How Many Friends Can You Remember?
Mengenai Hierarki Pertemanan
One: Exposition
Spoiler alert: jawabannya adalah 150.
Setidaknya, begitu menurut sang antropolog Robin Dunbar, yang meneliti ukuran perkumpulan sosial primata-primata beserta korelasinya dengan ukuran otaknya. Berdasarkan perhitungannya, untuk manusia, angka perkumpulan sosial tersebut berada di antara 100 and 231 orang — hence estimasi 150.
Melihat orang dengan follower Instagram yang terlihat bejibun dan mereka para ahlul networking yang kerap kita jumpai selama hidup, rasanya sulit untuk menerima angka ini karena: terlalu dikit gak sih?
Akan tetapi, si 150 ini, disebut Dunbar’s number, ternyata memiliki definisi yang cukup spesifik. Secara informal, Dunbar mendeskripsikannya sebagai “the number of people you would not feel embarrassed about joining uninvited for a drink if you happened to bump into them in a bar,” atau jumlah orang yang kamu tidak akan malu jika tiba-tiba ikut minum dengan mereka tanpa diajak apabila bertemu tak sengaja di bar.
Barangkali versi halalnya begini: bayangkan kamu sedang pergi ke suatu cafe malam-malam di jam agak aneh dan ternyata di sana ada seorang temanmu yang sedang duduk sendirian. Jika tanpa diajak, kamu nyaman-nyaman saja dan tak malu bergabung satu meja dengannya, berarti ia masuk ke dalam Dunbar’s number. Jika ada rintangan sosial yang membuatmu enggan, berarti tidak.
Jujur, si skenario ‘versi halal’ ini terjadi beberapa kali dalam hidupku — baik itu akhirnya aku ikut duduk semeja atau tidak — dan itu cukup deskriptif atas hubungan aku dengan orang yang bersangkutan. Aku pun jadi membayangkan skenario ini di kepala untuk orang-orang yang berbeda dan menjadi ngeh bahwa angka 150 tersebut cukup masuk akal.
Siapa saja yang masuk 150 ini tentu saja adalah fungsi dari waktu. Situasi dekat yang memaksa kita untuk berada di latar tertentu tentu akan membuahkan interaksi yang lebih intens dengan orang-orang tertentu dari masa ke masa. Pun, siapa-yang-sedang-masuk-150 ini cukup berkorelasi dengan intensitas interaksi dekat itu. Bagiku ada beberapa pengecualian, seperti teman lama yang entah mengapa terlepas circumstance tetap saja dekat — meskipun hanya berinteraksi sekian minggu sekali, barangkali. Merekalah teman dengan hubungan “paling tidak fana” yang kumiliki. And without doubt, aku bakal tetap semangat aja untuk randomly “duduk semeja” dengan mereka sepanjang masa. Jadi ya, this informal definition is quite a good filter, to be honest.
Menariknya, Al Tenhunfeld, CTO dari Simple Thread, menggunakan skenario dari definisi informal ini sebagai argumen mengenai betapa pentingnya menganggap orang yang bekerja sama tak sekadar sebagai vendor, tetapi sebagai partner. Pasalnya, perusahaan kecilnya selalu mempunyai hubungan baik dengan klien — pun anggota-anggota timnya sendiri serasi secara internal. Tenhunfeld sendiri mendeskripsikan semuanya sebagai orang-orang yang awesome, dan menyadari bahwa ini adalah dinamika yang langka dalam dunia bisnis yang begitu senggol-bacok. Dan ia atribusikan ini pada mindset awal bahwa setiap orang baru adalah calon teman yang ia ingin betul-betul bisa seakrab itu untuk ikut minum bersama secara random di bar, jika situasinya muncul.
Hal ini menarik bagiku. Seorang CTO perusahaan kecil tentu saja akan mau-mau aja mengisi 150 kursi VIP-nya untuk orang-orang dalam konteks pekerjaannya karena pekerjaannya adalah hidupnya. Hal ini mungkin tidak make sense bagi aku yang belum lulus-lulus dan heran mengapa ada orang yang semudah itu mengalokasikan perhatiannya terhadap orang-orang di lingkup korporat. Namun, aku menjadi sadar bahwa barangkali aku pun akan seperti itu.
Barangkali hubungan-hubungan spesial dengan teman-temanku saat ini suatu saat akan kadaluwarsa satu-per-satu — atau setidaknya merenggang hingga mereka tak lagi termasuk orang yang aku semangat duduk semeja bila bertemu random di kafe saat larut malam. Suatu saat, hidup bertema perkuliahan akan bergulir menuju hidup bertema early career, lalu small family, lalu tahap selanjutnya dan selanjutnya — membawakan sekumpulan 150 yang senantiasa ter-reshuffle sesuai dengan situasi dan kondisi. Buktinya, toh, itu sudah terjadi dari SD ke SMP ke SMA. Ada dimensi waktu yang melekat pada tiap-tiap hubungan kita yang memengaruhi sang susunan 150.
Kita pun tak perlu terlalu fokus pada si 150, toh buktinya dari following Instagram kita dan jumlah kontak Whatsapp emak-emak, jumlah orang dalam network keseluruhan kita bisa amat sangat banyak. Kepanitiaan P3RI 1443 saja berisi 803 orang. Akankah majoritasnya didiskualifikasi dari predikat ‘teman’ hanya karena tak masuk angka Dunbar itu? Tentu tidak.
Di sinilah kita perlu mendiferensiasikan antara teman akrab layaknya angka Dunbar dan acquaintance atau kenalan — sejenis manusia yang mengisi majoritas dari modal sosial kita. Ada pun penelitian di tahun 1950-an dari dua orang sosiolog, Ithiel de Sola Pool dan Manfred Kochen, yang mencari angka dari “acquaintanceship volume” —atau jumlah dari acquiantance ini.
Acquaintance sendiri didefinisikan sebagai seorang yang pernah bertemu, namanya diketahui, dan pernah berinteraksi. Pool mencatat jumlah orang ini dalam kehidupan pribadinya selama 100 hari, lalu dari data tersebut memprediksi bahwa akan terekam sekitar 3500 acquaintance setelah dua dekade. Harus diperhatikan bahwa ini dilakukan jauh sebelum zaman internet, jadi angka tersebut bisa saja sudah membludak.
Poinku adalah bahwa network kita secara empiris cukup terbatas. Mau itu 3500 kenalan atau 150 teman akrab sebagai salah satu subhimpunannya, mau tidak mau merekalah yang memengaruhi kita — secara preferensi, secara kepribadian, secara nilai. Dengan keterbatasan ini, apakah kita sudah cukup heterogen dalam membangun jejaring sosial besar di sekeliling kita? Dan kalau iya, karena tak semua teman diciptakan dengan tingkat pengaruh yang sama terhadap kita, apakah di tengah heterogeneitas itu kita telah cukup bijak dalam memilih rekan dekat?
Aku bersyukur bahwa aku bisa mengatakan iya terhadap kedua pertanyaan tersebut with a resounding “yes!” Dan selain itu, aku berkali-kali takjub terhadap takdir yang entah mengapa membawaku ke suatu titik nexus jejaring, yang membuatku begitu mudah terhubung dengan berbagai lini manusia yang isinya orang-orang keren. Sesuai kata Ustadz Nouman Ali Khan, dikelilingi teman baik adalah salah satu rezeki terbaik yang bisa kita punya.
Dan harapannya, kita pun bisa berperan sebagai rezeki terbaik itu — entah itu sebagai bagian dari 150 atau 3500-nya orang lain.
Two: Connotation
Barangkali kau bermula sama seperti persona lainnya — pejalan kaki yang berlalu-lalang tanpa acuh terhadap rumahku. Mungkin tembok-tembok abunya hanya menjadi detail tambahan untuk hari-harimu, sebuah pengisi kekosongan yang membuat perjalanan rutinmu tak hampa amat. Sama seperti rumah-rumah lainnya. Kau tak pedulikan sepeda merah yang terparkir rapi depannya, macam-macam flora yang berbaris di terasnya, apalagi apa-apa yang tersimpan dibalik temboknya!
Namun, barangkali suatu hari kau diundang formal ke tempatku untuk acara RW. Atau mungkin kau tertarik dengan hiasan-hiasan pagarku dan memilih datang sendiri. Atau kita bertemu di toko kelontong terdekat dan aku mengajakmu untuk mampir. Aku tidak tahu. Yang jelas, kau menjadi salah satu di teras mungilku yang hanya muat 3500 orang itu.
Aku pun menjamumu beserta tetamu lain dengan mata berbinar dan tampang tegak, menyapa dengan jabatan tangan seorang bangsawan sejati. Kau mungkin terkesima dengan taman kecilku yang tersusun rapi — jauh lebih bisa diapresiasi dari dekat. Atau barangkali kau mengagumi selera bentukan bangunan teras yang sedap di mata, dengan warna-warni hangat nan harmonis. Meja kayu besar melintang hampir seukuran sang rumah, mengalaskan berbagai jenis santapan lezat yang dikumpulkan dari seantero dunia. Wah, teras apik ini membuat rumah sederhana seolah begitu berkelas!
Namun, barangkali selepas suatu acara besar di teras, kau kupanggil masuk ke ruang tengah di rumahku. Terpajanglah buku-buku dengan judul-judul terkenal dan figura-figura seluk-beluk hidupku. Mungkin kau sempat mengomentari poster Sheila on 7 dan Pokemon yang tegak dengan bangga di dinding belakang kursi tamu panjang, kontras betul dengan harmoni elegan di teras. Aku pun tenggelam di sofa hitam, mengusap keringat, dan melepas dasi, sambil melontarkan candaan aneh yang begitu buruk. Mungkin kau ikut tenggelam di kursi tamu dan berbincang-bincang dengan yang lain, sambil menyeruput kopi atau teh yang kusiapkan secara random dari pemberian orang-orang. Ruang ini pun kecil, kau perhatikan. Hanya muat 150, barangkali.
Mula-mula kau kaget dengan interior ruang tengah yang macam-macam, seolah furniturnya telah dikumpulkan dari segala penjuru. Sofa kulit hitam, kursi-kursi kayu, karpet oriental, kulkas menguning, TV kotak tertinggal zaman. Semakin dilihat, masing-masingnya semakin tak bertema. Aku pun menjelaskan bahwa banyak darinya adalah pemberian, jadi tak mesti serasi, bukan? Itulah penghormatanku kepada teman-teman yang turut meramaikan ruang tengah. Suatu hari kau pun memberiku pohon bonsai kecil dan kutaruh di pot dekat jendela. Bunga-bunga mungil pink mekar darinya. Barangkali kau bercanda bahwa warnanya tak cocok sama sekali dengan cat interiorku yang begitu bernada dingin, tetapi aku tertawa saja tak hirau.
Barangkali suatu hari kau beranjak ke ujung lorong sebelah barat dan membuka pintu. Perpustakaanku. Mungkin kau memang kuundang untuk diskusi buku. Atau mungkin kau temukan kunci pintu itu dengan sendirinya. Aku tak tahu. Di sini mungkin kau menelusuri koleksi-koleksi buku antikku dengan penuh perhatian, mengapresiasi wangi kertas dan tinta yang membersamainya. Kau naiki tangga-tangga portabel sampai langit-langit, dan tersingkaplah seisi perpustakaanku — rak-rak berisi buku separuh tanggal, kertas-kertas manuskrip rapuh menguning, juga antik-antik porselen dan kaca yang kau takut tersenggol. Niche sekali, pikirmu, barangkali, ketika aku merekomendasikan salah satu dari gulungan kertas zaman Majapahit untuk kau pinjam dan kita diskusikan.
Malam-malam begitu menyenangkan di perpustakaan. Aku memasang wewangian berbeda tiap fase bulannya, dan suara renyah putaran lembaran bukumu yang begitu syahdu ditemani tuturan api yang memakan kayu di perapian pada sudut timur. Mungkin di latar beginilah kau menemaniku mengeksplorasi seisi dunia dari satu huruf ke huruf lainnya.
Barangkali, mula-mula, kau seperti pengunjung perpustakaanku yang lainnya: yang tak tertarik sering-sering berkunjung ke rumah dan sekalinya datang memang langsung masuk ke perpustakaan. Pembicaraan di teras dan di ruang tamu begitu trivial dan kosmetik memang — pikirmu. Dan lama-kelamaan setelah akrab dengan perintil ruang dan tak segan membawa badan di antara barang-barang sensitif itu, mungkin kau temukan kejanggalan pada suatu rak buku di ujung ruangan. Mungkin kau terilhami untuk menarik sebuah buku cokelat berukuran sedang yang nyaman diapit dua buku merah besar — lalu rak bergeser layaknya dalam film-film.
Dan kau temukan pintu.
Barangkali, kau akan memutar gagang dan melangkah malu-malu tuk beranjak masuk. Kau pun mendadak dibuat buta — semua dunia putih!
Lima belas detik. Buta mereda. Ternyata kau tak lagi dalam ruangan! Pasir menemukan kaos kakimu. Garam di udara menyapa paru-paru. Risau para unggas menggelitik gendang.
Aku sedang memandang garis tipis yang membagi langit dan bumi dan kau akhirnya melangkah untuk duduk di samping kiriku. Tak seperti sang tuan dengan dagu terangkat dan jabat tangan kukuh di teras rumahku itu, durjaku terkikis muson dan kedua lenganku setengah hati memeluk kaki. Aku menoleh ke arahmu dengan senyum tipis dan kita bicara dalam bahasa pesisir yang hanya dimengerti para makhluk dimensi ini.
Kita sama-sama tak tahu mengapa atau sejak kapan kau fasih menuturnya.
Kau temukan dalam bahasa alam ini suaraku bukan lagi intonasi sakarin dari ramah-tamah tetamu, tetapi sebuah nyanyian sealami pasangnya ombak dan selelah usia terumbu karang. Wajar. Aku terlahir di lautan ini. Inilah bahasaku semenjak titik mula aku berpikir.
Barangkali kau kuatir dengan keberadaanmu di alam ini. Sementara aku menggelisahkan kesanmu tentangnya. Kau bertanya mengenai lautan. Dan aku tak tahu persis. Yang jelas ini bukan tempat wisata. Semakin lama, bulan semakin menarik ombak. Buih mulai menyapa kaki kita, cengengesan. Aku menghimbaumu untuk berhati-hati, sebab dalam pencarian aku pernah tenggelam dalam perairanku. Lalu kutemukan bahwa ia tak sejinak perpustakaan, ruang tengah, dan teras. Mungkin masih terlalu liar untuk pengunjung.
Tak terasa, air sampai pinggang. Aku sebenarnya masih ingin berlama-lama. Toh buaian air begitu menyenangkan. Namun, barangkali, kau berdiri penuh paham dan harap, lalu berpamitan. Mungkin kau takut lupa mematikan kompor. Mungkin ada setrikaan yang belum rampung. Aku tak tahu.
Kamu mengikuti jejak balik. Dan aku mengarungi samudera.
Namun, kau tahu letak pintunya — barang ingin bertamu suatu saat lagi.
Dari dulu, aku penasaran tentang dua arah kepenulisanku yang distinct — jelas berbeda and they feel like two different authors. Dengan begitu, aku ingin bereksperimentasi apakah keduanya bisa digabung secara serasi — ataupun secara juxtaposition — ke dalam satu tulisan yang dapat berdiri utuh karena saling memberi konteks. Bagiku sedikit aneh, memang, but I like it. So please, tell me what you think.