Helmku Dicuri Preman
Kisah Ril No Mitos
Helmku dicuri preman. Asem.
Aku mampu saja mengikhlaskannya, kok, andai saja tidak tiba-tiba di-WhatsApp oleh tukang parkir kafe itu dua hari kemudian.
Ka dieu A(ke sini Bang), tos kapendak helmna (udah ketemu helmnya). Enggal ka dieu ngarah dibere paham jelemana (cepetan ke sini biar dikasih paham orangnya).
Hm?
Bisa-bisanya ketemu! Aku langsung meluncur kembali ke TKP dengan Beat butut andalanku. Tentu saja tanpa helm.
Sesampaiku di depan kafe itu, Acep si tukang parkir melambai dan menyahut dari kursi plastiknya. Ia bersandar rileks, celana pendek hitamnya yang berujung semirobek menutup kakinya yang terbuka lebar. Sebuah kemeja lusuh menyelimuti tangan rampingnya, sementara rambutnya berwarna api.
“Mang Acep! Kumaha, kumaha?” kusapa sok akrab. Aku baru juga mengenalnya sejak dua hari yang lalu, ketika aku mengadu soal kehilangan helmku padanya — yang seharusnya menjaga tempat parkir itu.
“Ieu, A!” ia seketika melompat dari senderan nyamannya, tersenyum dengan behel merah mengkilap yang senada dengan rambutnya. Lalu, ia membawaku ke pojokan tempat parkir itu dengan langkah santai.
Alih-alih kendaraan, di semen itu terparkirlah seorang pria bertopi hitam. Hoodie kotor dengan robekan natural memeluk ketat tubuhnya. Lengan kanannya yang sedikit tersingkap menunjukkan prasasti warna-warni yang sedikit pudar — penuh dengan kata-kata fantastis yang barangkali pernah diukir seorang seniman padanya sekian tahun silam. Tatapannya kosong. Helm hitamku duduk begitu manis nan tak bersalah di sebelahnya.
Di belakangnya berdiri seseorang dengan kemeja yang persis seperti Mang Acep, kedua tangannya bersembunyi di saku jeans robek. Sedatangnya kami, tatapan batunya menyapa hanya dengan anggukan. Walau tubuh ia tak ubah kecilnya dengan Mang Acep, sepertinya sosok inilah satu-satunya hal yang menghalangi si pria bertopi hitam ini dari manis kemerdekaan.
Tatapan kosong orang itu akhirnya menengadah ke arahku. Dengan begitu, aku mendadak ingin menjadi orang paling wibawa di dunia. Setidaknya, semoga demikian yang terpancar dari wajahku dan bukan raut sejatinya.
Mang Acep lalu bercerita mengenai kronologi semenjak kehilangan helmku dua hari yang lalu. Setelah deskripsi helm hitamku sudah ia pahami betul, ia dan temannya menyusuri tongkrongan-tongkrongan di seantero Bandung Timur demi mencari si brengsek yang rela melanggar wilayah jaga mereka. Di hari kedua, ia menemukan helm yang persis sesuai deskripsi, lalu berbagai adegan terjadi hingga sang pelaku bisa tiba di tanah parkiran kafe itu kembali. Mereka pun memanggilku, sang pemilik, untuk menurunkan kebijaksanaan.
Mendengar kisah heroik ini, aku garuk-garuk kepala. Rupanya aku sedang berurusan dengan tukang parkir paling amanah di dunia!
“Sok carita, giliran sia,” sang tukang parkir paling amanah di dunia mendorong sang pencuri dengan kasar, menyuruhnya untuk menceritakan versinya, tak lupa menambahkan imbuhan hewan-hewan sebagai kearifan lokal.
Masih dengan tatapan kosong, sang pencuri menjelaskan, “Jadi saya teh ngambil helm Aa buat dijual, A. Ampuni saya, A. Mau dijual 50 ribu buat beli mainan buat anak saya. Kasian, A, anak saya… Nangis terus. Gak punya HP. Jadi ini semua buat anak saya, A…”
Kosong perlahan menjadi melas.
“Percaya, A?” suara menusuk Mang Acep mengambil perhatian para barista yang pura-pura tak melihat dari jendela, “Yang gini mah harus dikasih pelajaran, A. Bebas nih, gimana Aa aja, mau dibawa ke jalur hukum… Atau hukum jalanan aja!?”
Ketiga pasang bola mata tersebut, dan mungkin beberapa pasang tambahan dari jendela kafe, seketika tertuju padaku. Aku si pemilik helm. Aku si penentu. Aku si pemberi hukum. Aku yang seketika muak karena lidahku tetiba mengemban kuasa atas nasib manusia lain. Ternyata, rasanya pahit.
Bilang apa ya?
Setiap detik yang berlalu menuntut jawabku.
Rupanya aku tak pandai berkalkulasi.
Lalu, kutengok kembali ringkuk pasrah sang pencuri.
Dan kutahu apa yang harus kujawab.
“Saya bebasin aja deh, Kang,” kuputuskan, walau Mang Acep dan temannya seketika tampak kecewa, “Tapi ada syaratnya.”
Tangan kotor pria tersebut tetiba menyergap tangan kosongku dan keluarlah sekian paragraf maaf dan terima kasih darinya. Sementara itu, kedua tukang parkir masih sibuk mencabik-cabiknya dengan sorotan mereka. Aku geleng-geleng saja dalam hati.
Lalu, kepada sang manusia yang jiwanya tetiba berada di tanganku semenit sebelumnya, aku sampaikan permintaan agar ia berjanji tak mencuri lagi. Dan agar anaknya di rumah tak tumbuh dari harta tak halal. Tentu ia begitu semangat mengiyakan.
Aku pun melepas tangan sang pencuri dan membiarkannya berdiri untuk berpamitan. Kemudian, terbanglah sang pencuri itu dari sangkarnya yang berbentuk tempat parkir, seketika hilang kembali ke dalam jantung kota.
Setelah membungkuk untuk menenteng kembali helm hitam yang sebetulnya tak rindu-rindu amat, aku segera berjalan menuju Beat-ku. Aku harus pulang. Gir di kepala sudah berputar terlalu cepat dan pahit masih saja bersisa pada lidahku. Aku pun berpamitan kepada kedua tukang parkir, yang entah kenapa menolak bayaran ekstra untuk jasa penangkapan maling profesional, dan segera meluncur kembali untuk pulang. Tentu dengan menggunakan helm.
Sepanjang perjalanan pulang, juga perjalanan lebih besar lainnya, aku sukar melupakan duduk meringkuk pencuri helmku. Maka meringkuklah ia dalam ufuk-ufuk kepalaku.
Melihat posturnya, aku terpikir bahwa pada suatu masa, tubuh yang sama itu pasti pernah meringkuk juga dalam rahim sang ibunda, terdiam di alam suci dan menunggu dengan khusyuk untuk waktu bersinarnya di dunianya yang berikutnya. Pasti tak terlintas olehnya bahwa ia kelak akan meringkuk kembali di semen depan kafe. Kubertanya, hilang ke manakah bayi itu?
Masih meringkuk ia dalam ufuk-ufuk kepalaku.
Melihat hoodie kekecilan yang menggenggam badannya, aku terpikir bahwa pada suatu masa, lengan-lengan yang sama itu pasti pernah kecil dan gemuk, berusaha berulang-ulang hingga tantrum untuk mencari lubang tangan pada kali pertamanya mengenakan baju. Pasti tak terlintas olehnya bahwa ia kelak akan memilih mewarnai lengan tersebut dengan gambar jorok nan kasar, juga berbangga atasnya. Kubertanya, hilang ke manakah balita itu?
Masih meringkuk ia dalam ufuk-ufuk kepalaku.
Melihat kedua tangannya, aku bertanya: Apakah pada suatu masa, jemari cerdik yang sama itu pernah membolak-balikkan kertas sebuah buku? Apakah jempol dan telunjuk itu pernah lincah memutar jendela-jendela cerita, tiap halaman seolah diberi cahaya dari binar mata yang tak sabar mengetahui apa yang terjadi selanjutnya? Apakah sentuhannya sempat berkenalan dengan lembutnya bab-bab baru? Pernahkah sang kelingking terkejut dengan luka kecil sebagai tanda sayang sudut lancip bawah kanan?
Jika tidak, kusimpulkan, bayi dan balita itu barangkali hilang bersama buku.
Masih meringkuk ia dalam ufuk-ufuk kepalaku.
Melihat tatap kosongnya, aku bertanya: Apakah pada suatu masa, kedua mata jeli itu pernah menangkap huruf-huruf dari lembaran, mengundang mereka berdansa sebagai gagasan dan imaji dan mimpi dalam teater istimewa di ruang kepala? Apakah keduanya pernah letih, terpaksa bekerja demi barang satu halaman selanjutnya? Apakah kejelian retinanya pernah menyelidiki kebenaran paragraf janggal? Atau tersenyum melihat tokoh dan gambar pada komik pekanan?
Jika tidak, kusimpulkan, bayi dan balita itu barangkali hilang bersama buku.
Dan masih meringkuk ia dalam ufuk-ufuk kepalaku. Aku yakin ia pun merindukan bayi dan balita itu.
Helmku dicuri preman. Dan ia bebas bersyarat. Entah mengindahkan janjinya, entah mencari mangsa empuk di parkiran berikutnya. Mungkin seharusnya aku meminta juga kepadanya untuk membacakan cerita-cerita pengantar tidur kepada anaknya itu.
Agar ringkuk, lengan, jemari, dan tatapnya tetap seperti sediakala. Atau setidaknya, agar tak bertumbuh menjadi preman pencuri helm.