Kanvas Kosong Bernomor 1309

Catatan Hidup Mandiri

Rakean Radya Al Barra
4 min readApr 7, 2023
battlestation

Lantai 13, belok kanan, turun tangga kecil, belok kiri, belok kanan lagi. Unit 1309. Itulah alamat rantauanku selama satu semester di Amerika, yang langkah-langkah-menujunya sampai sekarang tertanam di kepala saking seringnya aku keluar-masuk.

Sejujurnya, sebagai kamar pribadi, itulah kamar terbaik yang pernah ku-“miliki” sendiri. Yaiyalah standar Amrik. Mahal pula. Jadi ya alhamdulillah terima kasih dana abadi LPDP :)

Selama satu semester kuliah di University of Pennsylvania dalam program IISMA, kamar ini menjadi battlestation-ku. Ia adalah tempat aku bekerja, beristirahat, bersenang, juga bersedih. Dan sebagai anak Bandung yang kuliah aslinya juga di Bandung, satu semester ini menjadi waktu terlama aku terpisah dari keluarga, sehingga kamar ini menjadi saksi penuh atas “hidup mandiri” pertamaku di perantauan.

Tentu itu membawa berbagai refleksi.

Pertama, selama empat bulan itu, aku entah kenapa tidak begitu merasakan kehilangan keluarga. Meskipun homesickness terus-menerus diangkat sebagai kekhawatiran besar dalam segala rangkaian pre-departure, aku sejujurnya gak begitu homesick. Entah karena mudah saja menghubungi mereka-mereka di WA atau karena aku dari sananya memang agak independen, yang jelas pada aspek itu aku tak begitu terdampak.

Yang jauh lebih prevalen bagiku adalah segala detail yang menyertai kemandirian itu. Dari bangun sampai tidur, pekerjaan-pekerjaan yang tak begitu kukhawatirkan di rumah seperti urusan belanja, urusan perut, urusan baju, dan sebagainya dilimpahkan padaku seorang diri. Ternyata lumayan jadi beban pikir-dan-energi juga ya haha jadi salut deh sama yang merantau.

Selain itu, dengan segala fasilitas universitas dan dana bulanan yang kupegang, rasanya aku bisa melakukan apa saja. Ada fasilitas gym empat lantai seblok dari apartemen, ada berbagai opsi jalan-jalan dalam dan luar kota untuk tiap weekend, ada Amazon dengan segala macam barang tersedia dan “tinggal” dibeli. Dekaka. Dengan begitu, bagiku 1309 adalah kanvas kosong yang bebas kulukisi sesukaku.

Tentu saja awalnya kuwacanakan segala keidealan dari sistem untuk belajar mandiri, sistem untuk memproduksi konten secara rutin, sistem untuk mengefisienkan proses belanja-masak-makan, sistem untuk meng-kickstart berbagai habit spiritual-fisik, sistem untuk mengatur keuangan dengan detail, blablabla. Tapi dalam keberjalanannya, yaa, namanya juga realita wkwk. Pada akhirnya, sistem-sistem runut itu banyaknya menjadi terdorong insting, feeling, dan mood pribadi.

Pada suatu titik menuju akhir dari perantauanku, aku sedikit overthinking mengenai hal ini. Abisnya, pengalaman inilah all I could ask for. Aku sebelumnya seringkali berandai tentang kondisi ideal sebagai prasyarat dari anganku, seolah-olah gak mungkin tercapai tanpa si kondisi ideal itu. Andaikan ada gym dekat, aku akan rajin olahraga. Andaikan aku gak punya kegiatan non-akademik yang begitu melimpah dan mengganggu, aku akan konsisten dengan segala habit. Andaikan aku kuliah di luar negeri, aku akan berakselerasi secara akademik. Andai-andai ini menjadi kambing hitam yang seolah membolehkan kekurangidealanku.

Nyatanya, ketika semua perandaian terwujud, toh aku begitu-begitu saja. Tak lagi ada alasan, tapi aku tetap saja aku.

Mungkin secara surface level memang terlihat keren. Oh si Rakean jadi belanja sama masak sendiri karena harus halal-compliant. Oh si Rakean belajar mulu di perpus-perpus keren. Oh si Rakean jadi sering olahraga. Tapi untuk hal-hal tersebut dan berbagai hal lainnya yang mungkin orang lihat, aku masih merasa bisa lebih baik. Lebih memanfaatkan kesempatan dan privilese yang ada. Dan tentu ada banyak kebobrokan seperti procrastinating parah, boros, dan mager yang gak terekspos ke mata publik. Jadi ya aku rasa penilaianku pribadi atas ketidakidealanku jauh lebih nyata.

Well, to be fair, banyak hal yang nyatanya okay juga. Tapi not okay enough kali ya hahaha. Dasar.

Sekarang sih, aku gak begitu terdampak lagi dengan overthinking atas kekurangidealanku ini. Setidaknya aku jadi tahu batasan-batasanku dalam hidup mandiri. Dan aku jadi tahu apa yang bisa kupercayakan kepada diri sendiri untuk dilakukan secara disiplin, dan apa yang belum. Buah dari hikmah tersebut cukup manis pada semester ini, kurasa, meskipun kadang sami bae terseok-seok juga haha. Yang jelas, aku sudah tidak se-berandai-andai-itu lagi, karena ya dengan andai-andai yang terwujud pun uing goreng keneh ahahaha.

Yang penting, aku jadi tahu apa yang aku lakukan dengan kanvas kosong ketika segala alat dan warna terjamin tersedia. Dan aku jadi jauh lebih sadar untuk memanfaatkan segala alat dan warna yang kupegang ketika ia menjadi terbatas.

Dan itulah syukur: memanfaatkan semua nikmat yang Allah titipkan sesuai dengan apa yang Allah inginkan dalam mendekatkan diri pada Allah.

Play the cards you’ve been dealt to the best of your ability, but don’t beat yourself up for messing up once in a while. That’s how the game works. You lose some, you win some. Just give it your best shot.

--

--