Kalah Saing Tanda Kalah Cinta
Tugas Duta Perjuangan Umat Kini Semakin Berat
You are the best nation produced [as an example] for mankind. You enjoin what is right and forbid what is wrong and believe in Allāh... (Q.S. Ali Imran 3:110)
Do we currently live up to this label? Can we? How?
Dari lensa keresahan, sepertinya kurang jujur apabila pertanyaan pertama dijawab dengan, “Iya.”
Lalu, dari kejujuran nurani, sepertinya kurang elok apabila pertanyaan kedua tak dijawab dengan yakin, “Iya!”
Kemudian, dari keelokan akal, alangkah kurang visioner untuk tidak mendiskursuskan jawaban dari pertanyaan ketiga. Kebanyakan memang tidak mengangkatnya — apalagi berusaha menindaklanjutinya.
Siapakah Duta Perjuangan Umat?
Ya, kita semua, lah.
Setidaknya jika mengaku muslim.
Atau setidaknya jika berafiliasi terhadap Islam, memercayai bahwa ialah syumul — komprehensif — sebagai pedoman hidup, dan yakin akan janji kemenangannya.
Setiap kita ialah duta perjuangan umat. Toh, kita ialah dai sebelum apapun, cenah.
Setiap langkah kita sebagai
Lalu, mengapa tugas duta perjuangan umat semakin berat? Atau, sebelum itu, memangnya iya tugas duta perjuangan umat semakin berat?
Lihat saja bagan ini.
Enough said.
Saya mencantumkan bagan tersebut hanya karena Nobel memang sedang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Secara empiris, tentu saja jauh lebih banyak komparasi yang dapat dilakukan untuk memberi substansi terhadap argumen bahwa posisi relatif umat muslim dalam kancah percaturan dunia — dalam segala lini! — telah merosot.
Di manakah para ekonom muslim terkemuka yang mengadvokasi sistem finansial alternatif anti-rent seeking dan bebas riba yang dapat mendorong kesejahteraan sejati? Di manakah para narator lingkungan muslim yang bergelut di panggung diskusi mengenai keseimbangan pembangunan dan keberlanjutan, meneladani betul peran sebagai pemelihara Bumi? Di manakah bala tentara yang dihormati segenap dunia yang wibawanya saja membuat musuh berpikir berkali-kali sebelum menyentuh kaumnya?
Dan mengapa peran-peran tersebut malah diisi dengan orang-orang yang bergerak atas altruisme dan progres sekuler?
Mengapa kita kalah getol memperjuangkan kaum termarjinalkan, wong cilik, dan buruh dibanding para aktivis sosial? Mengapa kita kalah canggih dan ilmiah dalam merumuskan program kemaslahatan dibanding para effective altruists?
Kalau kata Rommi Adany, “Kenapa lu pada masih kalah sama SJW?”
Bukankah seharusnya sebuah fondasi suci yang digariskan Allah Sang Pencipta jauh lebih menggelora dibanding karya-kontribusi yang hakikatnya dari fondasi yang hampa? Hancur-leburlah segala dasar lain — altruisme dan progres dan pembangunan dan apapun itu — di hadapan risalah nur yang dibawakan dalam Islam. Tapi kenapa nyatanya seperti yang kita sama-sama ketahui hari ini?
Kalah Cinta
Dari Kitab Tauhid-nya Bang Imad, disebutlah bahwa setiap orang pasti meng-ilah-kan sesuatu. Syukur, sebagai seorang mu’min, berkat sujud kita yang tak seberapa inilah, kita terlindungi dari seribu ‘sujud’ yang tak pantas kepada selain-Nya.
Para pemuka sekuler — the activists, the technologists, the political leaders — yang tampak begitu gemilang dan terdepan membawakan perubahan dan maslahat bagi orang banyak tentu punya ilah-nya tersendiri yang mendorong tindakan tersebut yang tentunya bukan Allah (kalau sekuler). Kendati demikian, obsesi pada ilah mereka mendorong ikhtiar gila-gilaan yang tak bisa kita nafikan.
Katakanlah altruisme, katakanlah manfaat, katakanlah creating value (duit), katakanlah nasionalisme, katakanlah keadilan sosial— katakanlah berjuta-juta hal sepele lainnya yang menjadi motivasi sentral segala ikhtiar para sekuler— itulah objek sembahan dan objek cinta mereka.
Pantaskah kita kalah menyembah dan kalah cinta?
Pantaskah kita kalah bervisi, kalah bergairah, kalah bernurani, dan kalah berdisiplin dari mereka?
Perang akan dimenangkan oleh mereka yang believes the hardest. Keyakinan ( — keimanan) ini termanifestasi dalam amalan dan ikhtiar yang menggariskan pencapaian-pencapaian baru pada jalan cinta masing-masing. Para wirausaha teknologi sekuler mengimani ‘kebermanfaatan’ dan meniti jalan cinta ‘kebermanfaatan’. Para aktivis sekuler mengimani ‘keadilan sosial’ dan meniti jalan cinta ‘keadilan sosial’. Para filantropis sekuler mengimani ‘altruisme’ dan meniti jalan cinta ‘altruisme’. Para tiran mengimani ‘hawa nafsu’ dan meniti jalan cinta ‘hawa nafsu’. Pada jalan-jalan cinta masing-masing, motivasi sentral pilihan begitu diagungkan, diimani, dan ditaati. Mengapa para muslim modern tak kunjung berada di tengah gelanggang dengan jalan cinta dan iman murni kita?
Jangan-jangan kita kalah cinta. Kalah obsesif. Kalah berkomitmen.
Menyedihkan.
Tentu kita tak bisa gunakan kesuksesan material sebagai tolok ukur sekali tebas untuk membeberkan bahwa umat muslim telah kalah mutlak dibanding selainnya.
Namun, bukankah indah apabila terwujud balada amina, negeri yang aman, yang seisinya terdukung dan ternormalisasi untuk senantiasa mengingat Tuhannya? Bukankah harmonis apabila hak-hak setiap manusia terjamin dan senantiasa diperjuangkan dalam rangka besar ketaatan? Lantai-lantai masjid bergemuruh dengan sujud beribu manusia. Lembaga keuangan kebingungan mencari penerima manfaat saking melimpahnya kekayaan yang para dermawan salurkan. Tiap insan bersemangat menyempurnakan akalnya dengan ilmu-ilmu Tuhannya.
Perwujudan negeri ini membutuhkan kemenangan kaum muslimin — tak bicara sesempit kemenangan politis dan militer belaka seperti yang sering disangka orang, tetapi kemenangan telak secara menyeluruh pada seluruh sendi sistem kehidupan. Kemenangan membutuhkan kemajuan. Kemajuan membutuhkan progres. Progres membutuhkan cinta.
Penutup
Sebetulnya keadaan serbasulit sekarang ini sudah ditakdirkan.
Abu Tsa’labah Al Khusyani pernah menanyakan perihal ayat 105 Surah al-Maidah kepada Rasulullah ﷺ, yang menjawab, “Hendaknya kalian ber-amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh kebaikan dan mencegah kejahatan).”
“Sampai suatu waktu kalian akan melihat banyak orang yang menuruti sifat pelitnya, mengikuti hawa nafsunya, terperdaya oleh dunia dan setiap orang yang punya pendapat kagum dengan pendapatnya. Ketika itu jagalah diri kalian masing-masing. Dan tinggalkanlah kebanyakan manusia. Sungguh di masa setelah masa kalian akan datang masa-masa (yang sangat dituntut) bersabar. Orang yang bersabar ketika itu seperti memegang bara api. Orang yang mengamalkan ajaran agama ketika itu pahalanya seperti pahala 50 orang.”
Dibanding para malaikat yang taat tanpa mengenal lelah dan gerutu, justru nilai utama manusia terletak pada kemampuannya untuk taat di saat seluruh kecenderungan dan impulsnya menolak untuk taat — bahkan mendayagunakan segala hawa nafsu itu untuk menciptakan karya amal yang indah.
Tentu, menjadi amat bernilai pula seorang manusia yang — di tengah segala tantangan zaman yang memalingkan dari fitrahnya dan mengerdilkannya dalam segala sudut pandang dunia—tetap bersabar menggenggam risalah cinta ketaatan. Begitu mulialah ia yang bertindak berkompaskan setinggi-tingginya adab, sementara kebanyakan manusia menganggapnya aneh dan terasing.
Terdapat tambahan yang begitu menghibur hati para penggenggam keimanan akhir zaman ini. Setelah pernyataan-pernyataan sebelumnya dari Rasulullah ﷺ, para sahabat bertanya, maksudnya semisal dengan 50 orang di antara mereka ataukah 50 orang di antara kami (para sahabat)?
Rasulullah menjawab, 50 orang di antara para sahabat.
Begitu tinggi martabatnya orang-orang yang kini masih meniti jalan cinta para pejuang.
Tulisan ini di-request oleh ariefahsh yang telah meminjamkan buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Ust. Salim A. Fillah. Maap ya Rie isi tulisannya bukan ripiu, tapi berkatmu refleksi-refleksi di sini bisa terjelma — hatur nuhun!