Dzarratul ‘Ulum

atau — Masjid BATAN

Rakean Radya Al Barra
3 min readDec 15, 2023

Aku ingin bercerita tentang masjid berparket kayu di sebrang kampus ITB Ganesha yang jamaahnya banyak berprofesi sebagai peneliti — dan bukan Masjid Salman.

Terinspirasi dari cerita Iwan menghadapi segenap badai ujian dengan healing ke masjid tetangga, dalam masa ujian-yang-gak-selesai-selesai ini aku terpikirkan untuk bercerita yang serupa.

Jika rumah adalah first space dan kampus adalah second space, masjid ini menjadi salah satu third space untuk aku sang pengembara — tempat yang bisa kuandalkan untuk bisa hangat dan familiar pada waktu shalat berjamaah sekaligus menjadi sepi dan asing di waktu lainnya. Karakteristik yang bertolak-belakang ini bisa kuraih — sesuai apa yang kubutuh. Lagipula, ia hanya sekian langkah dari gedung utama tempatku berkuliah, dan (seharusnya) mudah untuk beranjak menujunya saat panggilan tiba.

Dzarratul ‘Ulum adalah masjid dari kantor BRIN Tamansari, kompleks riset yang berspesialisasi di penelitian tenaga nuklir. Tetapi, civitas kampus lebih mengenal kantornya dengan sebutan lamanya: BATAN. Dengan begitu, Dzarratul ‘Ulum lebih dikenal di kalangan mahasiswa sebagai “Masjid BATAN”.

Temanku Ihsan-lah yang mem-point out pemilihan nama resmi masjidnya yang begitu elegan (setidaknya bagiku), dan membuatku bertanya-tanya mengapa aku tak menyadarinya sejak lama. Padahal, civitas kampus bagian utara yang termasuk juga ayahku mengandalkan tempat ini sebagai masjid terdekatnya.

“Bagus nama masjidnya,” kata Ihsan, “Dzarratul ‘Ulum, atomnya ilmu.”

Sejak dia bilang begitu, aku tak pernah melupakannya. Dzarrah, bagian terkecil, atom, nuklir; ‘ulum, ilmu, penelitian, riset. Cocok sekali. Saking menempelnya di benak, sampai-sampai tiap kunjungan ke sana seolah bertanya kepadaku, sekecil apapun itu, sudahkah ada ilmu yang kuperoleh hari ini? Sekecil apapun itu, sudahkah ada manfaat dari ilmu yang kupunya?

/…/

Aku tak tahu berapa kali aku tertidur tak sengaja saat leyeh-leyeh di parket kayunya di antara jam shalat, berapa kali aku sekadar mampir untuk mengisi ulang air minum, atau berapa kali aku menyapa teman dengan sumringah dan berbasa-basi 45 detik mengenai keseharian di tempat ini.

Sebagai pendatang regular di antara “pasar” masjid yang tak begitu besar, aku dengan cepat jadi tahu para familiar face dari Dzarratul ‘Ulum, termasuk para ojol yang menjadikannya tempat beristirahat, para karyawan BRIN yang rajin mengurusnya, juga para mahasiswa yang rajin mengunjunginya. Aku pun jadi kenal salah satu pengurusnya, yang ceritanya tentang kondisi masjid ini di zaman dulu yang lebih ramai, memotivasiku untuk terus ikut meramaikan sang masjid — sampai-sampai beliau suka menjadikanku imam Maghrib di hari tertentu.

Memang, Dzarratul ‘Ulum tak begitu spesial secara perangkat fisik objektif — tanpa karpet wangi ala Maaimmaskuub atau pun riuh aktivitas Salman — tetapi aku merasa cukup terlayani dan hidup dengan adanya si-masjid-batan.

Lalu, namanya yang elegan bagiku menjadi cherry on top:

Oy.

Hari ini, sudahkah ada ikhtiar yang mumpuni di samping doa Rabbi zidni ‘ilma yang kau hafal sejak balita itu?

/…/

Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasannya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihatnya.

jamaah batan: ihsan, ucing, faiz

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

No responses yet