Ilmu Padi 🌾🌾

Refleksi Menjelang Bulan Puasa Mengenai Harga Beras, Mubazir x Mindfulness, dan Fenomena Disenchantment of Nature

Rakean Radya Al Barra
8 min readMar 1, 2024
Photo by Doan Tuan on Unsplash

Pada suatu siang di tahun 2022, aku dan temanku, Rajji, menggeluti sebuah misi luar biasa dari sebuah meja warung lengket di tengah kota. Tugasnya sulit; menguras fisik dan menguji mental.

Senjata kami adalah sendok dan tisu. Misi kami adalah suatu amanah luhur yang rasanya wajib kami jalankan: menghabiskan musuh. Musuh kami adalah nasi goreng Black Romantic yang entah tertukar dengan pesanan siapa karena — tumben kok pedes banget?

Karena tersisa banyak sisa tugas kami masing-masing, disatukanlah kekuatan (dan piring) untuk bisa menyelesaikan misi bersama. Dengan tetesan keringat perjuangan yang muncul perlahan pada dahinya, Rajji-lah motivator ulung, mengungkit suatu petuah berharga yang kami dapatkan dari guru kehidupan (dan fisika) kami sewaktu SMA, “Pak Muhsin pernah bilang…”

Cerita lama ini tiba-tiba teringat ketika aku sedang meratapi nasib dari nasi kotak hasil bagi suatu acara talkshow yang saya hadiri, bertugas menjadi tukang potret. Sebagai anak yang tak dibesarkan di negara dengan nasi sebagai sumber karbohidrat utama, aku sering merasa bahwa aku cenderung lebih sedikit makan nasi dibanding rekan-rekan sejawatku di Indonesia. Sialnya, keseimbangan lauk-nasi pada kotak konsumsi ini agak sedikit bermasalah sehingga tersisalah mungkin sepertiga dari total nasi meskipun lauknya sudah habis — sebuah situasi yang rasanya sering aku jumpai sepanjang hidup. Berbekal peringatan keluarga sejak lahir tentang pentingnya menghindari mubazir (“Nanti nasinya nangis,” kata Aki), solusiku ya — habiskan.

Jadi kali ini, di meja kayu depan Ruang TVST A, aku bengong dalam sebuah upaya pengunyahan dan misi penghabisan musuh yang amat hambar. Dan bukan rasa nasinya, maksudku, yang hambar. Tapi aku merasa ada respons yang kurang dariku dalam aktivitas makanku itu.

Dengan begitu, aku teringat cerita nasi goreng pedas di warung Black Romantic bersama si Rajji, dan quotes Pak Muhsin yang ia kutip, “Pak Muhsin pernah bilang, ‘Kalau makan, bismillah-nya dua kali. Yang pertama niatnya buat nutrisi, yang kedua niatnya biar gak mubazir.’ Itu qurban kecil kita.”

Terlepas dari keabsahan fiqhiyah dari betul-betul mengucapkan bismillah dua kali (tidak berdalil ygy), aku menangkap poin utama dari niat ganda tersebut: (1) niat untuk menerima makanan dengan penuh syukur sebagai input bagi diri pribadi [nutrisi, energi, kenikmatan, apapun itu] dan (2) niat untuk tidak menyisakan makanannya, juga sebagai bentuk syukur.

Mungkin agar lebih makes sense mengapa ini begitu penting, kita coba tengok ke contoh lain. Aku sering amazed dengan teman-temanku dari umat Kristiani, yang begitu khusyuk dan deliberate dalam saying grace atau doa-doa mereka sebelum makan. Point of view yang penuh syukur ini juga amat terasa ketika aku ikut Thanksgiving meal, suatu acara syukur penting dalam tradisi Amerika, dan melihat bagaimana Tuhan begitu dihormati melalui hal sesederhana makan.

interfaith dialogue

Sementara itu, kami yang Muslim (yang juga sebenarnya memiliki doa sebelum makan, bahkan doa kalau kelupaan doa sebelum makan) sering abai dan langsung lahap-lahap saja. Anjuran untuk mengucapkan bismillah sebelum setiap kegiatan mungkin seringkali tidak diindahkan — apalagi diresapi.

Dengan kurang dari 10 hari lagi menjelang Ramadhan 1445 H, ini menjadi refleksi besar untukku. Momen-momen tipping point spiritual khas Ramadhan harus dimanfaatkan dengan menghadirkan Allah secara ikhlas dalam setiap langkah, sublangkah, mikrolangkah kegiatan kita, yang akan menuntun kita menuju excellence — itulah ihsan. Pembiasaan ini secara terpelihara akan membuat kita orang yang lebih God-conscious — bertaqwa. Itu kan, output harapan Ramadhan? (2:183). Dan Allah bersama orang-orang yang ihsan dan orang-orang yang bertaqwa (16:28).

Mubazir x Mindfulness

Photo by Ali Inay on Unsplash

Kembali ke kotak konsumsi pascaacara tadi — aku mengunyah sambil memikirkan pula jutaan orang yang terpengaruh oleh kenaikan harga beras akhir-akhir ini. Teman-temanku banyak yang bercerita mengenai kesulitannya keliling dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk mencari beras. Bahkan ada warung yang kukunjungi yang cepat habis nasinya. Aku tak bisa membayangkan mereka yang betul-betul kesulitan dan mereka yang betul-betul bergantung pada nasi dan lauk yang tak seberapa untuk bertahan hidup.

Di situ aku merasa bahwa seharusnya aku merasakan sesuatu yang lebih melalui kegiatan makan ini. Melalui kelelahan dari puasa, kita diajarkan betapa lemahnya kita ketika menahan diri sebentar saja dari makan. Kita diajarkan bahwa kita begitu bergantung pada hasil bumi kita dan pada Pemiliknya. Lalu aku merasa aku datar-datar saja melalui kegiatan makan itu yang kulalui saja secara hambar dan tak sama sekali beritikad untuk menghadirkan rasa God-consciousness itu. Pertama itu, dan itu membuatku malu.

Yang kedua, dengan mengetahui krisis harga akhir-akhir ini, aku berusaha memaknai gepokan nasi sisa dengan pandangan yang berbeda. Setelah kumakan, kelak nasi tersebut akan teruraikan oleh enzim-enzim menjadi karbohidrat yang lebih sederhana dan akhirnya melalui berbagai mekanisme yang aku gak hafal-hafal akan menjadi energi untukku.

Kupikir, orang lain mungkin sulit mendapatkan hal sesederhana nasi dan sulit meraih energi tersebut. Sementara, aku mendapatkannya dengan relatif cuma-cuma. Alangkah tidak bersyukurnya aku apabila aku sengaja melewatkan nikmat tersebut. Jadi di titik tersebut, aku meniatkan misi penghabisan nasiku agar aku mendapatkan input yang kelak menjadi energi yang insyallah akan men-support amal-amal baik, dan juga meniatkan itu sebagai ikhtiarku untuk tidak mubazir — mengakui nikmat makan yang kupunya.

Aku juga kebetulan saat itu telah terpantik oleh beberapa komentar dari teman mengenai mindful eating, atau usaha untuk menghadirkan diri secara sadar dalam aktivitas makan. Ternyata, menurut berbagai sumber,mindful eating dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis, kesenangan saat makan, dan juga kepuasan overall tentang tubuh. Ia juga dapat membantu meningkatkan kualitas pola makan, mengelola craving, dan bahkan membantu dalam penurunan berat badan.

Semua hikmah ini seolah-olah bersatu, terhimpun dalam rajutan benang merah yang menunjuk pada pentingnya intensi dalam hal sesederhana makan. Menurutku ini betul-betul ilmu padi 🌾🌾.

Perjalanan Jauh Sang Burger

Sebagai mahasiswa Teknik Kapitalisme (also known as rumpun Teknik Industri dan Manajemen Rekayasa), aku sering menjumpai studi kasus dan diskusi mengenai optimalisasi sumber daya perusahaan untuk dapat menghasilkan margin profit terbesar bagi perusahaan dan shareholders. Puncak kecanggihan dari praktik ini adalah pencetusan global value chains yakni rantai berisikan konstelasi pemain hanya untuk satu luaran tertentu — misalnya burger.

Dalam konteks global value chains ini, setiap komponen burger memiliki perjalanan panjang sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen. Dari Lindsay S.:

When you walk into your local burger joint and order your favourite value meal, do you know where your hamburger comes from? Or how many supply chains have worked in a beautiful symphony to coordinate perfectly into a hot burger that is perfectly placed on a soft bun, garnished with fresh vegetables, soft cheese and a variety of sauces?

Are you having a beef burger that started out as a calf on a farm, was allowed to grow into a full-sized cow and was then shipped to a slaughter house? Then the cow was probably finished off eating corn to fatten it up after being grass fed (or not), and then was processed in the local meat plant. From there, the choice cuts of meat were segmented out and given to customers willing to pay the premium and then all the offcuts are placed into a meat grinder to create the ground beef needed for the burgers. From there, the meat will be formed into patties with a selection of spices and fillers based on the requirements of each individual restaurant chain.

Once the meat is processed into meat patties, they are bulk packaged and stored until a truck arrived to transport the patties to a central distribution centre. From here, the patties are loaded into the truck with all the other ingredients that have filtered into the distribution centre from over 20 different suppliers, to make the trip from the distribution centre to the individual fast food restaurant location.

Different types of burgers, different sauces, different cheeses, each one comes with its own distinct supply chain that needs to fit seamlessly into the end production of your hot and juicy burger.

So the next time you stand in line at your local burger joint, think about the thousands of miles your burger has travelled before landing on your plate.

Semua komponen ini dihubungkan melalui rantai pasokan global yang kompleks, memastikan bahwa burger yang disajikan kepada konsumen adalah hasil dari kolaborasi dan usaha bersama yang melibatkan banyak pemain di berbagai negara. Jutaan angka menyokong justifikasi keberadaan rantai tersebut, mencari pemain-pemain mana saja yang bisa menawarkan kualitas dengan harga rendah. Ada terlalu banyak hal di situ yang tidak kita sadari. Dan kita tak lagi memandang manusia-manusia dibalik itu semua: ‘terima jadi’. Wah enak bener ni burger.

Hal ini berbeda sekali dengan orang-orang zaman dahulu yang makan-atau-tidaknya segitu tergantung pada hasil panennya. Gagal panen? Ya lapar berkepanjangan. Cuaca buruk? Ya harus disiasati. Ketidakseimbangan ekosistem? Ya harus pindah tempat kalau mau berburu. Dengan terputusnya koneksi langsung kita terhadap makanan kita, terputus juga ‘rasa hormat’ dan syukur yang kita miliki terhadap alam dan Pemiliknya — digantikan oleh kebiasaan menghendaki gratifikasi instan.

We take it all for granted.

Fenomena ini, yang kupelajari dalam kelas Modern Political Thought yang pernah kuambil, adalah salah satu gejala besar dari transisi ke era modern yang dinamakan disenchantment of nature. Pada titik teknologi tertentu, kita menjadi angkuh dan merasakan bahwa kita punya sense of control terhadap alam. Alam tak lagi terkesan ajaib. Rasa kagum dan hormat — reverence — terhadap alam lama-kelamaan menghilang, digantikan dengan pemikiran serba-menuhankan-akal yang begitu mengubah paradigma pemikiran dan pembangunan masyarakat.

Disimbolkan oleh sang burger dan global value chain dibaliknya, era modern yang kita tinggali saat ini menjahit tabir-tabir antara mata kita dengan segala hal yang seharusnya membuat kita jauh lebih menghormati proses panjang dibalik apa yang kita makan dan pada siapa yang seharusnya kita berterima kasih untuk itu semua. So pay attention!

Dan habiskan nasimu, abangkuh! Tetap ilmu padi! 🌾🌾

Photo by Pierre Bamin on Unsplash

Maaf telat gez (lagi mobilitas tinggiy), tapi streak Jumat tetap berlanjut 😎. Hari ini kebetulan ada agenda seharian ke Cirebon dan kelewat makan lagi wkwk hadeh.

Jadi ya tulisan ini masih relevan lah ya buat aku. Mungkin itu beberapa refleksi akhir-akhir ini — teguran keras bagiku yang sering skip makan tanpa alasan yang jelas di tengah volume kegiatan yang padat, padahal mampu-mampu aja.

Wkwk ada yang ngingetin juga kadang percuma ahahaa maap ges (iya iya aku usahain jaga makan, gakan mubazir insyallah).

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

Responses (2)