Kontenku Nirfaedah

Baiklah Menginspirasi, Lalu?

Rakean Radya Al Barra
3 min readFeb 2, 2024
Photo by camilo jimenez on Unsplash

Aku curiga banyak sekali konten di jagat raya yang nirfaedah bukan karena pembuatnya asal membuat, tapi karena audiensnya asal mengonsumsi.

Eh.

Tapi dipikir-pikir beban kesalahannya gak begitu penting sih — bisa cukup menjadi spektrum kesalahan antara kedua pihak, toh pembuat konten yang niat tapi tak peduli audiens pun bisa jadi gagal menghasilkan tingkat ke-faedah-an pascaberkarya yang baik.

Jadi kurevisi paragraf awal:

Aku curiga banyak sekali konten menjadi nirfaedah karena tak menghasilkan apapun yang konkret setelahnya.

Mungkin pandangan ini bisa dianggap agaknya terlalu utilitarian. Toh, membaca (apalagi membaca fiksi) sebagai pengalaman sensasi intelektual dan sensasi perasaan pun kerap dianggap cukup menjustifikasi jam-jam panjang untuk mencerna kata-kata itu.

Aku tidak ingin (terlalu) utilitarian. Jadi maafkan jika terkesan demikian — aku hanya menyayangkan usaha merangkai serta mencerna kata dalam hubungan penulis-pembaca yang berujung alakadarnya. Sayang.

Supply Side

Aku senang sendiri dengan konsep manis bahwa apa yang kutulis di sini ternyata membantu hidup orang jadi sepersekian persen lebih baik, bahwa huruf-hurufnya menginspirasi pemikiran serta inisiatif baru, dan bahwa network jariyah keberdampakan terus mengalir untukku karenanya.

Tapi aku geli sendiri dan menolak untuk terjebak dalam savior mentality penuh bullshit hanya demi mengunyah konsep manis tersebut perlahan-lahan. Hal ini membuatku waswas karena artinya aku tak betul-betul membantu: hanya memajukan ego pribadi dengan sensasi keberdampakan yang fana. Apalagi ketika jumlah claps dan follows dan comments dan DM dan ucapan terima kasih menggoyahkan niat semula hingga menjadi entah apa.

Yang bener aaja

Ruugi dong

Itulah mengapa aku tak begitu suka disematkan label-label macam influencer atau figur publik karena mengasingkan pribadiku dari kekonkretan hasil karyaku. Dengan begitu, aku menjadi valuable bukan betul-betul karena dampak yang kubawa melainkan karena massa yang bisa kugait — yang barangkali ikut tergait karena tulisanku memunculkan rasa manis produktivitas semu yang seolah dapat menggantikan hal yang betul-betul nyata.

Semoga itu bukan kamu.

Demand Side

Coba deh, aku penasaran. Apa hal konkret yang berubah setelah kalian scroll dan ngangguk-ngangguk dan clap dan highlight sebuah tulisan Mediumku?

I’ll wait.

Ada kah?

Atau jangan-jangan ia hanya membawamu menuju keberdampakan semu yang hanya menyediakan sensasi bahwa kamu telah menggunakan lima menit untuk hal yang “produktif”, padahal...

Ya, kita sama-sama tahu: padahal belum tentu.

Baiklah menginspirasi, lalu? Puaskah dengan sebatas itu?

Baiklah menampar, lalu? Mau tunggu sememar apa untuk mulai berpacu?

Katanya “daging” — tapi protein butuh dilatih, dihancurkan, dibentuk agar berkembang kokoh.

Atau barangkali asumsiku salah? Prove me wrong, I dare.

End

Segala kepahitan yang mungkin terasa di tulisan ini tertuju pada diri sendiri semata. Jika merasa terciprat, silakan dinikmati.

Aku tak berniat berhenti menulis karena hal ini saja. Tapi tulisan hari ini adalah prasasti kepada diri sendiri bahwa peran inspirator abstrak yang tidak terukur agaknya tidak cukup. What gets measured gets managed, and this ain’t really measured in any substantial way.

Photo by Diana Polekhina on Unsplash

And for God’s sake, Rak. Practice what you preach!

--

--