Eksil — Terusir dari Tanah Air
Review Film
Sejarah memang kental dengan pertumbukan ideologi. Di atas kertas, hal tersebut terdengar seperti sekadar perdebatan kaum intelektual atau diskusi ngalor-ngidul di ruang-ruang kampus. Nyatanya, ia tak sedamai demikian.
Pertumbukan ideologi bukan hanya diskusi hangat samping unggun pada malam hari, melainkan ledakan dahsyat di atas kota dan desa. Dipadukan dengan kompleksitas kepentingan dan skala negara, stakes-nya melambung tinggi. Dan tak terjumlah berapa orang tak bersalah yang ikut termakan apinya.
Film Eksil (judul internasional: The Exiles) mengangkat cerita dari beberapa korban “api” tersebut. Merekalah para eksil, (dulunya) mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang melalangbuana ke berbagai penjuru dunia untuk belajar, hanya untuk terhalang jalan pulangnya karena perbedaan ideologi, hubungan keluarga mereka, atau bahkan dugaan tak berdasar. Terdamparlah mereka di negara orang, putus interaksi dari keluarga dan semua yang mereka cintai di tanah air — sebuah konsekuensi dari era penuh ketidakpastian. Dan ini bukan hanya untuk beberapa tahun saja, tetapi pada skala dekade.
Situasi politik pada tahun 1960-an di Indonesia memang sangat kompleks. Periode ini ditandai dengan pergolakan politik yang berujung pada pergantian kekuasaan dari Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno ke Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Peristiwa penting seperti Gerakan 30 September, yang menewaskan enam orang jenderal sebagai dugaan upaya kudeta, pada tahun 1965 menjadi puncak dari ketegangan politik dan sosial yang melanda tanah air.
Yang lebih menakutkan adalah yang terjadi setelahnya. Pasca-‘65, terjadi penindasan dan pembantaian massal terhadap anggota PKI, simpatisan, beserta orang-orang yang diduga memiliki hubungan dengannya yang digerakkan oleh aparat dan diikutsertai oleh masyarakat — suatu pola yang berlanjut pada kerusuhan dan pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1998. Pada intinya, konsolidasi kekuasaan oleh Soeharto menyebabkan perubahan besar dalam arah politik dan ekonomi negara, yang amat berdampak pada masyarakat Indonesia dalam dekade-dekade berikutnya.
Tayang Terbatas
Senin lalu, aku berkesempatan menonton film Eksil, garapan Lola Amaria Productions, yang berusaha mengangkat narasi yang jarang diceritakan tersebut. Di tengah masyarakat yang masih sangat alergi terhadap apapun yang ‘lunak’ terhadap PKI — berkat narasi yang tertanam sistematis sejak Orde Baru —menurutku Eksil sungguh merupakan film yang amat berani.
Tak mengherankan apabila ia tayang terbatas di segelintir sinema tanah air: masyarakat belum tentu siap.
Tapi aku yang kepo dan relatif “polos” ya nonton-nonton sajah hahaha.
Dan tanpa ekspektasi apapun, I was genuinely blown away.
Lebih detailnya, film dokumenter “Eksil” mengisahkan tentang para eksil Indonesia yang terpaksa meninggalkan tanah air setelah peristiwa G30S tahun 1965. Diputar perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2022, film ini meraih penghargaan sebagai film Indonesia terbaik di festival tersebut dan Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2023.
Pemerintah Indonesia mengirimkan sejumlah mahasiswa keluar negeri (termasuk Uni Soviet dan Tiongkok) untuk belajar pada tahun 1960-an. Namun, pasca-’65, banyak dari mereka dituduh sebagai simpatisan PKI dan tidak diizinkan pulang ke Indonesia, bahkan setelah desakan interogasi. Terusir, ketakutan, dan kehilangan status kewarganegaraan, para eksil berjuang untuk bertahan hidup di negara asing yang serba tak familiar, sambil menyimpan harapan untuk kembali ke tanah air.
Melalui wawancara, arsip, dan rekaman video yang dirangkai secara apik, penonton dibawa menyelami kisah pilu para eksil yang terdampar di luar negeri, kehilangan kontak dengan keluarga, dan terpaksa melakukan pekerjaan di luar bidang keahlian mereka — apa saja untuk setidaknya bertahan hidup.
Dengan durasi 1 jam 58 menit, “Eksil” menggambarkan perjalanan hidup pahit para eksil yang berusaha menemukan jalan pulang. Meski terpisah dari keluarga dan tanah air, mereka tetap mempertahankan tekad untuk bertahan dan berharap dapat kembali bertemu dengan kerabat di Indonesia.
Dalam dua jam tayang itu, aku merasa telah bertambah usia sekian tahun, tak dapat membayangkan dekade-dekade yang dilalui para eksil dalam kesendiriannya. Entah berapa tangisan bisu yang tak pernah kita dengar, berapa umpatan penuh amarah yang tak pernah kita sadari, berapa jam hidup yang tergilirkan sia-sia yang tak pernah kita ketahui.
The Exiles
Hartoni Ubes, I Gede Arka, Tom Iljas, Waruno Mahdi, Alm. Asahan Aidit, Alm. Chalik Hamid, Alm. Djumaini Kartaprawira, Alm. Kuslan Budiman, Alm. Sardjio Mintardjo, Alm. Sarmadji.
Itulah nama-nama dari para eksil yang menjadi narasumber film ini, yang tak seluruhnya berkesempatan hidup cukup lama untuk bisa menonton hasil akhir dari karya Mbak Lola ini (produksi filmnya dari 2015 hingga 2022, dan baru bisa tayang sekarang).
Dengan benang merah berupa terdampar di negeri asing, beragam sekali kisah mereka. Ada Alm. Bapak Chalik Hamid, yang terputus kontak dengan istrinya yang hamil, lalu berpuluh tahun kemudian baru dapat menemui anak yang tak pernah dikenalinya. Ada Bapak Waruno Mahdi, sang ahli kimia yang terpaksa bekerja random seadanya pada jejak panjangnya dari Rusia hingga kabur ke Jerman.
Ada Alm. Bapak Sardijo Mintardjo, yang memutuskan menjadi “bapak kost” di Belanda bagi mahasiswa-mahasiswa pendatang sebagai bentuk kasih sayangnya terhadap saudara sebangsa. Ada Alm. Bapak Djumaini Kartaprawira yang tak bisa tidur berbulan-bulan setelah telat mendapatkan kabar bahwa orang tuanya telah tiada, dan beliau tak bisa ikut menguburkan mereka.
Damn.
That hurt.
Dan tak habis-habis rasanya jika aku menuturkan di sini cerita mereka satu-per-satu.
Salah satu favoritku adalah kisah Alm. Pak Sarmadji, yang dengan semangat berhasil mengumpulkan ribuan buku, menjadikan rumah mungilnya sebuah pusat pengetahuan tentang Indonesia di tengah Amsterdam.
“Saved what can be saved” begitu kata beliau mengutip dari salah satu buku Pramoedya Ananta Toer, penulis kesukaannya.
Aku senang melihat susunan buku dan kekacauan ruang kerjanya, lebih senang lagi ketika tahu bahwa beliaulah yang mendirikan Perdoi (Perkumpulan Dokumentasi Indonesia).
Tapi aku marah pada kenyataan bahwa beliau adalah SEORANG GURU yang diasingkan saat melanjutkan studi ke Tiongkok, dan lebih marah saat tahu jurusan yang beliau ambil adalah Pendidikan Luar Sekolah.
SEANDAINYA beliau dapat kembali ke tanah air dan mengamalkan keilmuan tersebut untuk generasi selanjutnya, mungkin beliau akan menjadi tokoh pendidikan yang dihormati dan dibanggakan.
Tanah Airku
Air mataku keluar ketika Pak Hartoni Ubes menceritakan langkah pertamanya kembali ke tanah air. Keasingannya sendiri di tengah Jakarta yang tak lagi ia kenal membuatku penasaran tentang apa yang ia rasakan. Ekspresinya dari dalam becak pun menggambarkan mozaik emosi yang overwhelming — suatu campuraduk yang tak seharusnya seorang pikul.
Sequence film yang berlanjut setelah cerita itu adalah salah satu masterpiece seni di tahun ini. Eksil-eksil lainnya di-spotlight, masing-masingnya memberikan pandangan mereka tentang tanah air dan apa yang mereka rindukan darinya — penuh haru dan keikhlasan.
Mereka bercerita tentang hal sesederhana pohon pisang dan pohon bambu yang mereka rindu, diiringi syahdunya lagu “Tanah Air” di satu scene penguburan yang begitu paripurna.
Sebagai seseorang yang telah mengembara dan melihat perjuangan para diaspora Indonesia dari kaum akademisi maupun bukan di Bumi Amerika, rasanya begitu familiar menjumpai rumah-rumah dari kakek-kakek Indonesia bersama tim produksi film. I felt like I was right with them, hearing these stories and feeling their authenticity. Dan meskipun pandanganku sendiri terkait Indonesia kurasa agak-agak aneh dibanding rekan-rekanku, para eksil di Tanah Eropa ini kembali memantik suatu rasa mendalam terhadap tanah airku yang kuterka-terka selama berjalan di negara orang. (Apakah tandanya aku harus menjelajahi rantai hikmah baru di Bumi Eropa?)
Kesimpulanku: Terlepas dari apa yang Anda percaya dan stance pribadi Anda terhadap peristiwa G30S dan ideologi PKI, film ini tetap nyaring. Ia tak peduli dengan itu. Lola Amaria dan kawan-kawan lebih tertarik mengangkat sisi kemanusiaan dari para eksil, membiarkan mereka bercerita saja tentang kehidupan — lalu membiarkan audiens sendiri yang menyimpulkan. Dengan begitu, film ini tidak sama sekali berniat untuk mencekoki naratif tertentu atau membenarkan satu versi sejarah — ia hanya mengajak kita untuk berpikir. Dan lebih jauh lagi — merasakan.
Beberapa komentar positif masyarakat dapat dilihat pada postingan Mbak Lola Amaria ini.
Ada pun beberapa tanggapan dari Sistha, teman SMP sesama diaspora akademis, yang apik sekali menggambarkan apa yang kupikir:
Phew. There’s a lot of work to be done for us island people. Tiba saatnya untuk kami sadar butuhnya mengembangkan setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.
Bismillah.