Lisensi Moral
Ketika Berbuat Baik Membuat Kita Lengah, Lalu Semena-Mena
Setelah melakukan suatu kebaikan, pernahkah kamu merasa sedikit berhak untuk ‘menurunkan standar’ dalam berperilaku?
Misalnya, setelah berdonasi, kamu merasa sudah melakukan sesuatu dengan itu dan ‘berhak’ men-skip ajakan donasi berikutnya? Atau setelah disiplin berolahraga, jadi merasa boleh me-time berleha-leha di jam-jam setelahnya? Atau setelah capek-capek mengurus program sosial, jadi merasa lebih berhak meninggalkan aktivisme lainnya?
“I’ve done something good, so I deserve this treat.”
“I’ve worked hard and contributed to the company’s success, so I deserve time for myself and my family should understand that.”
“I’m doing my part in other ways, so this one indulgence is okay.”
“Aku sudah melakukan XYZ, maka tentu saja aku berhak atas ABC.”
Ternyata fenomena ini punya nama: moral licensing. Dan ia berbahaya.
Riset Tentang Lisensi Moral
Moral licensing is a cognitive bias, which enables individuals to behave immorally without threatening their self-image of being a moral person. (Simbrunner & Schlegelmilch, 2017)
Berbagai studi sudah dilakukan untuk meneliti perilaku dan fenomena lisensi moral ini, termasuk perilaku berdonasi, berbuat jujur, dan bahkan diskriminasi rasial.
Contohnya, beberapa riset terkenal meminta responden untuk belanja antara di online store yang ramah lingkungan atau yang konvensional. Dalam eksperimen-eksperimen, peserta yang sudah belanja di online store ramah lingkungan cenderung lebih sering berbohong dan curang dalam tugas yang diberikan pada mereka setelahnya, juga berbagi uang yang lebih sedikit dalam permainan dictator game (Mazar & Zhong, 2010).
Penjelasannya, secara psikologis, kita mudah merasa telah “membeli” hak untuk bertindak secara kurang baik setelah sudah melakukan sesuatu yang baik. Konsep ini berasal dari teori psikologi sosial yang menggambarkan bagaimana orang seringkali merasa bahwa mereka bisa menyeimbangkan perilaku mereka dengan bertindak baik di satu sisi dan buruk di sisi lain.
Moral licensing is a non-conscious effect that provides a moral boost in the self-concept, which increases the preference for a relative immoral action by dampening the negative self-attributions associated with such behavior (Khan & Dhar, 2006).
Kita dan Lisensi Moral
Coba pikirkan: kita sering membeli pakaian baru atau dessert di kafe setelah berhasil melewati pekan yang menyulitkan. “Saya sudah bekerja keras; ini saatnya memberikan reward untuk diri sendiri,” pikir kita.
Meskipun itu mungkin bukan kesalahan besar, seringkali kita lupa bahwa (dalam jangka panjang) kita mungkin melupakan apa yang benar-benar kita butuhkan atau mengorbankan prinsip hidup yang lebih bersahaja. Walau self-reward sesekali tentu saja boleh, hal-hal kecil ini menunjukkan adanya slippery slope yang berpotensi membuka ruang untuk mewajarkan hal-hal yang lebih berbahaya.
Mungkin, setelah seseorang sudah merasa cukup effort dalam volunteering, ia merasa punya hak untuk mager mengikuti arus gerakan sosial lainnya. Atau mungkin, setelah seseorang sudah rajin beribadah di bulan Ramadan, ia merasa punya hak untuk sedikit “menyimpang” dalam perbuatan lain. Atau mungkin, setelah seorang pemimpin sudah merasa telah memberikan banyak kontribusi terhadap tim, ia merasa tidak perlu lagi terbuka terhadap umpan balik.
Sikap seperti ini tak hanya menyesatkan, tetapi juga bisa menjadi halangan dalam perjalanan tumbuh-kembang pribadi.
Jika dibiarkan tanpa disadari, moral licensing bisa menjadi kebiasaan yang secara perlahan merusak integritas pribadi. Kita mulai membangun narasi-narasi pembenaran di kepala: bahwa satu tindakan baik bisa ‘menutup’ tindakan kurang baik lainnya.
Padahal, moralitas bukan soal hitung-hitungan satu banding satu. Ia bukan sistem poin, melainkan a game of consistency dalam nilai yang kita hidupi.
Bagiku pribadi, hal yang paling bahaya dari fenomena lisensi moral adalah jika hal ‘moral’ yang dilakukan sebetulnya tak berdampak-berdampak amat. Contohnya seperti berdonasi untuk kebaikan yang sejatinya adalah ‘filantropi buta’ yang hanya menghabiskan uang tanpa impact yang signifikan.
Contohnya banyak dan sering kita jumpai. Katakanlah kita berdonasi ke kampanye viral tanpa cek kredibilitasnya, lalu merasa sudah cukup beramal. Atau mungkin kita membeli totebag kain untuk belanja di minimarket atau menggunakan sedotan stainless, lalu merasa si paling menyelamatkan kura-kura di laut— padahal kita tetap belanja impulsif setiap minggu. Atau mungkin kita ikut share isu humanitarian seperti Gaza atau krisis iklim di media sosial, tapi menolak ajakan jadi relawan dengan alasan “aku sudah menyuarakan ini kok”. Atau mungkin di tempat lain sudah lantang bicara soal keadilan dan keberpihakan, tetapi tetap memilih diam saat rekan kerja diperlakukan tidak adil.
Jika kita sudah merasa telah beramal dengan hal seperti itu, lalu lisensi moral membuat kita berhak men-skip kesempatan beramal yang lebih berdampak, artinya net contribution kita sebagai seorang individu tetaplah nol besar.
Bahkan lebih buruk! — karena kita telah kehilangan kepekaan terhadap apa yang benar-benar dibutuhkan. Lalu, kita menikmati kepuasan semu tersebut. Kita mungkin menjadi pribadi yang merasa “baik”, tapi tak membawa kebaikan ril.
Terdengar menyedihkan.
Aku tak ingin.
Itulah kenapa penting untuk terus memelihara kerendahan hati dalam menilai kontribusi diri. Bahwa tidak semua niat baik cukup, dan tidak semua tindakan moral layak menjadi alasan untuk berhenti.
Sungguh benar-benar tak pernah ada alasan untuk berhenti.