Sitemap

Flourish Era: Refleksi Q3 2024

Triwulan Berkembang-Bermekar

12 min readOct 4, 2024
Photo by Bahador on Unsplash

May we all be sa’eeds, may we all be virtuous guardians of our own eudaimonia, and may we all flourish in a merciful garden that extends from this life into the next. — RR

Semenjak munculnya kondisi-kondisi yang membuatku lebih sering menetap di rumah daripada biasanya, terbangkit pula jalinan hubunganku dengan sang kamar dan sekitar.

Sebagai orang sok nyeni, sejak awal tahun aku memang meluangkan sedikit perhatian untuk suasana ruang kecil itu. Di antaranya aku mencetak beberapa foto jepretanku untuk menghiasi dinding, mencari ornamen-ornamen fungsional nan estetik untuk menemani ‘barang-barang serius’ di meja, juga mencoba berbagai jenis wewangian dalam bentuk reed diffuser.

Semakin lama aku menetap di rumah, jangkauan dari lingkungan fisik ini perlahan meluas. Liburan amat panjang menjelang semester baru akhirnya mengilhami sebuah rasa gatal terhadap balkon-depan-kamar-yang-hampa-dan-tak-didayagunakan itu. Salah rasanya. Dan ternyata penawar dari gatal itu muncul setelah beberapa penyelaman situs perhobian di internet dan kunjungan ke daerah Taman Cibeunying: tanaman hias.

Kini, tiga bulan kemudian, koleksi hijau kecil yang menjadi penawar sepi hatinya para keramik balkon ikut juga menyejukkan pandanganku tiap kali menoleh ke jendela kamar. Usaha kecil-kecil untuk menyiram setiap hari, lalu sesekali memindahkan pot, mencabut bagian-bagian layu, dan memberi pupuk ternyata cukup untuk menjamin kehidupan yang layak dan berkeadilan bagi para flora warga negara balkon ini — selain kematian dramatis si Katsu yang amat memilukan.

Saat ini aku masih sama sekali bukan ahli tanaman hias. Aku pun belum juga merencanakan untuk menjadi pehobi yang begitu perhatian terhadap detail kecil dari jenis-jenis sekam dan pupuk, misalnya. Kendati demikian, makhluk-makhluk mini ini sudah cukup menjadi tanggungan-tanggungan kecil yang menantangku. Mereka adalah kendaraan sebuah daily practice yang memaksaku untuk sedikit perhatian, thoughtful, juga berinteraksi dengan alam — kebetulan juga tiga bahan pemantik mood reflektif.

Apiknya, dengan tanaman hiaslah aku awali refleksi ini, sebab hadirnya Katsu si Kastuba dan Nemo si Aglonema (lalu disusul dengan teman-teman lainnya) di bulan Juli kebetulan beriringan dengan awalnya triwulan Q3 tahun ini — tiga bulan yang sebelum kedatangannya pun sudah kugadang-gadang sebagai flourish era untuk diriku sendiri, dan rasanya cukup berhasil.

Flourish. Berkembang, bermekar. Tak ubahnya para sahabat baru di balkonku, bukan?

Begonia: Harmony, Gratitude, Reflection

Gogo si Begonia (baru mulai tumbuh bunga kicilnya!!)

Named after Michel Bégon, a French diplomat known for his careful consideration, the begonia flower can represent a need for caution and thoughtful reflection, particularly when approaching new situations.

Seperti biasa, sebelum menarik kesimpulan apa-apa, refleksi triwulananku akan merujuk ke beberapa tools andalan untuk mengumpulkan fenomena-fenomena selama tiga bulan sebelumnya. Ini begitu penting untuk Q3, sebab setiap Q3 selama kuliah beririsan dengan libur, yang notabene berisikan cukup ruang berlebih yang aku cenderung isi hingga penuh meluap. Sebagai contoh, aku cukup mengunjungi kembali tulisan refleksi Q3 2023 dan otomatis tersenyum mengenang begitu banyak hal aneh yang saat itu bergelut di pikiran. Hal yang sama ingin aku persembahkan untuk diriku di masa depan dari tulisan baru kali ini.

tulisan ini juga fungsinya memetakan jawaban terhadap pertanyaan semacam ini agar aku tak bingung ataupun nyeleneh dalam menjawabnya

Firsts

Juli-Agustus-September adalah rentetan bulan yang 2/3-nya dipakai tanpa status mahasiswa aktif. Tentu bukan berarti aku tak sibuk. Juli dimulai dengan sisa-sisa momentum Juni yang selayaknya angin dahsyat yang mampu menerbangkan kapal-kapal di atas lautan. Untungnya, kali ini angin tersebut bisa kukendalikan arahnya. Dengan begitu, banyak sekali hal baru atau firsts yang kuarungi.

Juli adalah pertama kalinya aku mengunjungi TheRoom19, acara Bukan Jumaahan Kedai Jante, dan Kampoeng Tjibarani — semua dalam kapasitas sebagai pemilik komunitas Nyarita. Nyarita ini membuka dimensi berkegiatan yang baru, dengan orang-orang dan sudut-sudut Bandung yang baru, hingga tentunya menghasilkan racikan buah pikir yang baru juga, utamanya lewat pertama kalinya mengadakan tantangan 7 Hari Menulis dari #NyariTantangan. Juli juga adalah pertama kalinya aku memfoto dan difoto dengan kamera Instax melalui acara Rabu Motret yang membangkitkan kembali gairah jepret-jepretku. Ialah pertama kalinya aku memelihara tanaman hias yang milikku sendiri, pertama kalinya aku menjadi top five dalam fun run 5k umum (memang kelima sih, haha), juga pertama kalinya menonton di 4DX PVJ bersama Rajji menuju tengah malam (we watched Twisters and as a Kentucky country bumpkin it was so fun!). Juli juga adalah pertama kalinya mendaki Gunung Cikuray (tektok dan buru-buru pula) sebagai salah satu tantangan fisik terberat hidup, pertama kalinya makan mie bangladesh dan martabak mesir dan oharang, juga pertama kalinya ditelepon Pak Salman Subakat dan hari itu juga diajak bereksplorasi sudut-sudut ITB yang biasanya tak terjangkau mahasiswa (terima kasih kepada Ilham Nugraha untuk itu). Juli diakhiri dengan cantik oleh pertama kalinya jalan ke PVJ berdua sama adik bungsuku si Nengongningnang.

Waw, banyak.

Setelah itu, Agustus diawali dengan pertama kalinya aku lari half-marathon secara nonstop, tentu simbol bahwa atapku masih saja meninggi dan meninggi! Agustus juga adalah pertama kalinya menghadiri nikahan teman seangkatanku (shoutout to Daffa!) dan teman serohisku (shoutout to Kang Sayyid!), pertama kalinya keliling GBK, pertama kalinya gathering YLI, dan pertama kalinya hampir mati ketabrak truk dan motor di jalanan gelap Jakarta, serta pertama kalinya menangis jelek di Transjakarta setelahnya setelah merenungi nasib dan eksistensi diri berkaitan dengan hampir-mati tersebut. Hahaha. Agustus jugalah pertama kalinya aku mengisi osjur di Jatinangor, pertama kalinya aku berkunjung ke Universitas Widyatama (shoutout to Uloh!), dan pertama kalinya baper brutal karena hadiah lucu hahaha. Bulan ini akhirnya ditutup dengan pertama kalinya bereksplorasi ke tempat-tempat menarik di daerah Jakarta Utara (shoutout to Rajji dan Hana!) sampai kalap membeli 13 biji buku di acara literasi TIM.

September kemudian mulai dengan pertama kalinya mengadakan workshop Diajar Nyarita yang dilanjut dengan pertama kalinya menemukan Kopo tidak macet (keajaiban dunia!). September juga menantangku berdamai dengan identitas sebagai abang-abangan kampus melalui pertama kalinya berinteraksi dengan empat angkatan di bawahku dalam rangka OSKM ITB 2024. September juga adalah pertama kalinya aku bertemu dan mulai akrab dengan Mas Imam Santoso, juga gerombolan mentee baruku dari BSI Unggulan. September pun menyaksikan pertama kalinya presentasi kerja praktik (akhirnya) dan pertama kalinya aku memperkenalkan diri sebagai (sok) seniman, alias kepala media, depan beswan Beasiswa Gen’45 Batch 2.0. Bulan ini juga membawakan pertama kalinya NK’20 bertemu dalam keadaan status pascakampus dalam rangka pernikahan Kang Sayyid (lagi), disusul dengan pertama kalinya aku tersedu-sedu di acara musik, dan pertama kalinya mendapat responden untuk TA-ku (shoutout to Pak Dadan!). September, beserta triwulan ini, dituntaskan secara bombastis oleh pertama kalinya kuhadir di acara masif Kahf (ketemu Ammar Yes Theory!), sebuah high value trip ke Jakarta berkedok pelarian, yang pada akhirnya membuatku yakin bahwa tiga bulan ke belakang ini betul-betul adalah flourish era.

Four Burners

Menurut Four Burners Theory, hidup bisa kita bayangkan sebagai kompor dengan empat pembakar. Masing-masingnya merepresentasikan satu bagian penting dalam hidup: keluarga, teman, kesehatan, dan pekerjaan. Akan tetapi, dengan gas yang terbatas, menjadi sulit bagi kita untuk menyalakan kesemuanya.

Kebetulan, di triwulan ini aku banyak sekali mengisi osjur dan acara semacamnya yang isinya aku sering advokasikan kepada adik-adik untuk mengalokasikan waktu — barang sedikit — untuk menyengaja dalam menata prioritas energinya. Lama kelamaan, aku semakin saja mengapresiasi sang alat Four Burners yang kesederhanaan dan validitasnya semakin saja terbukti.

Dibanding triwulan sebelumnya, yang penuh dengan momentum and movement, aku rasa api pada keempat pembakar komporku kali ini menyala dengan damai dan rileks. Contohnya, api pada pembakar health tak seterang-benderang sebelumnya. Semenjak ada berita ITB Ultramarathon diundur, doronganku untuk berlatih lari terjinakkan — bahkan sempat sama sekali hampa — dan mulai terjalankan secara perlahan sekadar sebagai pembiasaan baik. Pola yang sama berlaku untuk latihan angkat beban. Kendati demikian, aku tak mengalami sakit fisik yang signifikan selama tiga bulan terakhir, dan merasa bahwa tubuhku cukup ideal dalam menerjang hari-hari baru (meskipun orang-orang suka mengomentari bahwa aku jadi kurus, but that’s no biggie).

Untuk pembakar family dan friends, alhamdulillah di triwulan ini rasanya much better dibanding keadaan default-nya. Banyak waktu di rumah membuatku lebih banyak harus menjalani amanah sebagai si sulung, bahkan the third adult, dan terasa lebih lapang nan senang hati untuk itu. Aku pun merasa getting better at being a friend — banyak menyengaja untuk bersilaturrahmi dengan tetap menghormati hak-hak waktu dan energiku sendiri. Per-muamalah-an ini secara umum (maupun untuk kasus khusus) akhirnya menemukan titik seimbang yang rasanya begitu nyaman dan sangat respectful terhadap hak orang lain maupun diriku sendiri.

Pembakar work yang sebelumnya terasa agak padam kini harus kunyalakan sedikit lebih terang karena kuliah dan segala pekerjaan yang berkaitan dengannya mulai memenuhi jadwal-jadwalku. Aku sudah cukup mengambil ancang-ancang mental untuk menghadapi chaos yang bertubi-tubi, tetapi memasuki pekan selanjutnya dan selanjutnya, sepertinya chaos itu tidak kunjung datang. Semester 9 tak sesibuk di atas kertas, dan kesemuanya berjalan damai dan beres-beres saja. Adapun pekerjaan lain yang amaat banyak dan beragam — dari komunitas ke proyek mandiri ke ‘bantu orang’ ke nyari uang — yang rasanya sulit untuk didetailkan satu-satu karena sifatnya kebanyakan low-stakes, perintil, dan temporer. Meskipun tak semuanya terpegang dengan ideal, aku pede-pede saja dalam men-juggling-nya perlahan nan satu-satu, dan cukup yakin semuanya pada akhirnya akan aman.

Dilihat-lihat, ini triwulan yang cukup balance. Memang tak ada pencapaian dahsyat, tetapi bagi negara pun kedamaian adalah prasyarat untuk pertumbuhan. Flourish, kan ya?

Aku suka dinamika ini.

Pareto

“Apa 20% dari usaha yang menghasilkan 80% dari output di Q3 ini?”

Pada triwulan ini, jawaban pertanyaan Pareto sedikit menarik: my greatest outcomes have come from when I put in the small extra miles. Dampak terbaik dihasilkan dari saat-saat aku memberikan sedikit saja lebih dari yang diekspektasikan dariku. Aku pikir cukup lucu juga, seolah Allah langsung menghadiahkan output yang luar biasa atas i’tikad baik kecil-kecilan.

Entah mengapa aku rasa hal ini menjadi fenomena cukup berulang apda triwulan ini: menindaklanjuti usulan ide-ide baru, menawarkan untuk menggantikan memimpin rapat saat project lead tidak bisa, mengawal konsep pensuasanaan acara yang sedikit lebih niat, mengiyakan berbagai ajakan yang terkesan tak begitu perlu, dan lain-lain. Berbeda dengan menjadi yes man asal-asalan, aku rasa ini adalah wujud dari mendekati itsar, mendahulukan orang lain. Berkali-kali aku mengabaikan gerutu dalam diri yang menolak dibuat tak nyaman dan menolak untuk usaha melebihi yang diperlukan — aku tidak menyesal.

Petunia: Paradoxical Sentiments

Tutu si Petunia (sedang agak lemah abis ditinggal keluar kota)

The meaning of petunias can be contradictory, leading to some confusion. The petunia flower symbolizes anger... They can also symbolize your desire to spend time with someone because you find their company soothing and peaceful. According to some sources, petunias are also a symbol of not losing hope.

Aku bingung dengan deskripsi petunia yang penuh paradoks ini, jadi tepat rasanya jika ia menjadi judul dari paradoks diri yang begitu tertonjol pada triwulan ini. Di tengah perananku sebagai sang rational problem solver, semenjak awal Agustus, aku menjadi lebih perasa dibanding biasanya.

Kalau kata Kang Jahid, ialah semacam fenomena peralihan dari cognitive empathy ke emotional empathy — atau dalam kasusku mungkin cognitive feeling ke emotional feeling. Aku temui bahwa aku lebih seperti ibuku, menyambut perasaan-perasaan secara instingtif dan natural, alih-alih harus terlebih dahulu memprosesnya dengan akal. Akan tetapi, respons-respons kimiawi baru dan lebih intens ini tetap saja kuhajar dengan kebiasaanku untuk analisis sesuatu hingga tuntas. Dan itu terkadang membuat para perasaan menjadi kompleks berlapis-lapis — toh setelah rasa mulanya muncul dengan semangat tak biasa, ia dikobarkan ulang oleh tusukan-tusukan tongkat analisis yang tak mengenal ampun.

Gejala-gejala tampak dari fenomena ini cukup menarik. Ia terejawantahkan menjadi tulisan-tulisan yang cenderung menyorot sisi dalam diri sendiri, entah itu rasa kemunduran dan potensi kemunduran, kematian dan pembaharuan, utilitas dan ketakberdayaan, ataupun posisi spiritual sebagai hamba. Aku pun menjadi lebih sensitif dari sediakalanya, sehingga mudah terpantik oleh stimulus rasa — terutama podcast yang kudengar dalam perjalanan panjangku pergi dan pulang. Aku lebih sering terharu dan menangis, both positively and negatively, dan berdamai dengan hal itu — bahkan mewajari dan mengobservasi diri sendiri saat tiba-tiba ditekan anxiety bertubi-tubi (terima kasih bagi yang sempat menenangkan). Aku pun beberapa kali kesal dan hampir marahan ke orang-orang yang kukira takkan pernah begitu. Semua hal ini aku biarkan mengalir saja, menganggapnya badai dan matahari yang barangkali esensial bagi kamboja jiwaku.

Alhamdulillah, segala fenomena ini menurutku masih sangat sangat net positive dan aku cukup terarahkan untuk menjelmakan perasaan-perasaan ini menjadi batu loncatan menuju jalan yang lebih baik. Ini dibantu dengan aktif mencari input-input positif — entah melalui buku, podcast (MASSIVE THANKS untuk Ust. Omar Suleiman, Ust. Yasir Qadhi, & Sh. Hamza Yusuf) atau pilihan pembicaraan dengan teman — yang seolah begitu pas dalam menjawab pertanyaan dan keresahan kecil yang muncul seiring aku berkelana. Momen-momen-merasa-sensitif ini tak menghalangi ‘Rakean versi panggung’ atau ‘Rakean versi networking’ yang sumringah dan feels indestructable yang seringkali kubutuh untuk dimunculkan. Tapi lucu aja jadinya seolah ada bunga-bunga berwarna baru pada petuniaku yang sedang bermekar dan berkembang, tanpa mengganggu tumbuhnya bunga-bunga yang sudah mengakar kuat.

Kalau aku harus tebak-tebak root cause fenomena ini, sepertinya akan sulit karena seolah tak ada penjelas tunggal. Hipotesisku sejauh ini adalah bahwa ada keran-keran hikmah selama setahun terakhir — perjalanan, bacaan dan tontonan, memaknai kesendirian dan kemandirian, status mahasiswa tingkat lima, obrolanku dengan para mentor dan teman, Nyarita, dsb. — yang terbuka dan mengucurkan air-air pada eksterior keras kalbu. Kebetulan aja pada triwulan ini, air tersebut mampu mengelupas lapisan kritis dan mengekspos bagian sensitif ke udara, menghadirkan fase baru yang siap dibenturkan dan dibentukkan oleh realita.

Aku harus bijak dengan kebaruan ini dan menjaga net positive-nya. Kalau kata Kak Royyan setelah kuceritakan keanehan-keanehan ini, jika sensitivitas emosional ini ditumbuhkan dengan baik, ia akan menjadi superpower baru pada toolset seorang Rakean. Aku tak sabar melihat koleksi warna bunga — toolset hidup — yang kelak akan dimiliki Rakean-masa-depan, seperti merah-putih-pink yang sekarang mekar indah pada Tutu si Petunia.

Spider Plant: The Luck Vector

Peter Planter a.k.a. Spiderplant

In the tapestry of houseplants, the Spider Plant stands out for its cultural cachet. It’s more than just a pretty face; it’s a symbol of prosperity and good fortune across various cultures.

Aku tahu aku seringkali bercanda bahwa hidupku banyaknya serasa jatuh ke atas. Saat aku sedang jahat pada diri sendiri, fenomena ini pula yang kubawa-bawa sebagai bukti bahwa aku tak begitu deserve sebagian besar dari nikmat hidup yang kurang kusyukuri ini, bahkan sampai menakut-nakuti diri sendiri bahwa jatah beruntungnya akan cepat habis. Akan tetapi, saat aku sedang aman nyaman mengesankan, seperti mood-ku di akhir triwulan kemarin, keberuntungan ridiculous ini menjadi pertanda akan rezeki-rezeki yang tersimpan oleh-Nya dan harus kuterima dengan tangan terbuka dan kepala mengangguk — siap mengemban misi selanjutnya.

Dalam satu talkshow yang pernah kuhadiri, Bapak Haryanto Budiman, alumni MIT sekaligus direksi BCA, pernah menjelaskan bahwa luck dapat ditingkatkan dengan tiga hal: network, stakeholders, dan mentors. Kalau digodok menjadi satu kata, ya dia menjadi people. Saat ini, I can’t stress how right this is. Terlalu banyak kesempatan dan temuan keren yang kudapatkan cukup ‘cuma-cuma’, hanya karena aku banyak bermuamalah dengan orang dan menginvestasikan (setidak-tidaknya) perhatian pada orang-orang tersebut.

Salah satu contoh absurdnya adalah acara Kahforward kemarin, yang tanpa berniat aneh-aneh pun aku tetiba mendapatkan akses VIP berkali-kali via terlalu banyak jalan yang pusing aku uraikan satu-satu. Di situlah aku bertemu dengan ibu-ibu yang pernah berinteraksi dua tahun sebelumnya di P3RI, Aldian Alfaridz sang kakak jahim terbaik sepanjang masa, Kak Tasyah dari Maxima, teman-teman Pemimpin.id, pembicara-pembicara keren dari Bagus Muljadi hingga Raditya Dika dan Ammar Kandil, juga menonton konser Kunto Aji dari seat VIP.

Sifat ‘jatuh ke atas’ ini aku namakan luck vector, dengan arah yang tertunjuk menuju langit dan besaran yang sesuai luck tersebut. And I think I have a ridiculously large luck vector. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.

Flourish

my little joy-sparking balcony garden

Pada hari terakhir triwulan ini, aku berjalan kaki ke kampus dari kontrakan teman-temanku di Pelesiran untuk kelas Perencanaan Sistem Informasi dan otomatis mengeluarkan HP untuk mencari rekan-rekan sesama telat lulusku. Sepanjang jalan, aku tersenyum with a skip in my step. Tak sengaja, menangkap senyuman dari refleksi pada handphone, sesuatu dalam diriku berkata,

“Happy looks good on you, Rak.”

Happy. Sa’adah. Eudaimonia. Flourish.

Kata-kata tersebut berputar dalam benak, mengafirmasi segala makna ‘kebahagiaan berarti’ yang berkembang tegak, terlengkapi juga oleh segala resah, susah, dan lelah yang justru lebih menegaskan garis-garis pada dedaunan itu. Aku menunggu kelas tersebut, mengayunkan kaki di kursi dengan penuh keyakinan bahwa masih ada rencana-rencana luar biasa untuk taman kecil ini yang menanti untuk diwujudkan. Semoga Allah mudahkan.

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

No responses yet