Jumat Sore di Mambo
Tiga orang profesional muda sedang amat sibuk pada suatu Jumat sore di Mambo. Duduklah mereka di depan rumah Pak RT, di atas blok semen abu yang terangkat sebagai semacam tangga yang terlalu kecil dan jelek untuk disebut teras. Di tangan mereka adalah kehidupan itu sendiri — gawai seadanya yang masih dicicil orang tuanya yang terjebak kredit preman sejak entah kapan. Tetapi tiga profesional ini tak tahu hal tersebut. Yang penting adalah pekerjaan mereka dalam genggaman — yang bertaruhkan nyawa virtual. Amat krusial.
Stasiun kerja mereka untuk urusan ini memang sederhana, tetapi kantor ini memang cukup ekonomis. WiFi rumah Pak RT (atau setidaknya sandinya) telah mereka akuisisi sejak lama, diperoleh seharga dua es krim Mixue dari abang-abang Karang Taruna yang gemar bertransaksi. Kantor sebelumnya di tempat parkir restoran memang lebih nyaman (dengan sandi yang juga dibeli dari si Abang yang sama), tetapi berisiko tinggi karena satpamnya galak dan gemar mengusir. Tak apa, sih. Mereka paham. Barangkali satpam itu telah bersekongkol atau bermitra bisnis dengan kompetitor, pikir mereka.
Oh ya, ngomong-ngomong. Boleh saja, dong, menyebut mereka profesional. Sebab mereka memang tidak lagi bersekolah dan menghabiskan hari-hari dengan menyibukkan diri. Andai saja mereka memang lulus mungkin kita dapat menyebut mereka fresh graduate.
Terlepas itu semua, tiga orang profesional ini tentu saja tidak hanya bekerja sebagai peselancar TikTok dan atlet Free Fire. Itu hanya pekerjaan sore. Dalam segala situasi makro yang serbamenuntut ini, berbejibun hustle telah mereka pikul untuk memperoleh hasil maksimal.
Pagi-pagi, setelah pura-pura berangkat ke sekolah (atau memang tak perlu pura-pura jika orang rumah tak hadir), bergegaslah mereka ke spot-spot luas dekat Ancol yang tak terganggu semrawutnya kabel untuk deployment layang-layang. Kegagalan-kegagalan besar, yang sering terjadi, memaksa iterasi dan rapid prototyping: keahlian mereka. Lalu, sebagai sales tulen, terkadang mereka juga melakukan door-to-door (atau lebih tepatnya sewer-to-sewer) bermodalkan gelas plastik bekas Okky Jelly dan Kopikap untuk mengejar metrik acquired kecebong pekanan.
Ada pula pekerjaan amat penting yang butuh kemampuan pitching tingkat tinggi dalam waktu yang amat singkat dengan para calon mitra berupa sopir-sopir bus. Ber-pitching lah mereka dari atas JPO dengan segala gimik dan gestur tubuh, dengan deal sukses diisyaratkan dengan telolet. Kesuksesan yang membawa mereka menuju kegirangan luar biasa. Ambisius, sih. Sampai-sampai jumlah telolet bulanan telah masuk ke KPI mereka.
Mereka hanya ada waktu sebentar saja untuk bermain. Itulah di lampu merah, berdansa dan bermusik dan sebagainya, sebagaimana tuntutan abang-abang gemuk yang gemar sekali mengganggu pekerjaan harian mereka yang amat penting. Selepas dari cengkraman istirahat dan iming-iming keluarga, akhirnya mereka bisa kembali fokus pada tugas-tugas krusial yang menanti di server. Profesional muda memang masih gila bekerja. Siapa tahu cepat naik pangkat.
Di jalan tempat mereka berkantor, mereka tak sendiri. Sore hari begini, sepeda motor dan gerobak ikut berebut jalan, sesekali adu teriak. Bapak-bapak ber-singlet sedang bekerja juga di sekumpulan kursi plastik merah Lion Star di kejauhan, berperang di papan catur kayu, ucapannya sama-sama kasar dengan trio profesional muda kita — berbeda hanya di diksi. Seekor kucing tua berwibawa yang amat kotor melakukan ronda keliling, rajin memastikan tiap sudut jalan tertandai kencingnya. Ia dipandang gemas oleh batita yang sedang berjemur, digendong dengan selendang yang terikat ke wanita paruh baya ber-duster yang kerudungnya hanya setengah terpakai. Anjing besar menggonggong galak ketika pagarnya didekati oleh mas-mas depot air. Toko kelontong di perempatan kecil ramai selalu.
“Hei! Kalian lagi?” istri Pak RT mengenakan helm bulat tak terkunci, motor Scoopy tahun 2017-nya terhalang dari ‘teras’ rumah. Tandanya sudah mendekati setengah enam. “Udah berapa kali dibilangin; jangan duduk depan rumah! Sana pergi, mau ada tamu!”
Resiko kerja, pikir mereka. Lalu bubarlah ketiga itu; saatnya bekerja di tempat lain. Sementara itu, melampaui pemahaman ketiga orang profesional itu yang amat sibuk pada suatu Jumat sore di Mambo, ada orang-orang yang terus saja bermain entah apa di gedung-gedung kacanya. Sepanjang hayat.
Mengherankan, pikir mereka bertiga.