Kacamata Pejalan
Tentang Perjalananku Merasa Bagian dari Indonesia
Setelah melancong ke sana kemari dan hidup di berbagai tempat yang secara permukaan jauh lebih nyaman ditinggali dibanding Indonesia, aku mulai banyak memikirkan asal dari kegemaranku terhadap tanah air.
Alasannya mungkin banyak. Buat aku makanannya lebih enak. Orang-orangnya lebih mirip. Ber-Islam-nya lebih mudah. De el el. De ka ka. De es be. Banyak kan? Tapi tak satu pun (ataupun gabungan dari semua) alasan cukup memuaskan sebagai… alasan.
Kelebihan apapun yang Indonesia miliki bisa dicari “padanan”-nya di lain negeri yang membuat lain negeri tersebut lebih worth-it, if that makes sense. Makanan Indo bisa dimasak, apalagi dengan gaji luar negeri yang jauh lebih menarik. Orang-orang mirip bisa dicari, lagipula tinggal di antara orang beragam juga ga masalah — banyak hikmahnya malah. Ber-Islam bisa di mana aja, dan justru pengalaman struggle menjadi minoritas menurutku amat berharga. Semakin sulit, semakin berarti perjuangannya, no?
Dan di luar negeri (yg maju at least), semua ini disertai juga dengan berbagai kenyamanan hidup. Sistem-sistem kehidupan sipil lebih terpelihara. Drama-drama dan gosip khas Indonesia terminimalisir. Orang-orang yang benar-benar memiliki value dan skill lebih dihargai. Jadi ya terlepas dari kontra-kontra yang masih negotiable, pro-pro di luar sana tentu melimpah.
Ya memang, manusia (termasuk aku in case you were wondering) bukan makhluk rasional dan tak semua hal bisa di-breakdown menjadi cost-benefit analysis.
Ada keterlibatan emosional: keterikatan sentimental. Namun, salah juga jika persoalan kenapa-aku-cinta-Indonesia semata-mata karena faktor sentimental. Aku jauh lebih merasakan nostalgia terhadap masa kecilku di US dibandingkan kenangan-kenangan di Indonesia.
Entahlah.
Dalam suatu bahasan mengenai persoalan ini, temanku, Rajji, berspekulasi bahwa tempat geografis kita pada saat memasuki fase remaja itu paling berpengaruh dan paling ‘mengikat’ kita karena “ngarasa peurihna — ngarasa mandirina — di dinya!” Merasa perihnya, merasa mandirinya di situ!
Aku rasa ada benarnya, meski mungkin tak berlaku untuk semua orang. Kebetulan aja aku dan Rajji punya fase-memasuki-remaja yang setipe.
Jadi untuk menelusuri itu, mari kita sejenak kembali ke SMP.
Waktu aku SMP, keluargaku belum punya kendaraan. Alhamdulillah-nya baru punya rumah, dan itu pun jauh dari pusat kota tempat majoritas keluarga kami berkegiatan. Alhasil, si keadaan nirkendaraan agak menjadi masalah.
Aku terpaksa menghabiskan sekian jam di angkutan umum tiap minggunya. Ongkosnya pun pas-pasan dengan uang bulananku sehingga aku seringkali jalan kaki sekian jauh demi menghemat seribu-dua ribu dari perjalanan angkot dan ojek (lalu ditabung buat jajan es krim). Dari sini aku mendapatkan ide brilian untuk menebeng teman. Jadi deh aku kenalan sama sopir-sopir mobil teman, petugas kebersihan sekolah, de es be. Daan sebagainya: dipaksa menjadi resourceful. Jadi aku bersekolah dengan misteri baru tiap harinya: gimana caranya aku pulang?
Dalam perjalananku dari Bandung ke ujungnya, aku benar-benar merasa bagian dari orang-orang dalam perjalanannya. Aku mengobservasi orang-orang dalam angkot, di bus, dan di jalanan. Aku menjadi pemain ekstra dalam film hidup mereka, mengobservasi kehidupan yang begitu candid. Dan di sini sepertinya pertama kali muncul di diriku sebuah kesadaran bahwa tiap-tiap orang ini punya ceritanya masing-masing, bahagianya masing-masing, struggle-nya masing-masing. Dan itu bagiku begitu indah dan menarik.
Transformasi memang tidak bisa ditebak. Ia bisa datang dengan tiba-tiba, merevolusi kehidupan. Tapi transformasi dapat juga terjadi bagai air yang menetes pelan. Tiap menit berdiri menunggu di pinggir jalan, memeluk tas di kursi keras angkutan umum, dan berjalan di gang-gang memberi tetes warna baru pada kanvas seorang Rakean. Dan lama-kelamaan aku cukup terwarnai.
Tapi, sebuah transisi mulai ketika aku punya teman perjalanan. Waktu aku berpindah satu tahun ke SMP yang lebih dekat ke rumah, perjalanan menjadi lebih singkat dan banyak terisi obrolan ketimbang melihat, mendengar, dan merasakan. SMA juga sama. Bukan masalah, kok. Dengan begitu toh aku jadi akrab dengan sesama pengguna angkot: para sahabat kental sampai sekarang macam Rajji, Habib, dan CK. Dan memang tidak semua perjalanan pulang menjadi ajang deeptalk dan gosip lelaki polos kelas 10. Ada aja saat-saat sendiri yang kembali mengingatkanku akan hidup sebagai pejalan.
Tapi itu tanda-tanda awal bahwa akan ada perubahan total.
Dengan naiknya stabilitas-segala-macem-nya keluargaku, naik juga aku ke kendaraan pribadi. Sepeda motor agak memberi jarak dari aku dengan sang kota. Tapi motor masih mending. Masih merasa sebagai bagian dari massa bergerak di jalanan padat Bandung. Di mobil beda cerita. Mengendarai mobil rasanya seperti tinggal di gelembung pribadi yang bergerak di antara masyarakat — bukan dengan masyarakat. Dan memang dengan begitu jauh lebih praktis sih: duduk manis di antara asal dan tujuan.
Tapi aku agak rindu. Dalam diriku masih ada sang jiwa adventurous nan gegabah. Dan lebih dari itu, aku takut bertumbuh manja. Aku khawatir diterpa lupa yang membuat diri ini terlena.
Tunggu Aku di Jakarta
Waktunya Juli, 2022.
Pada awalnya ada wacana urusan sponsor pasca-P3RI yang membuatku keburu berkabar ke berbagai teman di Jakarta bahwasanya aku akan berkunjung. Ternyata, wacana awalnya batal tapi udah keburu ada janji. Jadinya aku mencari-cari alasan tambahan untuk ke Jakarta dan tiba-tiba bermunculan aja berbagai macam agenda sehingga terisilah Google Calendar dari Rabu sampai Sabtu.
Menariknya, aku berangkat ke Jakarta naik kereta-kereta lokal. Itu ide spesial temanku, Dhanil, supaya ada waktu ngobrol yang lama: satu hal yang gak pernah jadi sebab kita berdua amat sok sibuk. Rencananya, kita naik kereta lokal dari Bandung ke Purwakarta lalu Purwakarta ke Cikarang dan diakhiri dengan KRL dari Cikarang ke Jakarta. Waktu tempuhnya seingetku sekitar 7 jam dengan grand total biaya Rp17.000.
Aku pikir ini menarik, sebab aku punya kenangan tersendiri dengan transportasi publik. Dan aku penasaran dengan menjadi bagian dari perjalanan itu. Jadi dalam perjalanan ini, aku targetkan untuk tidak nyaman. Seperti motto-nya Yes Theory, aku pengen “Seek Discomfort”.
Maka, aku membuat tantangan iseng pribadi untuk sebisa mungkin naik angkutan umum atau jalan kaki setibaku di sana. Nebeng temen? Cuma kalau ditawar dan gak bisa nolak aja. Driver online? Nope. Jadi begitulah aku selama empat hari di Jakarta. Jakpus, Soetta, Jaktim, Jaksel kujelajahi bermodalkan kaki, Google Maps, insting, dan KTM berisi saldo TapCash. Semua jenis transportasi umum darat di Jakarta aku coba dari angkot sampai bus listrik sampai MRT.
Dalam kesempatanku keliling-keliling ibukota, aku menyadari bahwa, secara hakikat, perjalanan menyajikan observasi kehidupan yang se-nyata-nyatanya dan juga menyediakan waktu dan ruang pikir untuk mengontemplasi kehidupan tersebut. Pas: semua yang dibutuhkan untuk aku benar-benar merasa…
Aku merasa menjadi bagian dari sarden-sarden jam pulang kerja di Manggarai, berdesakkan di tengah keringat dan aura keluh-kesah para commuter. Aku merasa nikmatnya menemukan masjid nyaman di pinggir jalan setelah jalan kaki sekian kilo. Aku merasa hangatnya keakraban dari percakapan dan basa-basi ibu-ibu di bus feeder pada pagi hari.
Aku kembali sadar mengenai betapa capeknya semua orang. Betapa terlarutnya dalam urusan masing-masing: dalam usahanya untuk survive and thrive dalam realita yang pahit. Tentu bukan berarti aku menggeneralisasi semua orang sebagai korban penderitaan, tapi aku jadi semakin ngeh (dan keliatan banget depan mata!) bahwa tiap insan punya ceritanya. Punya capeknya. Punya batasnya.
Aku terenyuh.
Aku pun mulai flashback ke zaman sewaktu masih mahir memakai kacamata pejalan. Aku jadi teringat kembali idealisme-idealisme yang dulu muncul waktu dulu suka jalan di gang-gang Tamansari yang terancam digusur. Aku jadi ingat cerita pedagang-pedagang yang kutemui soal betapa sulitnya menyambung kehidupan. Waktu aku lihat anak-anak kecil polos dzikir bersama di masjid lokal di Jakarta, aku bersedih terbayang keterbatasan masa depannya bocil-bocil yang dulu kutemui di pinggir jalan Djundjunan.
Dan aku rasa semua pengalaman ini adalah pertanda akan rencana Allah untukku. Untuk alasan apa lagi aku dikasih experience mengenakan kacamata pejalan kalau gak aku ambil hikmah di baliknya?
Dari perjalanan, aku semakin mengenal misi pribadi.
Framework Sederhana
Keseluruhan konsep belajar-dari-perjalanan ini aku bungkus dalam satu judul “kacamata pejalan”: lensa metafora yang bisa kita pakai untuk melihat dunia dari perspektif “masyarakat biasa”-nya. Dan istimewanya, kacamata ini dapat juga berbalik arah pandangnya sehingga dari sekitar kita bisa melihat diri sendiri.
Kacamata pejalan. Sederhana. Powerful. Bermakna.
Untuk mengasah empati, membangun keakraban dengan lingkungan sekitar, dan dari situ lebih mengenal diri dan Tuhan, tak perlu ribet-ribet. Cukup sedikit niat dan kerelaan untuk tidak nyaman.
Maka, dalam rangka belajar sebanyak-banyaknya di perjalananku ber-IISMA di Amerika, aku putuskan untuk menjadi pejalan di sana juga.
Cerita petualanganku di sana rasanya gak akan ada habis-habisnya. Aku merasakan keliling-keliling Philadelphia dengan sistem SEPTA bus, troli, dan subway-nya. Aku mengalami kesulitan mencari daging halal di Orlando, berjam-jam menelusuri jalur bus ribet ke tepian kota bersama pekerja lokal. Aku melihat keragaman jenis manusia di NYC sang pusat dunia, sambil menenteng tas belanja Target dan memakai topi baseball layak orang lokal.
Aku juga tahu mewahnya kereta regional MBTA, humble-nya Princeton Dinky, bersihnya subway Washington D.C., gak jelasnya B79 Worcester-Amherst, dan murahan-nya pesawat Frontier, beserta aura dan atmosfer kehidupan unik yang menyertainya.
Sungguh, banyak observasi dan refleksi yang semakin membuka mata.
Tapi gak harus ke Amerika untuk belajar dari perjalanan. Karena perjalanan dan kehidupan pasti dekat. Konsep kacamata pejalan itu praktis. Simpel. Tak perlu berpetualangan jauh-jauh. Kacamata pejalan bisa dikenakan di mana pun kita berada.
Tepat kemarin aku kembali melakukan perjalanan ke Jakarta, kini bersama Rajji. Setelah menemukan hidden gem bakso saat berjalan random di Bekasi Timur, “menikmati” suasana KRL di rush hour pulang kerja, dan berjalan di trotoar gak layak sekitar Menteng, kita sama-sama menyimpulkan bahwa ada suatu keindahan yang berharga dibalik kehidupan yang banal dan biasa ini. Berjalan dan menjadi pejalan — tidak dengan dagu menengadah ke atas layak orang angkuh ataupun pandangan mengasihani ke bawah layak orang asing, tapi dengan kacamata pejalan yang melihat ke depan, ke sekitar, dan ke dalam. Menjadi bagian dari tempat itu sendiri.
Jadi, jawaban dari keterikatanku terhadap Indonesia ada di situ. Sang musafir lebih tau tempat mana yang lebih tepat untuk bermukim: dari perjalanan, aku sadar — di sinilah tempatku.
Fun fact, judul konsep “Kacamata Pejalan” ini aku asal pake pas journaling tentang si perjalanan random ke Jakarta dulu itu. I honestly didn’t think much of it, tapi ternyata lumayan catchy juga sebagai istilah. Jadi kemungkinan bakal lebih sering aku pake buat tulisan-tulisan di sini~
Nantikan cerita perjalanan lainnya! :D