Fluency & Flight Hours
Nulis Tentang Jam Terbang Biar Aku Berhenti Insekyur
Si insecure ini kayaknya mengganggu banyak orang. Tak terkecuali aku, tentu saja. Masalahnya, dunia yang diperluas oleh dimensi maya amat piawai dalam memberikan pengingat bahwa kita tidak cakap-cakap amat (dalam kedua artian).
Semua hal dalam tulisan ini sebenarnya sangat obvious. Namun, aku pikir harus lumayan ditata agar aku sendiri lebih mudah mengingatnya: fluency is built through flight hours.
Kefasihan dibangun dengan jam terbang.
Fluency
Sebetulnya, kata ‘fluency’ dan ‘kefasihan’ biasanya merujuk ke hal-ihwalnya bahasa. Seseorang dikatakan fluent atau fasih berbahasa ketika ia lancar, tidak terbata-bata, dan koheren dalam penggunaan bahasa tertentu.
Di sini, aku gunakan ‘fluency’ dengan artian yang diperluas. Aku mengartikannya sebagai cakap, lihai, lancar — dalam… apapun.
Alasannya adalah karena kata inilah yang muncul di kepala ketika aku memikirkan, misalnya, temanku Ihsan yang ahli fisika. Atau ayahku sendiri yang pandai bermatematika. Atau alumni yang bekerja di kementerian yang begitu menguasai domain penanaman modal. Ihsan itu fasih berfisika, ayahku fasih bermatematika, alumni itu fasih ber-penanaman modal.
Fasih, fasih, fasih.
Fluent.
Mungkin kita sering kagum terhadap orang lain yang begitu lancar dan begitu menguasai keahlian tertentu. Di saat otak kita masih berputar mencerna, mereka sudah sekian langkah lebih maju secara otomatis. Mereka menjelaskan atau memahami sesuatu dengan begitu baik; mengerjakan sesuatu dengan begitu cepat dan tepat. Relate kan ya? Itulah yang kumaksud dengan kefasihan: lancar, tidak terbata-bata, koheren.
Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi, dunia-dunia kecil kita masing-masing bertambah berkali-kali lipat. Semakin banyak skill di luar sana yang sama-sama tak kalah penting. Semakin banyak berita yang lebih tak mungkin untuk di-catch up seluruhnya. Semakin banyak sejarah setiap harinya yang tak habis-habis. Ada aja hal yang bisa di-fluent-in orang-orang. Ada aja hal yang jadi bahan insecure.
Jadi ya, wajar. Rasanya, aku pun sering insecure.
Sebagai orang bertendensi generalist yang tak begitu ahli apa-apa dan senang berkembara ke berbagai bubble berbeda, aku sering sekali merasa ‘kalah’ dan ‘jauh’ dibanding orang-orang.
Contoh konkret yang terasa olehku untuk waktu yang cukup lama adalah aktivitas-aktivitasku di lingkaran pemuda-pemuda masjid. Aku yang aktivis dakwah gadungan dan bukan akhi-akhi banget suatu waktu tiba-tiba tercemplung saat dijadikan ketua rohis dan terus-terusan bermain di dunia tersebut di tengah orang-orang yang dari sananya sudah masyallah pisan secara latar belakang keislaman. Sering sekali aku dihibur dengan konsep bahwa “toh kita sama-sama belajar” tapi tetap saja rasanya dunia kita sangat jauh, sebetulnya. Untungnya, hal ini tidak menghasilkan begitu banyak masalah yang berpengaruh terhadap orang lain, toh aku mau untuk belajar, meski takkan pernah menjadi setingkat yang lain. Dan baiknya aku berdamai dan mewajarkan hal demikian.
Semoga itu contoh yang representatif; mungkin kamu merasakannya dalam duniamu.
Bagi seseorang yang fasih dalam suatu bidang atau skill tertentu, kefasihannya itu second nature. Mereka tak harus begitu berpikir atau berusaha keras untuk memproses informasi lagi: sudah natural. Dan bagi mereka, domain mereka memang mudah. They make it look so easy.
Ini seperti berbahasa. Kita gak perlu begitu mikir untuk berfafifu dalam bahasa Indonesia.
Dan layaknya penguasaan bahasa sendiri yang mungkin kita sepelekan ke-fasih-an diri kitanya, barangkali kita jarang memikirkan hal-hal lain yang sebetulnya kita kuasai dengan begitu natural. Dan barangkali itulah suatu unfair advantage yang kita miliki dan sangat layak untuk diberi perhatian lebih.
Tapi kelihaian itu munculnya dari mana? Kembali pada poin awal tulisan ini, fluency is built through flight hours.
Flight Hours
Aku tak ingin mendebatkan nature vs nurture dan sebagainya. Yang jelas, kita terlahir dengan talent yang berbeda-beda. Akan tetapi, yang membentuk kita sebetulnya adalah campuran pilihan dan keadaan yang memberikan isi dari waktu kita yang sama-sama 24 jam per hari itu.
Dalam buku “Outliers” karya Malcolm Gladwell, ia mengusulkan konsep “10.000 Hour Rule” yang menjadi perbincangan hangat dan sering diperdebatkan di ruang maya. Aturan ini menyatakan bahwa untuk mencapai tingkat keahlian yang luar biasa dalam suatu bidang, seseorang harus meluangkan waktu untuk berlatih selama 10.000 jam. Contoh di bukunya adalah Bill Gates yang konsisten dalam mengulik dunia software sehingga dapat mendirikan sang raksasa Microsoft atau juga The Beatles yang pengalaman manggung-nya sudah beribu-ribu jam sebelum mereka akhirnya tenar.
Di buku tersebut, terdapat berbagai bukti lain dari aturan ini seperti penelitian yang menunjukkan bahwa banyak orang sukses telah menghabiskan ribuan jam untuk mengasah keterampilan mereka sebelum mencapai tingkat keunggulan yang mencolok. Konsep ini menyoroti pentingnya latihan yang berfokus dan konsisten dalam pengembangan keterampilan.
Meskipun begitu, Gladwell juga menekankan bahwa latihan saja tidak cukup. Kualitas latihan, bimbingan yang baik, dan faktor lingkungan (alias luck) juga memainkan peran penting dalam proses pengembangan keahlian. Butuh luck yang luar biasa untuk bisa sampai pada sweet spot yang menghendaki seseorang punya ruang untuk bisa berlatih dan memiliki sebanyak itu jam terbang.
Lumayan dekat-dekat ini, aku menyadari ada benarnya aturan ini dalam kehidupan pribadi pada suatu hari random ketika proses ngulik Lightroom-ku ditonton oleh beberapa teman. Sebetulnya aku tak menganggap diri sendiri begitu jago mengedit foto atau berkemampuan aesthetic, apalagi dibandingkan para suhu di sosmed. Tetapi, prosesku beserta segala gimik mengedit yang aku rasa obvious, direspons dengan kekaguman.
Ya wajar aja, mereka kan belum pernah menyentuh kerjaan begini.
Lalu ada permasalahan English. I can confidently knock most of my peers way out of the ballpark when it comes to English fluency. Dan wajar aja, karena aku punya jam terbangnya yang unfair advantage dibandingkan rekan-rekan sejawatku.
Contoh lain. Aku bertemu dengan temanku Uloh di tengah pandemi pada bulan Ramadhan 2021. Pada saat itu kita berdua sama-sama jadi volunteer untuk kepanitiaan Ramadhan di Masjid Salman, dan kita berdua senang memotret. Sebenarnya, pada saat itu, aku telah jauh lebih lama mengenal dunia berkamera dari ayahku dibanding Uloh, tetapi aku tidak menindaklanjutinya dengan pengalaman yang berarti. Setahun kemudian, Uloh telah melampauiku jauh dan menjadi staf yang amat berjasa ketika tiba kalanya aku memimpin kepanitiaan Ramadhan tersebut.
Dia berlatih dan hunting tiap hari, juga mengikuti acara-acara komunitas fotografi di Kota Bandung sehingga betul-betul fluent dalam sebuah skil yang kelak membawanya ke berbagai zona baru yang lebih mengembangkan lagi skil tersebut, dan menjadikannya salah satu fotografer wisuda paling on demand yang kuketahui (aku sudah mem-booking-nya untuk 2025).
So yeah.
Lagi-lagi, fluency is built through flight hours.
Kesimpulannya, mari kita lebih lapang dada dalam mewajarkan kehebatan orang lain secara relatif terhadap kita karena ternyata flight hours atau jam terbang yang mereka punya pun merupakan suatu privilege. Ini memang bukan alasan untuk tidak mengusahakan pembelajaran atau mengupayakan jam terbang tersebut, tetapi setidaknya itu bisa menjadi tameng logis untuk menangkal serangan insekyur yang sering kita layangkan terhadap diri sendiri.