Jangan Bermimpi Setinggi Langit

Pesepeda Tua, Lari 12 km, dan Pentingnya Kemenangan Kecil

Rakean Radya Al Barra
5 min readDec 22, 2022
Photo by Ryan Hutton on Unsplash

Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.

Kutipan di atas pasti pernah kamu dengar. Barangkali ia telah mewarnai sekian juta media motivasi yang terus-menerus diberikan pada anak muda untuk menggerakkan mereka menjadi insan optimis penuh semangat bermimpi. Niatnya sih pasti baik.

Tapi menurutku kurang lengkap.

Refleksi ini akan berpusat pada satu kata dalam bahasa Inggris yang sangat powerful: milestone.

Istilah milestone berasal dari penggunaan batu sebagai penanda jalan yang menunjukkan jarak — suatu tanda yang menunjukkan oh udah jalan satu mil nih atau wah tinggal nyetir sekian mil lagi sampe kota, misalnya.

Tapi sekarang kata milestone lebih sering digunakan sebagai penanda jalan menuju pencapaian tertentu. Selama proyek Z berjalan, misalnya, ada milestone A, B, C, D, E. Pencapaian suatu milestone menjadi tanda semakin mendekati garis finish.

Aneh sekali bahwa tidak ada istilah yang serupa dalam bahasa Indonesia. Dari yang aku perhatikan, dalam berbagai konteks proyek, kepanitiaan, dan korporat di Indonesia, yang muncul lagi-lagi “milestone”, dan bukan istilah original bahasa kita. Mungkin itu tanda mengakar bahwa kita sebagai bangsa tidak biasa berpikir dengan perspektif milestones.

Tanpa memperhitungkan milestones, seolah-olah kita menganggap suatu pencapaian itu tidak membutuhkan langkah-langkah bertingkat menujunya: antara go big or go home.

ilustrasi

Membuat tujuan besar, abstrak, dan keren itu gagah, memang. Tapi jangan terlalu senang mengapresiasi diri atas keberanian untuk berpikir besar. Tujuan itu jelas terpetakan kah? Kalau pada suatu titik tujuanmu terkesan begitu impossible, motivasinya tetap terjaga kah? Melihat orang lain terbang, kita berhenti merangkak kah?

Berhubungan dengan ini, aku teringat satu cerita random dari tanah air. Saat berkeliling mencari sensasi di area Alun-Alun Bandung bersama teman, kami bertemu seorang pesepeda tua di depan Gedung Merdeka yang nyentrik. Karena beliau terlihat antusias dan kami kepo, kami mengajaknya ngobrol.

Ternyata beliau adalah Pak Achyadi atau Yadi Karung, pesepeda onthel yang sudah bertahun-tahun bersepeda jarak jauh, termasuk dalam usia tuanya. Kakinya telah menggowes di atas aspal dan beton berbagai adimarga di sekeliling Indonesia, dari rute Anyer-Panarukan, Bandung-Bali, Bandung-Mandalika, bahkan Bandung-Malaysia! Seragam gaya tentara kolonialnya pun didekorasi dengan aneka pin penghargaan yang beliau dapatkan, banyaknya dari komunitas-komunitas sepeda Indonesia.

Hebatnya sepeda yang beliau gunakan bukan sepeda gunung, bukan sepeda touring, apalagi sepeda motor, tapi sepeda antik. Tepatnya, ia adalah sepeda onthel merek Burgers produksian tahun 1938.

Kebetulan temanku Zahid senang lari jarak jauh dan kala itu baru selesai half-marathon jadi ia bertanya, “Naik sepeda sejauh itu gak cape pak?”

Jawabannya sederhana.

“Ngga A! Kalo ga mau cape, mikirnya jangan langsung Bandung-Mandalika! Mikirnya di Bandung bentar lagi nyampe Cileunyi. Di Cileunyi mikir bentar lagi nyampe Sumedang. Di Sumedang mikir bentar lagi nyampe Jatiwangi. Teruus aja sampe selesai. Selalu begitu saya mah. Tapi banyak yang gagal di awal karena mikir langsung Bandung-Mandalika!”

Maka ketika aku memutuskan untuk lari 10 km nonstop pertamaku di Philadelphia, Amerika Serikat, aku teringat petuah sang pembawa onthel.

Di Philadelphia, setiap jalan besar yang membujur dari utara ke selatan dinamai dengan angka mulai dari ujung timur kota. Jalan paling timur adalah 1st Street, dilanjut 2nd Street, dan seterusnya.

Aku tinggal di West Philadelphia (37th Street) dan bertujuan untuk lari sampai ujung timur kota (1st Street) plus jembatan 1.5 mil (2.4 km) ke Camden, kota sebelah.

Dengan begitu, dari 37 ke 1, setiap turunnya satu angka menjadi milestone konkret yang menunjukkan progres jelas — kemenangan kecil.

Tujuan “besar” lari 10k memang ada di pikiran, tapi fokusku bukan ujung jembatan Benjamin Franklin. Fokusku adalah angka berikutnya.

Oh, ga begitu buruk, aku pikir saat melewati 30th Street Station. Tujuh blok terlampaui dengan pace yang nyaman. Kalau itu bisa, blok-blok berikutnya bisa juga. Setiap penanda jalan menjadi afirmasi, bukan malah menjatuhkan semacam ah masih 30th Street berarti baru 7 blok dong, harus lari 29 lagi plus jembatan!

Sedikit-sedikit menjadi bukit.

Setelah sampai di Kota Camden, aku buka HP dan ternyata masih belum selesai 10 km. Aku bisa aja lari terus di Camden tanpa arah untuk menggenapkannya jadi 10.0 di Strava secara satisfying. Tapi dengan begitu, kupikir kurang ada milestone jelas dan akan membuat capek. Jadinya aku memutar kembali dan memutuskan untuk melewati jembatan sekali lagi.

Oke awal jembatan, eh bagian tengah, eh bagian yang ada polisi parkir, eh perbatasan kota, eh ujung jembatan, terusin lagi ah sampe stasiun kereta di 5th.

bridge, camden, 5th | semua poto diambil sambil lari untung ga blur hebat jg km samsung

Dengan begitu ternyata aku melampaui tujuan besar 10 km. Akhirnya aku lari 12 km dengan pace 5:51 menit/km dan merasa fine-fine aja malah: jauh lebih ringan dari apa yang aku bayangkan. Ini semua bisa terjadi karena aku familiar dengan kota dan rute dan tiap milestone jelas sehingga bukan lagi persoalan lari jauh, tetapi persoalan kumpulan langkah.

Itu bisa digeneralisasi; bukan lagi persoalan kemenangan besar, tetapi persoalan kumpulan kemenangan kecil.

Aplikasinya bisa ditarik untuk konteks yang jauh lebih luas dari jarak dalam olahraga kardio. Tujuan besar-dan-akhir dalam konteks apapun yang kita punya memang akan ada di pikiran, tapi selayaknya bukan itu yang menjadi fokus.

Aim big, but act small.

Dan mohon maaf Bung Karno, judul ini seolah mendiskreditkan kutipan dahsyatnya. Nyatanya aku sangat mengadvokasikan bermimpi tinggi dan jauh, kok, tapi itu jangan jadi fokus utama yang intimidatif.

Alangkah baiknya aku melengkapi judul artikel ini. Jangan bermimpi setinggi langit-jika belum menghargai proses mengudara secara milestone-by-milestone — langkah-demi-langkah.

Eh, ga bisa melangkah di udara deng. Yaudalaya.

gt pokokny

--

--