini di Indonesia! Bukan book cafe yang bukunya sekadar pemanis estetika. Bukan perpustakaan sepi nan hambar. Bukan toko buku komersial yang buku-bukunya diplastik. Bukan pasar yang buku-bukunya ditumpuk dan tak dipedulikan. Susah untuk merasakan komunitasnya, seninya, passion-nya. Tapi aku akui, toko buku independen macam Lost City hanya akan sustain dalam masyarakat yang memang senang membaca :). Yaa, maybe someday

Eniwey, akhirnya aku beli satu buku bekas seharga $2 dan dapet slice pizza gratis yang harusnya $5. Sekali dayung nemu tempat keren, dapet buku, n makan siang hemat: nikmad!

🍕+📘=💗

Bonus: liat aja deskripsi di situs tokonya keren ginih

To consider the past, the present and the future with an equal mind is often the purpose of literature and is certainly the story of the human condition: molded by the past, yet inevitably changed by the future. Lost City Books is a rediscovery of both, a chance to visit diverse places, ideas, time periods and experiences. To be curious — emotionally, intellectually, psychologically — about the world, the mind, and the imagination is to be an explorer, always between shores, weighing the latest discoveries with what is tested true. Lost City Books is the place for explorers, for deep divers, who want the books they find to take them to a new horizon.

- Lost City Books

--

--