Introspeksi Global Dakwah Day

Rakean Radya Al Barra
7 min readDec 4, 2022

--

Lagi-lagi ini ada tulisan yang nyerobot draf-draf yang lain tapi singkat aja deh biar poinnya tersampaikan. (edit: nahloh ternyata gagal singkat maaf)

Aku baru tau kalo ternyata 3 Desember adalah Global Dakwah Day. Siapapun yang mencanangkannya pasti punya niat baik tapi rupanya informasinya kurang global wkwk.

Dalam rangka Global Dakwah Day, sekelompok akhi-akhi Muslim Student Association UPenn dan Young Muslims West Philadelphia (yang kebetulan aku masuk keduanya) memutuskan untuk mendirikan meja dakwah di Clark Park Farmer’s Market.

Sebenarnya dari Penn MSA sendiri, program meja dakwah ini telah ada cukup lama dan berlangsung setiap hari Jumat di jantung kampus setelah Jumatan. Tapi entah kenapa aku gak pernah menyempatkan ikut hehe. Gegedug programnya adalah David, maba asli Washington DC yang kebetulan masuk Islam dua tahun yang lalu, dan biasanya didampingi oleh Tuaha, mahasiswa S2 dari Pakistan.

Tapi karena ada momentum Global Dakwah Day dan ada kolaborasi dengan komunitas Young Muslims, hari ini beda cerita: kali ini ramean.

Jadilah ada sekitar sepuluh brothers yang berkumpul di Clark Park dari ba’da dzuhur dan mendirikan meja dakwah dengan tulisan besar “What’s your Goal?” dan “Free Qurans!” Si meja sendiri dipenuhi oleh Quran terjemahan bahasa Inggris The Clear Quran dan pamflet-pamflet buatan program Why Islam yang menjelaskan berbagai aspek agama kita seperti tauhid, konsep ibadah, Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, Nabi Isa ‘alaihissalam dalam Islam, wanita dalam Islam, dan lain-lain.

Karena kalo sepuluh orang jaga meja kebanyakan (dan nyeremin sih mana majoritas jenggotan nan intimidatif xixi), kita gantian. Sebagian menjaga meja dan memanggil-manggil orang yang lewat, “Would you like to learn about Islam?” Dan sebagian yang lain menyebar ke pedagang, taman, dan trotoar untuk memulai pembicaraan tentang Islam kepada siapapun.

Kesan awalku agak kaget sih. Minim briefing. Minim persiapan. Aku yang gak pernah ikut program meja dakwah mingguan pun tiba-tiba disuruh mengambil Al-Quran dan beberapa pamflet lalu pergi ke sudut taman tuk mencari tempat yang belum dijangkau yang lain untuk ajak bicara orang.

And let me tell you this. Even as an extrovert, talking to people out of nowhere about Islam is a tough order. Terlebih kalau kebanyakan orang berumur (ya namanya juga farmer’s market). Setelah berkali-kali mengajak bicara orang dan kurang ditanggapi dengan antusias, aku kembali ke meja dan gantian untuk menjaga hehe.

Di sana ada Talal dari New Jersey yang terlihat amat berpengalaman dalam menjelaskan Islam. Jadi di meja, aku lebih banyak memerhatikan adabnya dan berbagai nuances-nya dalam berkomunikasi santai ke orang. Keren deh. Dan setelah beberapa lama aku kebiasa dengan flow-nya.

Awalnya kalau ada yang mampir ke meja, kami penjaga bisa memulai dengan bertanya apa yang mereka ketahui tentang Islam atau apakah mereka punya pertanyaan tentang Islam. Lalu bisa dilanjut dengan mengenalkan dasar-dasar dari Islam: bahwa kita percaya adanya one almighty creator, Allah ta’ala, tanpa sekutu dan tanpa setara. Kita menjelaskan bahwa seluruh aspek dalam kehidupan kita selayaknya menjadi bentuk pengabdian pada-Nya dan bahwa pada akhirnya kita akan dievaluasi berdasarkan kualitas penghambaan ini. Bahwa risalah ini diturunkan melalui kitab suci ke nabi-nabi dan bahwa message sempurna dan terjaga diturunkan melalui Al-Quran melalui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam 1400 tahun yang lalu. Lalu bahwa inilah yang menjadi sumber dari segala aturan komprehensif berkehidupan, yang kita percaya sebagai perfect harmony dengan hendak Sang Pencipta. Di akhir ditutup dengan memberikan Quran dan beberapa pamflet, tak lupa mengingatkan kalau setiap pamflet ada kontak dan website Why Islam.

That’s a mouthful sih ya. Dan kebanyakan orang gak sampai ke penjelasan atau flow yang lengkap-lengkap banget. Banyaknya malah basa-basi sedikit lalu pergi. Syukur-syukur kalau dia mau ambil Quran atau pamflet. Kadang ada yang engaged cukup lama, tapi paling satu-dua. Dan menariknya, lebih banyak African American yang antusias diajak bicara perihal Islam dibanding “orang putih” (entah apa implikasinya).

Lalu karena pasarnya keburu bubar, kita pindah ke kampus dan tersisalah aku, David, dan Tuaha. Atau dengan kata lain, tinggal aku dan para dedengkot meja dakwah. Fun fact, sejak awal semester mereka berdua berhasil meng-guide dua orang untuk bersyahadat dan masuk Islam. Keren pisan! Jarang kan, mendengar cerita yang serupa di kampus tanah air.

Tapi seperti di Clark Park, tiap ada orang yang mampir, banyaknya aku berperan sebagai tim hore dengan menebar senyuman, “good afternoon!”, dan “would you like to learn about Islam?” ke orang-orang yang lewat. David dan Tuaha-lah yang meng-carry pembicaraan yang lebih substansial seperti flow si Talal yang di atas.

Oleh karena dinamika ini aku jadi berintrospeksi dan otomatis insekyur lah yah. Toh aku berkegiatan sekian lama sebagai aktivis dakwah. Toh aku seorang muslim. Toh aku bertanggung jawab untuk amar ma’ruf nahi munkar. Tapi kok seolah gak bisa berkontribusi apa-apa?

Seandainya aku tidak mengobservasi metode mereka dulu dan disuruh langsung berdakwah begitu saja, aku bakal bingung. Mulainya dari mana? Cara membawakan yang terbaiknya seperti apa? Cara menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit seperti apa? Dan kekhawatiran ini menjadi semakin nyata ketika dipadukan dengan unsur tanggung jawab. Karena kalau interaksi orang dengan si saiah yang — dengan dakwah ini konon katanya — menjadi semacam ambassador dari deen kita ternyata kurang satisfactory, bisa jadi pandangan mereka terhadap Islam semakin kurang baik. Tanggung jawab yang berat ya, dakwah. Jadi yasud aku “main aman” dan banyaknya support aja.

Hal lain yang bikin agak miris: kalau kata Richard Feynman, salah satu cara terbaik untuk mengevaluasi tingkat kepahaman diri sendiri adalah mengajarkannya kepada seseorang yang sama sekali tidak tahu. Dan itulah yang kita lakukan, memang. Malah lebih sulit: mengajarkannya kepada khalayak yang kemungkinan kurang tahu tentang Islam dan berpotensi punya stigma tertentu terhadapnya. It is America, after all.

Dan dengan introspeksi tersebut rasanya kok aku cupu banget ya :)

Padahal padahal padahal…

Sebelum malah ngedown dan masuk ke headspace yang kurang baik, ketidakpedean ini aku ceritakan pada dua rekanku dan jujur pendapat mereka made me feel much better.

Kata Bang Tuaha, “I totally understand what you mean, I feel that way too honestly. But you need to remember that what we are doing is what is in our own capacity right now to spread the message and please Allah. If we don’t know something we can always say we don’t know and refer to experts. And at the end of the day, even if at some point you think you’re making good points and getting people closer to Islam through this dakwah, then it’s all from Allah too. So we’ve got to use what Allah has given to us now to fulfill our duty the best we can and always remember that we still need to learn more.”

Ia pun menyinggung kisah Nabi Musa ‘alaihissalam menghadapi Fir’aun, sebuah kisah yang memuat doa yang begitu indah: Rabbish rahli sadri wa yassirli amri wah lul uqdatan min lisaani, yaf qahu qauli.

Kalau dari David, “It’s not about how many people we convert or how many people are sympathetic to our cause. It’s about spreading the message. And in this way we’re doing our part. It might be discouraging and daunting at first, but we gotta understand that everyone’s guidance is up to Allah subhanahu wa ta’ala y’know.” Pendapat yang sangat dari personal experience, mengingat David seorang mualaf sendiri di keluarganya.

Jadi, dengan itu kita bertiga melanjutkan operasi meja dakwah kita sampai hari gelap. Setelah tutup lapak dan shalat, Tuaha nyeletuk lagi, rupanya masih ingat keinsekyuran saia. “You know, if all these second thoughts you’re getting are preventing you from giving dakwah at all, then it may be syaithan trying to stop you, and that is your test from Allah.” Oke oke, jadi fix sih next time insyallah aku dateng deh bang wkwk.

Jujur, selain refleksi diri soal kemiskinan ilmuku ini, salah satu takeaway paling berharga adalah membayangkan bagaimana tantangan dakwah para pendahulu. Contohnya tantangan dakwah selama perkembangan sejarah Amerika, terlebih jaman dahoeloe kan orang-orang belum se-open minded saat ini dan sama sekali gak punya bayangan tentang apa itu Islam. Tapi semua institusi Islam yang berdiri di Amerika sekarang dan edukasi yang semakin meluas adalah hasil dari pendahulu-pendahulu itu. Dan ngomong-ngomong soal mengapresiasi tantangan dakwah, kita juga harus membayangkan betapa sulitnya tantangan dakwah para nabi!

Si aku (yang selama ini nyaman hidup di antara majoritas muslim dan dakwah-sosoannya banyaknya kepada sesama muslim) selama ini ternyata amat sangat kurang berusaha berempati dengan perjuangan para nabi yang diamanatkan untuk mengedukasikan perintah Allah ke kaum-kaum mereka yang kurleb semuanya kafir. Dengan mencoba langsung terjun ke lapangan penuh bule-bule dan merasakan keseganan dan berbagai kekhawatiran dalam sekedar memulai pembicaraan, jadi lebih terbayang sulitnya menjadi penyeru kalimat Allah, apalagi untuk satu kaum besar. Dan jadi ngeh kalo harusnya kisah-kisah nabi itu betul-betul dibayangkan immersively dan direfleksikan ke kehidupan sendiri sebisa mungkin.

Yak, I’ve still got lots to learn!

Semoga saudara-saudara muslimku di Penn bisa terus semangat menegakkan dan menghidupkan kebenaran di tanah yang seliar Amerika. Dan semoga aku, kamu, kita bisa terus semangat belajar untuk menjadi sebaik-baik hamba dan sebaik-baik pengabdi :3

tukang jaga meja | talal berbagi quran | tuaha ngecarry dakwah kampus

--

--