Kompetisi “Debat Islami”

Rakean Radya Al Barra
8 min readNov 10, 2023

--

Melalui dua kesempatan agak random dan tidak sengaja, satu di tahun terakhir SMA + satu di tahun terakhir kuliah, aku tercemplung ke dalam dunia kompetisi debat islami.

Biasanya ketika kuceritakan ke orang lain, timbul raut wajah agak bingung dan tidak familiar terhadap konsep lomba “debat PAI” atau “debat islami”. Frasa “debat islami” sendiri pun terdengar seperti kontradiksi. Debat, tapi islami? Islami, tapi debat?

Apa gunanya memang, ada kompetisi semacam ini?

Ngapain sih Rak, ikutan ginian?

Emang boleh se-debat ini, dalam Islam?

Mari kita bahas.

Comprehensive Problem Solvers

Sebetulnya, aku pertama kali ikut kompetisi debat islami di ajang Pentas PAI Kota Bandung 2019. Alasan aku ikut pun hanya karena Pak Iwan, guru PAI sekaligus pembina ekstrakurikuler yang kuketuai, mensyaratkan dengan semi-bercanda bahwasanya beliau hanya akan menandatangani proposal proker kaderisasi insidental kami apabila aku dan Arsyad, sekjenku, mengikuti lomba di Pentas PAI mewakili sekolah.

Lalu karena kami rasa kami agaknya terlalu cupu untuk mengikuti cabang lomba lain yang butuh suara merdu, keterampilan qurani, atau kemampuan seni, misalnya, kami asal pilih cabang lomba debat. Eh ternyata beneran didaftarin haha.

Tapi entah kenapa, kami menjuarai tingkat kota, lalu mengalahkan juara Pentas PAI versi SMK untuk mewakili kota di provinsi, kemudian menjuarai tingkat provinsi, dan dikirimkan ke Makassar untuk mewakili provinsi di tingkat nasional, di mana kami langsung gugur di penyisihan hahaha.

Karena sejak awal agaknya keikutsertaan kami di lomba-lomba seperti ini hanyalah iseng-iseng berhadiah, kami sih seneng-seneng ajah.

Aku pun lebih melihatnya sebagai simbol character development dari diri sendiri, yang waktu kelas 10 mungkin tidak terbayang sama sekali bahwasanya pada suatu saat akan cukup nyaman berceloteh di muka umum — bahkan dikritisi dan disinisi orang di muka umum. Memperdebatkan mosi mengenai isu kontemporer dalam bingkai kompetisi islami pun menantang untuk membangun argumentasi dan bantahan yang berbasis pada dalil-dalil agama, yang memicu untuk belajar mengintegrasikan perintah dan larangan Allah ke dalam konteks permasalahan modern.

Pada saat itu, aku sebetulnya sudah lumayan familiar dengan debat karena keikutsertaanku di ekstrakurikuler FEDU, Five English Debating Union. Jadi walaupun tidak pernah menjadi juara bergengsi di debat bahasa Inggris, aku cukup mengetahui dinamika persiapan dan dinamika bermain kompetisi debat in general. Ini membuatku punya standar akan seharusnya sebuah kompetisi debat itu seperti apa, yang menjadi bahan diskusi yang menarik dengan Pak Edi, pembina yang melatih timku sebelum ke Pentas PAI nasional. Abisnya dari tingkat kota dan provinsi, kompetisinya kayak yaa… begitulah wkwkwk.

Pak Edi mengakui bahwa, pada saat itu, perhelatan debat PAI masih jauh kualitasnya dibandingkan cabang kompetisi ‘islami’ lainnya maupun kompetisi debat lainnya. “Tapi dia penting untuk kita adakan dan meriahkan, sebetulnya,” kata Pak Edi, “karena dia menuntut adanya orang kritis yang bisa integrasi — antara Islam dan permasalahan modern— dan bisa mengkomunikasikannya. Itu sulit, tapi kita butuh.”

Pak Edi menyayangkan orang-orang yang berpikir bahwa tidak ada gunanya untuk mengadakan kompetisi semacam ini berdalih tidak adanya kaitan antara Quran dengan sesuatu yang ‘kotor’ seperti debat. Karena, katanya, kalau bukan dengan perbenturan ide-ide dan kekritisan berlandaskan interpretasi Alquran dan prinsip Islam, apa lagi lomba yang bisa memunculkan profil-profil pemikir komprehensif? Cabang lomba lainnya mungkin penuh dengan pelantunan ayat suci nan indah dan penguasaan hafalan, tetapi belum ada yang menuntut aplikasi ayat-ayat tersebut dalam kasus riil. Cabang lomba lainnya memang bisa jadi mengkontestasi ide-ide, seperti karya tulis dan pidato, tetapi belum ada yang menuntut kelincahan berpikir dan berkomunikasi on-the-spot sebegitunya.

Pikiran bahwa debat PAI itu sesuatu yang kotor dan perlu dijauhi, katanya, adalah ekstensi dari pemikiran yang mendikotomikan antara agama dengan kehidupan — seolah menolak mencampurkan kedua dunia tersebut. Padahal, masalah realita yang kompleks membutuhkan pemecahnya. Dan alangkah baiknya, pemecahan masalah dilandasi oleh Islam bukan?

Emang Boleh?

Photo by Miguel Henriques on Unsplash

Kayaknya udah menjadi pengetahuan umum bahwa debat kusir diperintahkan untuk dihindari dan ditinggalkan dalam Islam.

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada anaknya,

يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ

Wahai anakku, tinggalkanlah debat itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi)

Lalu, Imam Malik rahimahullah berkata,

الْمِرَاءُ فِي الْعِلْمِ يُقَسِّي الْقُلُوبَ وَيُوَرِّثُ الضَّغَائِنَ

“Berdebat dalam ilmu akan membuat keras hati dan mewariskan dendam.” (Mukhtashar Tarikh Dimasqa Hal 11)

Terus gimana dong Rak?

Ya, aku setuju. Perdebatan semacam yang kita lihat di kolom komentar video YouTube kontroversial atau antara kedua orang yang saling mengejek, memfitnah, dan mengata-ngatai memang layak kita tinggalkan. Juga dengan debat yang ‘judulnya’ adalah mencari solusi tapi isinya malah saling merendahkan pribadi lawan. Lagipula, diksi yang digunakan untuk debat dalam kedua kutipan di atas adalah mira’.

Dari Redaksi Muhammadiyah:

Mira’ adalah setiap bantahan atas ucapan orang lain dengan cara menampakkan, baik pada kalimat, makna, atau maksudnya, untuk menunjukkan keunggulan dirinya

…Di antara ketiganya, mira’ dan jadal biasanya berakibat pada sikap menyakiti orang lain. Dengan demikian, keduanya (mira’ dan jadal) dapat membangkitkan nafsu amarah dan membela pendapatnya masing-masing dengan cara benar atau salah. Apabila ada dua orang yang berdebat, ibarat orang yang sedang berkelahi. Masing-masing saling berusaha merobohkan lawannya setelak mungkin. Jika satu pihak berhasil merobohkan pihak lain, seolah-olah ada kepuasan tersendiri dalam dirinya…

…Kita seringkali menjumpai contoh-contoh mira’ berbentuk bantahan terhadap pendapat orang lain, meskipun terkait dengan hal-hal yang sepele. Di antara contoh-contoh mira’ adalah sebagaimana berikut: pertama, kritik atas kalimatnya dengan cara menampakkan kesalahan tata bahasa dan/atau penempatannya. Contoh dari kritik ini bisa dilihat dari ungkapan seseorang yang mengatakan: “jika ngomong jangan muter-muter seperti benang ruwet”…

Bisa dilihat bahwa yang dilarang adalah perdebatan yang semacam itu — fokus pada mengunggulkan dirinya dan merendahkan lawannya, sampai-sampai isi perdebatannya ad hominem atau membawa unsur pribadi lawannya yang gak berhubungan dengan substansi yang seharusnya diperdebatkan. Debat macam ini sayangnya masih sangat sering terjadi.

Bo Seo, seorang debater kelas dunia dari Harvard yang benar-benar kunikmati performances-nya pernah mengatakan bahwa debat di kehidupan nyata seringkali tidak menghasilkan manfaat apa-apa dan justru memperburuk keadaan karena tidak adanya kesamaan tujuan dalam meng-engage di debat tersebut.

Beda halnya dengan diskusi ilmiah yang betul-betul bertujuan mencari solusi atau jalan keluar terbaik, apalagi dengan lingkungan tertata dan teratur seperti dalam kompetisi. Kompetisi debat lalu menjadi perhelatan untuk mencari siapa yang dapat menyampaikan matter paling meyakinkan dalam manner yang paling elegan. Dalam kompetisi debat pun ada istilah bernama clash yaitu ketidaksetujuan. Biasanya, apapun mosinya, kedua sisi setuju bahwa ada akar masalah yang perlu diselesaikan atau disikapi, tetapi ada ketidaksetujuan dalam hal penyelesaian dan penyikapannya. Para whip atau pembicara terakhir akan menyimpulkan clash-clash terbesar selama sesi debat dan meyakinkan kepada juri bahwa case yang dibangun oleh timnya lah yang paling makes sense untuk menghadapi masalah yang sudah sama-sama diketahuinya.

Idealnya, kompetisi debat memberikan insentif penuh kepada para pesertanya untuk bisa berkontribusi dalam diskusi yang kaya dan produktif, juga menghormati norma-norma adab dan dignity. Kompetisi debat yang baik adalah yang membuat para pemainnya, jurinya, maupun audiensnya semakin berpikir tentang isu yang baru dibahas.

Debate should kickstart and enrichen further discourse.

Lagipula, dari Surat Ali Imran ayat 110:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ

“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”

Ini diperkuat dengan ayat 104:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Hendaklah ada di antara kamu (atau setiap orang di antara kamu) menjadi bagian dari sekelompok umat yang mengajak pada kebajikan, menyuruh pada yang makruf, dan melarang yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Sebagai umat yang ditakdirkan dan diperintahkan menjadi the best caretakers of Earth, hendaknya kita berkontribusi pada upaya proliferasi kebaikan, maksimasi manfaat, dan minimasi kemungkaran bukan? Sebaiknya kita hadapi masalah-masalah yang amat banyak di dunia ini bukan terlepas dari, apalagi despite, Islam — tetapi justru kita menghadapinya karena Islam, yakni pengejawantahan esensi firman Allah menjadi peran penebar rahmatan lil ‘alamin.

What I’ve Learned

Photo by Sincerely Media on Unsplash

Pada suatu sore di Masjid BATAN pada bulan puasa, terkumpullah teman-teman mantan panitia program Ramadhan dan Idul Adha Masjid Salman tahun sebelumnya dalam satu lingkaran persaudaraan dan gorengan. Lalu ada manusia bernama Fandy Hidayat yang tiba-tiba menawarkan jalan-jalan gratis. Syaratnya adalah mewakili kampus dalam cabang “Debat Ilmiah Kandungan Al-Quran dalam Bahasa Inggris”. Yauda gazz.

Bedanya dengan waktu SMA, kali ini, melalui berbagai pembinaan dengan alumni maupun beberapa ustadz dan juga menyusun riset berupa matter bank beratus halaman bersama partner debatku, Argya, aku rasa persiapannya jauh lebih matang. Dan pada akhirnya alhamdulillah ter-payoff juga dengan a performance that I could genuinely be proud of.

Debat menuntut agar kita berpikir holistik karena masalah yang diberikan adalah masalah nyata yang tak boleh disikapi tanpa memandang isu secara komprehensif. Jadi terlepas dari stance pribadi atas suatu isu, kita terpaksa melihat berbagai sisinya. Berkali-kali aku terpikirkan “dang that’s a really good case!” setelah mendengar speech dari lawan dan juga terpaksa muter otak biar bisa frame argumen pribadi menjadi bantahan yang sistematis dan elegan.

Aku belajar untuk riset mendalam dan menebak isi kepala lawan sebelum tampil agar bisa menyiapkan argumen yang setangguh mungkin. Aku belajar untuk bisa lincah di hari-H, karena harus bisa mendengarkan, berpikir, dan menulis di saat yang sama untuk bisa sepenuhnya mengungguli lawan, tak lupa menyiapkan retorika untuk membungkusnya setajam dan seelegan mungkin. Dalam sekian menit di panggung, ada sensasi rush yang sulit dideskripsikan.

Seru. Dinamis. Adiktif!

Dan karena ini adalah debat Islami yang harusnya menjadikan Quran & Sunnah sebagai core dari tiap poin yang dibangun, aku pun me-murajaah kembali ilmu-ilmu dan hafalan yang terkubur, juga belajar berbagai konsep baru yang lebih kompleks. Bagaimana tidak? Kemarin aja debat tentang hukuman terhadap bully di sekolah, narasi historis kehalalan bursa saham, autoritas platform media sosial dalam mengatur laju informasi, dan penyikapan terhadap mantan narapidana korupsi, antara lain. Bagiku betul-betul menjadi pengingat bahwa di samping pemikiran kritis dan general knowledge yang luas, selalu perlu ada dasar justifikasi Islamnya. Dan itu lumayan menjadi terlatih.

Saat menulis artikel ini pun, aku otomatis terpikirkan kaidah ushul fiqh apa saja yang dapat menjadi basis justifikasi adanya kompetisi debat Islami (maupun sebaliknya)? Jadi untuk pertanyaan, “Apa boleh, kita mengadakan dan mengikuti kompetisi debat Islami?” aku cukup yakin bisa berdebat dari kedua sisi wkwkwkwk.

the debate team of itb for mtqmn 17 is proud to present

Intinya, pengalaman kemarin seseru dan se-engaging itu! Tiap sesi 5–7 menit di mimbar menantangku untuk mengaktualisasi segala pembelajaran teori maupun keterampilan yang telah terasah seumur hidup sampai batas kemampuannya. Dan harapannya tampilan sikami juga bisa dinikmati oleh audiens, barangkali hingga menginspirasinya. Beginilah kontribusi kecil saya terhadap diskursus-diskursus kontemporer!

Terima kasih kepada seluruh orang yang terlibat, mendukung, dan mendoakan sejak dulu. We really couldn’t have made it without you ❤

--

--

Rakean Radya Al Barra

self-proclaimed preman medium, berbagi tiap jumat pukul 10 WIB