“Kahatean”
Belajar Berorganisasi Menggunakan Hati di SMAN 5 Bandung
Jika pada tahun 2000-belasan akhir kamu kebetulan mencuri dengar celotehan akang-teteh siswa SMAN 5 Bandung si-paling-organisasi di saat mereka sedang nongkrong/rapat (kemungkinan di Upno Riau), akan sering sekali muncul kata “kahatean”.
Biasanya konteksnya adalah menerapkan rasa kahatean ini dalam regenerasi organisasi, karena tentu saja sebagai si paling senior dan si paling cinta organisasi, si akangs dan tetehs ini merasa kahatean ini kurang pada adik-adik kelas polosnya dibandingkan entah standar apa.
Terkadang kata ini memang menjadi pembenaran rasa superioritas senior yang lalu menjustifikasi praktik kaderisasi aneh-aneh, tapi terlepas dari itu menurutku sangat menarik untuk didalami karena aku betul-betul merasa belajar untuk kahatean dari pengalamanku sebagai siswa di Lima.
Eh tapi sebentar — apa sih “kahatean”?
Quick Sunda Lesson
Pasangan imbuhan bahasa Indonesia “ke” dan “an” menjadi “ka” dan “an” dalam bahasa Sunda.
Beberapa contoh:
Ke-raja-an -> Ka-raja-an
Ke-hidup-an -> Ka-hirup-an
Ke-tidur-an -> Ka-sare-an
Maka dengan logika pola ini, ka-hate-an adalah ke-hati-an.
Hmm, apa tuh kehatian? Ada hubungannya dengan hati-hati? Kehati-hatian kali?
Bukan, bukan.
Aku pun sulit mencari ekuivalen dari “kahatean” dalam bahasa Indonesia. Barangkali satu pendekatan adalah “sifat menggunakan hati”. Atau simply— “ikhlas”.
Biasanya di Lima, kata “kahatean” dikaitkan dengan kerelaan berkorban untuk organisasi atau “militansi” — satu kata yang juga sering sekali terulang dalam pembahasan dinamika organisasi di angkatanku. Bahkan saking pentingnya sifat militan bagiku, kuberi nama “Kabinet Jundullah” pada dewan pengurusku di ekskul rohis/DKM, yang artinya adalah “tentara Allah.”
Jadi jika kucoba tarik maknanya secara kontekstual di Lima, “kahatean” adalah sifat ikhlas melibatkan hati dalam berkegiatan, yang kemudian memunculkan ketangguhan dan antusiasme dalam berjuang.
Orang yang mau mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, perhatian untuk berkontribusi di organisasi dan menjadikannya sebagai “rumah” — itulah orang yang kahatean. Ia rela menetap di sekolah setelah jam pulang sampai diusir satpam demi rapat-rapat organisasi, yang lalu lanjut di taman atau cafe. Ia rela tiap weekend-nya penuh, tersita untuk ngonsep atau rapat atau kegiatan selanjutnya. Ia rela senantiasa memikirkan what’s the next big thing untuk organisasinya. Dan above all, ia melakukannya dengan senang hati, karena ia berorganisasi menggunakan hati. Hence, “kahatean”.
After all:
Maksud dari hati akan sampai ke hati.
Ucapan dari hati akan sampai ke hati.
Proker dari hati akan sampai ke hati.
Identifikasi dan Pembentukan Orang Kahatean
Beruntunglah sebuah organisasi jikalau ia terisi dengan orang-orang yang kahatean. Orang-orang ini tak hanya menjalankan kewajibannya sebagai anggota, tetapi karena rasa cintanya, juga inisiatif untuk go the extra miles. Itulah yang membuat organisasi menjadi exceptional.
Dengan begitu, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh para dedengkot organisasi:
- Orang-orang yang kahatean harus bisa dipertahankan
- Kultur organisasi harus bisa membentuk orang-orang yang kahatean
Untuk kedua poin tersebut, penting untuk bisa mengidentifikasi keterlibatan tiap-tiap anggota organisasi.
Identifikasi
Dahulu waktu aku menjadi ketua ekskul, aku memerhatikan bahwa ada kira-kira empat kategori anggota yang masing-masingnya perlu pendekatan yang berbeda.
- Ada tipe A yang kahatean, loyal, dan partisipatif. Di samping rasa cinta luar biasa mereka terhadap ekskul, mereka menjalankan tugas mereka dengan profesional. Mereka rela berlama-lama berjuang demi ekskul, bahkan hingga larut malam. Biasanya yang memenuhi profil A telah diamankan dengan mengikatnya ke amanah tertentu, misalnya sekjen atau koordinator divisi.
- Kemudian, ada tipe B yang, kalau diajak, akan partisipatif dan do what is expected of them, tapi jarang memberi lebih dari itu dan cenderung resistif terhadap ajakan di luar jam wajar.
- Tipe B berkebalikan dengan si C yang sebetulnya sangat semangat, tapi terlalu stretched thin oleh kewajiban atau prioritas lainnya sehingga tidak bisa memberikan banyak waktu untuk berkarya dalam program-program ekskul.
- Terakhir, selain tiga tipe sebelumnya, ada banyak juga floating mass (kita labeli D) yang tidak begitu melibatkan diri dan keanggotaan biasanya hanya bersifat status. Orang-orang ini memang bukan prioritas, tapi harus tetap dipertimbangkan.
Lalu ketika ilmu people mapping ini hendak kuwariskan kepada penerusku, Azzam, aku asal membuat matriks berikut selagi sharing 1o1 kepadanya di perpustakaan:
Matriks ini digunakan untuk memetakan anggota-anggota. Agar gampang mengingatnya, aku melabeli dua axis-nya “ikhlas” dan “ittiba” yakni dua syarat ibadah diterima. Tapi dalam konteks ini, “ikhlas” adalah dimensi kahatean dan “ittiba” (yang arti sejatinya yaitu mengikuti tuntunan) adalah dimensi partisipasi atau kemampuan menunaikan tugas.
Jadi kalau mau disesuaikan dengan deskripsiku tentang empat tipe anggota di atas, dalam matriks ini, A = ijo, B = kuning, C = jingga, dan D = abu. Tentu goals-nya adalah untuk mengkonversi sebanyak mungkin orang untuk menjadi hijau, tetapi karena itu tak selalu memungkinkan.
Tipe A, yaitu orang yang kahatean dan partisipatif, harus dipertahankan. Biasanya cukup mudah apabila mereka diberi wadah yang cukup leluasa untuk berkarya. Dengan begitu, merekalah yang semestinya paling dilibatkan dalam aktivitas organisasi dan juga decision making.
Tipe B, yaitu orang yang partisipatif tapi belum begitu melibatkan hati, bisa diandalkan untuk pekerjaan-pekerjaan low-investment seperti urusan administratif atau logistik, misalnya. Mereka akan hadir ketika ada panggilan urgen kepada massa.
Tipe C, yaitu orang yang kahatean tapi belum bisa partisipatif, harus bisa diulik inputnya. Biasanya mereka menyimpan ide-ide luar biasa dengan sudut pandang semi-outsider yang dapat menjadi gamechanger jika ditindaklanjuti dengan baik. Tipe A dan B harus bisa menjadi eksekutor dari ide si C yang belum mampu ia jalankan karena kesibukan lain.
Tipe D, yaitu “anggota KTP” harus bisa didekati untuk memahami motivasi dan tujuan mereka bergabung ke ekskul. Mereka harus bisa didengar. Ketidakikutsertaan mereka dalam kegiatan bisa jadi merupakan gejala dari suatu masalah yang lebih mengakar, entah kultural maupun teknis.
Pemetaannya sendiri dilakukan secara subjektif tapi menyeluruh. Setelah sekian lama membersamai anggota-anggota seorganisasi, biasanya akan cukup jelas mereka masuk ke golongan yang mana. Yang penting adalah bahwa mereka dipetakan. People mapping ini krusial karena dengannya, seorang dedengkot organisasi dengan waktu dan sumber daya yang terbatas dapat mengalokasikan manusia-manusia di bawahnya secara tepat agar organisasi berjalan efektif-efisien.
Kultur Kahatean Berkelanjutan
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa anggota yang kahatean bisa diandalkan untuk keperluan yang intens, high-level, dan membutuhkan investasi sumber daya pribadi yang banyak.
Tapi bagaimana caranya mempertahankan orang-orang yang kahatean? Dan bagaimana caranya menumbuhkan kultur yang mengubah si jingga dan si kuning dan si abu menjadi hijau?
Jawaban pertanyaan pertama terletak pada kemampuan pemimpin untuk menjaga narasi. Menjadi tugas seorang pemimpin untuk memastikan bahwa, selain tujuan besar organisasi, goals dari masing-masing anggotanya juga selaras dengan tujuan tersebut. Anggota yang kahatean harus diyakinkan bahwa apa yang mereka cari dengan segala keterlibatan hati mereka akan mereka dapatkan. Karena bisa jadi backfire apabila mereka dikecawakan oleh kepemimpinan yang gagal after all they’ve sacrificed.
Pemberian perhatian pada goals pribadi masing-masing anggota sulit dilakukan untuk skala yang besar, sehingga pemimpin perlu memprioritaskan beberapa orang dulu (yang paling kahatean), lalu mengandalkan mereka untuk melakukan hal yang sama pada orang di dekat mereka baik secara sirkel maupun secara struktur.
Ada kabar baik juga, kok:
Kahatean itu menular!
Apa yang mulai dari hati akan sampai pada hati, kan? Yang jarang diperhatikan adalah bagaimana caranya dia “sampai”? Kahatean itu menular, maka orang-orang kahatean harus berisik! Harus berisyarat. Harus impresif.
Semakin banyak orang yang izin kegiatan lain karena ada “rapat penting DKM”. Semakin banyak orang yang meng-up story keseruan bersama teman-teman rohis. Semakin banyak orang yang melihat betapa masifnya ekskul dengan membudayakan menggunakan atribut jaket angkatan dan syal. Semakin banyak orang yang melihat bukti anggota rohis yang mampu mengimbangi dunia prestasi dengan kesibukan ekstrakurikuler. Semakin banyak orang yang menganggap DKM sebagai entitas sosial yang besar dengan semakin banyak melihat anggotanya rame-rame nongkrong dan/atau tiduran di masjid di waktu istirahat.
Hal-hal seperti ini haruslah disengaja: kultur harus dibangun deliberately. Lalu ketika ia sudah menjadi second-nature, kultur akan menjadi isyarat dari kahatean yang berkelanjutan, memantik rasa penasaran dari orang luar soal, “ada apa sih di sana sampe anak-anaknya bisa sesolid itu?” dan membuat orang kuning dan jingga semakin tertarik untuk menghijau :).
Dan ketika dibalik semua isyarat itu ada anggota-anggota yang perkataan dan tindakannya mencerminkan pure and genuine passion untuk rohis, untuk Islam, untuk Allah, kahatean itu akan menular.
Melalui pembiasaan kultur seperti di atas — yang terinisiasi via sekelompok kecil individu “hijau” yang concerned enough to make a difference serta ketua angkatan berupa Ipul dan Rachel yang amat merangkul— angkatanku berhasil mengubah stigma DKM yang eksklusif, dull, dan membosankan menjadi pemain besar dalam aktivitas kesiswaan yang layak diberi respect oleh Warga Lima, baik guru maupun siswanya. Dan itu cukup terlaksana dengan menjadikan ekskul sebagai “rumah” di mana hati bisa bertumbuh, lalu mengisyaratkan ke seluruh dunia akan ke-“rumah”-an kami
A Note on Meaning
Selain memegang amanah sebagai nakhoda si rohis DKM NK, aku pun berkegiatan di berbagai tempat lain selama SMA. Akan tetapi, di tempat lain, terkadang agak sulit bagiku untuk se-kahatean di NK, terlebih jika peranku di sana sebatas menjalankan kegiatan formalitas atau rutinitas semata.
I’m not saying they were all bad though, some of my most passionate projects in high school were in places other than NK.
Jika dipikir-pikir, pengalamanku di SMA lagi-lagi menegaskan poin bahwa aku adalah orang yang akan berperforma tinggi di lingkungan yang sarat makna dan bisa kutemukan dan pertahankan Why-nya dengan lebih mudah dalam setiap lika-likunya.
Dan di Lima, aku merasa aku belajar dan terus bertahan di berbagai organisasi oleh karena teman-temanku yang genuinely passionate dan kahatean sehingga aku pun demikian, menciptakan lingkungan yang saling mengafirmasi dalam berkiprah — yang membuat organisasi begitu mekar.
Canggih juga ya esemalima.
Yak, semoga hikmah-hikmah ini masih bisa kuterapkan dan kuelaborasi di perjalanan selanjutnya.
Selamat melibatkan hati.