Lima Hal yang Mendorongku Membaca (Waktu Itu)

Apa yang Menghasilkan Rakean “1 Week 1 Book” Waktu 2020?

Rakean Radya Al Barra
6 min readMar 8, 2024
beacon hill books, boston

Akhir-akhir ini aku merasa jarang benar-benar menyentuh kembali buku-buku yang loh-kok-semakin-ngantri di kamar. Dan terkadang agak overwhelming jika aku memikirkannya karena rasa-rasanya terlalu banyak yang mau diserap dan dirasakan dan ditangkap dalam konstelasi neuronku selama mungkin. Ini tentu memunculkan unsur pressure yang sebenarnya tak perlu dan mulai membuatku malah gak baca sama sekali haha.

Jadi deh dalam artikel ini aku memutuskan untuk mereview beberapa alasan aku mulai kebiasaan membaca based on ocehan aku sendiri empat tahun yang lalu (silakan cari sendiri) pada saat aku membangkitkan kebiasaan membaca sampai tingkat yang lumayan waw (1 buku 1 minggu). Maka dari itu, kurang-lebih, inilah lima alasan mengapa waktu itu aku bisa tergerakkan untuk membaca.

1. Merasa Kalah sama Waktu Kecil

Ini mungkin alasan personal, tapi sejak kecil aku memang sangaat tenggelam dalam budaya membaca. Di sini, aku menyadari bahwa berkompetisi dengan diri sendiri sering works jadi silakan terapkan di konteks masing-masing wgwg.

Tapi intinya, dengan sejarah pribadi di SD yang berlomba-lomba dalam membaca sama temen (kejar-kejaran ngumpulin banyak informasi biar gak saling spoil isi plot-twist Harry Potter dkk), dan literally sampai ikutan lomba reading comprehension bernama Battle of the Books, ya aku sering membaca. Pulang ke Indonesia dan ‘terpaksa’ homeschooling pun membuahkan banyak sekali waktu bebas sehingga aku terbiasa mengisinya dengan membaca dan menulis.

Kebiasaan ini menghilang waktu masuk SMP, apalagi SMA, karena mulai sok sibuk. Prestasi-prestasi dan lebih penting lagi si enjoyment dalam membaca yang kukenang sejak kecil menjadi salah satu motivasi mini untuk mulai membaca lagi waktu akhir tahun 2019, yang memupukkan kondisi yang tepat saat pandemi memuncak dan aku senang-senang saja menghabiskan waktu di rumah saja dengan membaca.

the book trader, 2nd street philadelphia

2. Bertambah Apresiasi untuk Menulis

Pada awal kelas 12, aku memutuskan untuk mengikuti Scholastic Aptitude Test atau SAT, suatu persyaratan lazim untuk mendaftar kuliah S1 di Amerika Serikat. Karena terhitung cukup telat mempersiapkan, aku melupakan per-UTBK-an dan lebih intensif menyiapkan diri untuk SAT, dengan segala soal bagian Reading-nya yang terkenal sulit.

Tapi di situ aku justru enjoy. Setelah bertahun-tahun disuguhi soal bahasa ala-ala LKS yang begitu-begitu saja, soal SAT yang menantang critical thinking dan betul-betul memaksa pembaca untuk engage dengan isi tulisan menjadi exciting. Teks yang dipilih untuk tiap soal terasa berkualitas dan betul-betul ‘tulisan pilihan’. Dengan banyak latihan SAT, otomatis aku membaca banyak sekali soal dan banyak sekali tulisan bagus. Dan inilah yang membuatku semakin mengapresiasi betapa kerennya para penulis.

Situasi ini dibarengi dengan waktu aku sedang banyak menulis esai, yang menyadarkan bahwa ternyata kegiatan menulis — merangkai dan mengembangkan poin-poin pemikiran menjadi paragraf-paragraf yang koheren— itu suliiit pack.

Untuk menulis, kita perlu mengumpulkan ide-ide, mengembangkannya, dan menyusunnya dengan sedemikian rupa sehingga sebuah poin atau argumentasi terbangun dengan baik. Itu perlu kemampuan untuk meriset, kemampuan untuk konsisten menulis berulang-ulang, dan jelas kemampuan dalam berbahasa hingga tulisan kita mengalir dengan flow yang enak dibaca.

Dengan begitu, aku semakin mengapresiasi buku sebagai what it truly is: akumulasi pemikiran selama berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun, yang diringkas untuk dibaca sama kita selama beberapa jam. And that’s crazy cool.

Salah satu titik penting dalam perjalanan membacaku ini adalah membaca buku “Tipping Point” karya Malcolm Gladwell, yang — sesuai namanya — adalah tipping point bagi diriku sendiri dalam memulai kembali kebiasaan membaca. Tulisan Gladwell terasa begitu welcoming, nyaman dibaca, juga penuh dengan insights bermanfaat dan anekdot serta argumen yang ciamik. Aku yang juga pernah bercita-cita menjadi jurnalis seperti Gladwell menjadi terinspirasi dengan tulisannya — terbayang betapa effort-nya untuk menulis sampai tingkat se-amazing itu.

Dan rasanya, tulisan harus dihargai dengan membacanya, bukan?

jones library, amherst

3. Interested in Things

Aku menemukan satu poin bagus dari video sang komedian, Pandji Pragiwaksono, yang cukup mewakili motivasi aku untuk bisa relatif rajin baca. Bang Pandji seolah mempertanyakan mengapa orang-orang bertanya cara untuk menumbuhkan minat membaca, sementara seharusnya mereka bertanya cara untuk menumbuhkan minat, titik.

Intinya sih kalau kita memang minat terhadap suatu hal, ya kita akan otomatis ‘kepo’ dengan hal tersebut dan mau untuk mencari tahu lebih banyak: salah satu cara terbaiknya yaitu lewat membaca buku. Bocah-bocah ep ep sekalipun akan tertarik membaca buku tentang game kesukaannya karena memang itu minat mereka.

Informasi memang tersedia di platform selain buku, semisal Tiktok, YouTube, artikel berita, atau televisi, tetapi sesuai poin sebelumnya, sebuah buku adalah hasil pemikiran yang dikumpulkan, disimpulkan, dan dipertajam selama berbulan-bulan atau mungkin bertahun-tahun.

Sementara itu, konten lain seperti video atau artikel ini mungkin hanya butuh beberapa jam atau hari. (Bukan bermaksud merendahkan konten lain, itu sangat bermanfaat juga, tapi menurut aku beda level aja sama buku. Sumber ilmu seluas Wikipedia aja di footnotenya banyak referensi buku dan jurnal akademik.)

Setelah sekian lama membiasakan membaca, terutama membaca nonfiksi, menurutku muncul sebuah obsesi buat mencari tau hal-hal yang interesting lewat buku. Misalnya, dari buku “Outliers” karya Gladwell (lagi) yang menjelaskan faktor-faktor kesuksesan, ada bab yang menyinggung perbedaan cara berpikir orang-orang Asia dengan orang-orang Barat. Bagiku menarik sangat, tapi sayangnya gak terlalu dibahas panjang lebar. Dari situ aku penasaran dan menemukan buku “Geography of Thought” karya Richard Nisbett yang sepenuhnya menjelaskan fenomena perbedaan cara berpikir tersebut, yang menjadi salah satu buku nonfiksi favoritku.

Ketika buku dipertimbangkan menjadi opsi sumber informasi yang digdaya, perspektifnya berubah. Jadi kalau memang kepo tentang suatu hal, otomatis terpikirkan bahwa kemungkinan besar ada bacaan bagus tentang hal tersebut, yang selanjutnya dapat dicari. Atau bahkan juga sebaliknya: nyari-nyari buku sampai ketemu yang kayaknya ‘worth-it’ untuk dikepoin lalu bertekad buat menyelesaikannya.

Dan melalui perjalanan berliterasi, aku menemukan banyak sekali minat pribadi, juga hal-yang-tidak-minat pribadi haha. Dan ini betul-betul menjadi bahan bakar untuk lanjut membaca.

a.d. white library, cornell university

4. Membangun Kapasitas dengan Kebiasaan Long-Term

Kita coba bermatematika sedikit (pinjem istilahnya ya Yah punten).

Waktu kelas 9 sampai kelas 11, aku perkirakan buku yang aku baca per tahun gak sampai 5 buah. Katakanlah rata-rata 3 buku per tahun. Kalau “laju” itu dipertahankan dari kelas 12 sampai umur 30, atau 12 tahun, berarti ada total 36 buku yang ikut menambah kapasitas pribadiku. Dan dirasa-rasa, dalam the grand scheme of things, 36 buku terkesan sedikit sekali sebagai ‘bekal ekstra’ yang diperoleh antara SMA sampai umur 30.

Sedangkan, kalau aku pertahankan laju membaca 52 buku per tahun dari akhir SMA hingga umur 30 tahun, artinya tamat 624 buku. Waw. Sebagai hasil dari ‘hobi sampingan’, ini berharga pake banget, karena entah sebanyak apa value yang bisa diperoleh dari angka 624 itu — yang ikut membangun kapasitas aku sebagai calon manusia kontributif di masa depan. (Dengan catatan emang buku yang bermanfaat dan beneran dibaca secara mindful)

Tentu saat ini, aku tidak berhasil melanjutkan laju 52 buku per tahun karena sulid hahaha, tapi intinya inilah exercise bermatematika dengan buku yang menarik untuk dilakukan, dan cukup memotivasiku kala awal pandemi.

5. Ter-Influence Orang

Kreator konten seperti John Fish, Ali Abdaal, dan bahkan PewDiePie menjadi faktor yang sangat penting dalam keputusanku untuk rajin membaca kala itu. Jadi ternyata funnel-nya lumayan menarik haha; mulai dari YouTube tapi terjun ke buku. Untungnya, algoritmaku waktu itu cukup berfaedah jadi aku terus-terusan disuguhi konten yang membuatku kepo dengan segala macam bacaan dan tertarik untuk menyelami substansi dari buku-buku yang orang-orang rekomendasikan untuk aku coba ulik sendiri. Dari sini aku banyak membaca buku klasik dan terkesima dengan talenta berprosa dari orang-orang zaman dahulu.

But I’m going too far from my point.

Intinya, ada stimulus dekat yang meng-influence aku secara cukup kontinu (thanks algo) untuk membaca lagi dan lagi. Mungkin inilah hal yang kurang ada di kehidupanku saat ini dan bisa dicari untuk mulai terjun kembali ke dunia kertas dan anotasi.

Dan karena poin ini membahas tentang influence, semoga aku ikut meng-influence juga ya!

Ramadhan tiba — yuk kita baca!

Lima poin yang teradaptasi dari ocehanku di tahun 2020.

(Future Rakean, if you’re reading this, you better be currently in the middle of some book I swear man)

--

--