Costly Signaling: Jangan Sampe Susah-Susah Ibadah Cuma Buat Pamer!
Ingat dulu ini: jangan mau kayak kijang!
Premisenya memang agak tiba-tiba biar eye-catching tapi nanti pahamnya belakangan. Intinya ingat dulu jangan mau kayak kijang.
Artikel ini menceritakan inti dari sedikit keresahan yang kumiliki berkaitan dengan ummah Islam sekarang, terlebih dalam momentum musim qurban dan haji sekarang.
Aku menulis ini sebagian besar sebagai otokritik dan aku harap para pembaca dapat membacanya dengan serupa: sebuah wadah refleksi pribadi tanpa tunjuk jari dalam rangka ilusi superioritas spiritual.
Sebelum menganggap orang salah alangkah baiknya lu ngaca.
Tentu kalimat terakhir itu juga ditujukan untuk aku.
Hajj: Pilgrimage yang Egaliter
Pada minggu ketujuh dalam perkuliahan semester lima, dalam mata kuliah berkode ANTH 0050, aku membaca artikel menarik oleh John Kantner dan Kevin Vaughn yang berjudul “Pilgrimage as costly signal: Religiously motivated cooperation in Chaco and Nasca”. Artikel tersebut adalah satu di antara tiga artikel yang wajib kubaca untuk mendalami socially complex society di daerah American Southwest.
Artikel karya Kantner dan Vaughn ini mendalami fenomena religious pilgrimage yang diperkirakan memiliki peran sentral dalam dinamika masyarakat di daerah tersebut pada masanya.
Tapi sebelum itu kita coba klarifikasi istilah utamanya. Pilgrimage sendiri agak susah untuk dicari sepadannya dalam bahasa Indonesia, tapi kurasa akan lebih mudah dipahami melalui haji. Haji adalah sebuah pilgrimage.
Tentu saja, tidak hanya umat Islam yang memiliki pilgrimage ke tanah suci. Di antara agama lain, kaum Buddha memiliki Lumbini, jemaat Katolik punya Vatikan, dan penganut Yahudi beribadah di Western Wall, misalnya. Menurut para antropolog, umumnya pilgrimage adalah kegiatan yang melibatkan dua unsur: (1) perjalanan atau si pilgrimage-nya sendiri dan (2) destinasi atau pilgrimage center. Biasanya destinasinya merupakan lokasi sakral dengan signifikansi besar bagi umatnya.
Meskipun begitu, dari contoh-contoh yang disinggung seharusnya jelas kalau tidak semua pilgrimage ini sejenis. Kantner dan Vaughn sendiri mendeskripsikan adanya tiga paradigma untuk mengklasifikasikan sebuah pilgrimage.
Yang pertama adalah integrationist model, yakni pilgrimage yang tercipta dan berkembang karena memiliki fungsi sebagai perekat sistem sosial. Sebagai “alat penjinak”, pilgrimage mengintegrasikan masyarakat sehingga menyerap nilai sosial yang diharapkan secara kebersamaan — agama digunakan sebagai “social glue.”
Jenis kedua adalah Turnerian model, yakni pilgrimage yang pesertanya meninggalkan struktur sosial existing dan selama perjalanan memasuki kondisi egaliter yang diistilahkan sebagai communitas. Dalam Turnerian model:
participants tend to leave behind the world of social structure and enter a state of ‘‘antistructure’’ or communitas (Turner and Turner, 1978; see also Coleman and Elsner, 1995:201). Communitas is the ‘‘spontaneous…commonness of
feeling, liable to strike pilgrims at some stage during the pilgrimage process…(and results in an)…egalitarian ethos promoted by sacred journeys’
Jenis ketiga adalah contestation model, atau pilgrimage yang secara esensi lebih diinterpretasi umatnya sebagai tempat untuk mengadu posisi sosial — entah itu kedudukan kasta atau kebanggaan akan tempat asal, misalnya.
Tentu saja sebagai muslim aku bangga ketika dalam paper tersebut, Hajj-nya umat Islam dijadikan contoh utama dari Turnerian model. Hajj menyatukan berjuta-juta orang, memusatkan atensi jiwa dan raga pada Yang Maha Tinggi — menjadi perjalanan liminal yang menciptakan communitas bertujuan tunggal yang melintasi segala perbedaan duniawi.
Pakaian ihram putih yang seragam menjadi simbol atas kesamaan status sebagai hamba, terlepas dari siapapun dan setinggi apapun derajat duniawi dirinya, pengingat bahwa keberadaan sebelumnya tak se-begitunya.
Aku pun teringat ‘hijrah’-nya Malcolm X setelah menjalankan Haji ke Baitullah. Dengan perjalanan hidup panjang yang diwarnai oleh rasisme kejam terhadap orang berkulit hitam di Amerika, X sebelumnya mengambil posisi ekstrem yang berlawanan dan menjadi petinggi pergerakan Black Muslims bernama Nation of Islam, yang akidahnya ternodai fanatisme kaum etnis — mencap kaum berkulit putih sebagai ras penjajah jahat nan inferior tanpa terkecuali.
Tetapi setelah melihat begitu egaliternya para jamaah Haji, termasuk jamaah berkulit putih yang notabenenya “dibenci” — makan satu piring dan tidur satu hamparan kain bersama orang-orang dengan “seputih-putihnya kulit, sebiru-birunya mata, dan sepirang-pirangnya rambut” — perbedaan ras hilang sama sekali dari judgement-nya. Beliau mendeskripsikannya demikian:
“Their sincere submission to the Oneness of God, and their true acceptance of all nonwhites as equals makes the so‐called ‘whites’ also acceptable as equals into the brotherhood of Islam with the ‘nonwhites’. Color ceases to be a determining factor of a man’s worth or value once he becomes a Muslim. I hope I am making this part very clear, because it is now very clear to me.
“If white Americans would accept the religion of Islam, if they would accept the Oneness of God (Allah), then they could also sincerely accept the Oneness of Man, and they would cease to measure others always in terms of their ‘differences in color’.”
Malcolm X kemudian belajar dan mengadvokasikan Islam dengan wajahnya yang murni dan mempersatukan, sesuai dengan Sunnahnya — sebuah langkah yang kemudian membuatnya dibenci oleh mantan saudaranya di Nation of Islam, yang berujung pada pembunuhannya kurang dari setahun kemudian.
Taubatnya Malcolm X didasarkan pada kesadaran akan persatuan sejati umat atas dasar penghambaan, satu tetes saja dari lautan mutiara hikmah dalam ritual pilgrimage Hajj. Ceritanya — dan cerita jutaan orang, barangkali — menjadi bukti kepada dunia akan esensi murni nan suci dari Hajj dan Islam. Makanya aku miris ketika membaca contoh selanjutnya.
Dalam menjelaskan contestation model, atau pilgrimage sebagai arena bersaing status sosial, Kantner dan Vaughn menjelaskan studi yang meneliti jamaah Haji dari masyarakat pedesaan di Turki, yang malah mengekspresikan bahwa ada interaksi antarjamaah yang justru menonjolkan perbedaan: membanggakan nasionalitas, derajat, status. Simbol-simbol kebangsawanan dan kerajaan amat terasa oleh orang-orang desa ini. Dan dengan begitu sang pilgrimage malah memastikan bahwa struktur sosial dunia itu diakui dan di-reinforce.
Mungkin memang perilaku segelintir orang saja dan kesan yang tertangkap oleh sebagian orang saja, tapi entah kenapa aku cukup yakin bahwa bukan hanya jamaah Haji dari pedesaan Turki itu yang menangkap kesan “ibadah besar” yang malah menjadi ajang kontestasi. Dan itu membuatku sedih.
Isyarat yang Mahal
Ingat pesan di awal? Jangan mau kayak kijang!
Dalam keseharian bahagianya, kijang atau gazelle seringkali melakukan gerakan stotting, yakni lompat vertikal yang tinggi, tanpa trigger yang jelas. Tentu ini menghabiskan banyak energi. Dari sudut pandang survival, ini terlihat bodoh: menghabiskan banyak energi tanpa alasan.
Akan tetapi, stotting ternyata memiliki kegunaan praktis. Investasi energi tinggi untuk melompat vertikal mengisyaratkan kekuatan. Predator yang melihatnya akan berpikir dua kali — dan cenderung akan lebih memilih untuk mengejar kijang yang tidak melompat atau lompatannya kurang tinggi. Maka kijang yang capek-capek stotting terselamatkan dari kejar-kejaran yang lebih capek.
Fenomena ini dinamakan costly signaling, atau isyarat mahal. Dan ia muncul pula dalam perilaku manusia. Monumen mewah nan raksasa, pesta perjamuan besar, dan hibah publik berjumlah besar dalam peradaban kuno seperti Classic Maya seolah mengumumkan kekuatan politik, militer, dan kemampuan memobilisasi masyarakat kepada dunia — tanpa perlu betul-betul terlibat dalam peperangan. Calon musuh akan berpikir dua kali.
Kijang dan Classic Maya sama-sama pamer — memberikan isyarat yang ‘mahal’ — untuk merepresentasikan suatu karakteristik positif yang ditangkap sebagai realita jujur oleh khalayak umum. Sebab, logikanya hanya kijang dengan energi berlimpah yang akan mau untuk lelah melompat. Hanya peradaban bermandikan sumber daya yang akan mampu untuk berpestapora dan membangun monumen mewah.
Isyarat yang mahal menjadi pengganti untuk karakteristik yang ia representasikan.
Maka jangan-jangan ibadah kita sebatas menjadi isyarat pengganti untuk karakteristik diri.
Ibadah “publik” dilakukan sedemikian rupa sehingga orang-orang berkesimpulan, “Tentu saja ia orang yang sholeh karena telah menginvestasikan sebegitu banyaknya untuk ABC.”
Ganti saja ABC dengan haji, umrah plus plus, qurban super, paket wakaf, program sosial, organisasi dakwah, minyak jenggot, kerudung trendy, koleksi buku, kelas agama, atau apapun yang sekiranya relate.
Pasti ada.
Jangan mau kayak kijang.
Jaman Now dan Proliferasi Media Sosial
Jika dulu orang pamer melalui kegilaan gelar, dari haji hingga insinyur, kini internet memberikan alternatif wadah yang jauh lebih mudah.
Kegatalan untuk overshare segala seluk-beluk hidup untuk menciptakan suatu persona dengan amat sengaja menunjukkan fenomena hidup dalam mass-mediated reality. Judgement orang lain terhadap kita ditentukan oleh karakter yang amat sengaja direkayasa melalui story, status, dan postingan.
Dan sesuai teori costly signaling, semakin “mahal” isyaratnya, seolah semakin “benar” bahwa ia adalah orang dengan karakteristik tertentu. Selfie di pesawat menuju luar negeri mengisyaratkan kehebatan. Group photo bersama tokoh besar mengumumkan kedudukan sosial. Rangkuman kajian menunjukkan kerelaan berkorban dan berusaha menuntut ilmu.
Semua jadi isyarat.
Dan yang parah adalah ketika semua hal itu dilakukan bukan untuk esensi aslinya entah itu refreshing, bersilaturrahmi, atau menuntut ilmu — tapi sejak awal memang diikhtiarkan untuk dijadikan isyarat. Ketika dalam peracikan wacana kegiatan itu, terracik pula rencana-rencana mau storyin apa.
Ini menjadi berbahaya sekali dalam konteks ibadah karena justru ibadah adalah sebaliknya — meng-Ilah-kan dan meng-Esa-kan Sumber dari Segala Keterpujian. Ibadah “mahal” yang ikhlas lillahi ta’ala pun seharusnya bernilai “mahal” pula bagi Allah. Jadi sayang sekali jika langkah-langkah beribadah yang “mahal” itu semua menjadi sia-sia karena keikhlasannya tercoreng.
Bukannya aku ingin mengadvokasi untuk berpandangan buruk terhadap semua orang yang mem-posting kebaikan dan pencapaian di media sosial. Toh banyak juga yang menginspirasi dan menggerakkan umat menuju ibadah yang lebih baik. Lagipula kita tidak boleh meninggalkan amal ibadah karena manusia. Isyarat mahal bisa juga baik.
Tetapi itu semua memiliki batasan yang amat tipis dengan riya, jika tidak hati-hati dalam berniat dan menjaga niat. Sulit untuk nyaring berbunyi kebaikan tanpa menjadi tong kosong.
Termasuk juga semua hal yang aku unggah dan tampilkan di media, tak terkecuali tulisan ini dengan segala hal yang ia isyaratkan pada umum. Apa bisa aku justifikasi isyaratnya? Kelak harus kupertanggungjawabkan, apa benar manfaatnya melebihi risiko mudharat slippery slope riya? Pun apabila niat awalnya murni, seberapa yakin aku bisa mempertahankannya demikian di tengah tuntutan ego yang senang divalidasi.
Sulit. Dan berpotensi menyedihkan. Makanya harus hati-hati sekali.
Justifikasi keberadaan artikel ini kepada diri sendiri: aku menulis ini karena bulan Dzulhijjah membawakan momentum qurban dan haji, dua ibadah yang sangat “terlihat” — hingga menjadi waktu yang tepat untuk merenungkan niat dalam beribadah dan berisyarat. Dan aku ingin mengajak pembaca untuk ikut berefleksi.
Mungkin kebanyakan dari following base aku di sini belum mampu untuk beribadah se-“mahal” itu, tapi setidaknya menjadi pengingat untuk isyarat-isyarat yang relatif “mahal” lainnya, juga pengingat untuk kita di esok hari.
Sayang kan, jika ada kasus orang yang jauh-jauh ke Baitullah untuk menunjukkan “kehebatan jamaah Indonesia” pada dunia di sana sekaligus selfie ria di Ka’bah dan pulang kembali dengan harapan dianggap lebih sakti oleh masyarakat.
Komoditas yang berarti tak bisa dibeli dengan uang palsu, semahal apapun isyaratnya.
Referensi:
John Kantner, Kevin J. Vaughn, Pilgrimage as costly signal: Religiously motivated cooperation in Chaco and Nasca, Journal of Anthropological Archaeology, Volume 31, Issue 1, 2012, Pages 66–82, ISSN 0278–4165,
https://doi.org/10.1016/j.jaa.2011.10.003.
Alex Haley, Malcolm X, The Autobiography of Malcolm X.