Litmus Tests of Responsibility

Menguji Kadar Tanggung Jawab Diri dengan Keranjang Belanja, Handuk, dan Piring

Rakean Radya Al Barra
6 min readMay 31, 2024
Photo by Markus Spiske on Unsplash

Ada satu utas Reddit yang sejak dahulu telah cukup nyaman bertengger di sela-sela neuronku dan kerap teringat setiap kali aku berkunjung ke supermarket. Penulis utasnya mengklaim telah menemukan sebuah uji sederhana yang merefleksikan apakah seseorang mampu self-governing — yakni, mengontrol diri sendiri — atau tidak.

And if you’re chronically online, I think you know which one I’m talking about.

Keranjang Belanja

Berikut cuplikan utasnya.

Diksinya agak comedically dramatic, memang, tapi aku rasa si sender punya poin yang bagus juga. Intinya, ketika kegagalan kita dalam menunaikan tugas sederhana (mengembalikan keranjang belanja) tidak disambut dengan konsekuensi lahiriyah, apakah kita akan tetap melaksanakan tugas tersebut?

Tidak akan ada yang menghukum kita kalau keranjang belanja tidak dikembalikan; kita tidak akan didenda, disakiti, dibunuh atau sebagainya pula.

Sebaliknya, kita pun tak punya insentif positif untuk melakukannya. Tak akan ada yang memberikan hadiah atau tepuk tangan atau bahkan apresiasi jika kita mengembalikan keranjang belanja. Maka, energi yang kita kerahkan untuk capek-capek mendorong sang keranjang itu sekian meter ke negeri asalnya adalah energi yang dikerahkan ikhlas untuk ‘menunaikan tugas’ — karena it’s the right thing to do.

Lebih lebay lagi, sang sender membandingkan orang yang gagal menunaikan tugas sesederhana ini dengan hewan dan mengklaim bahwa inilah uji yang dapat menentukan apakah seseorang adalah anggota masyarakat yang baik atau tidak. Namun, terlepas dari ke-lebay-an dramatis si sender, yang aku rasa tak 100% dari kita akan mengiyakan, they have a point. Dan hal yang serupa dapat kita perhatikan juga dalam hal-hal sehari-hari lainnya.

Piring dan Handuk

Photo by Bimo Luki on Unsplash

Setelah belanja, apakah kamu mengembalikan keranjang belanja?

Setelah selesai makan di restoran, apakah kamu mengembalikan piring kotor?

Salah satu culture shock yang kurasakan dari pulang ke Indonesia setelah 7,5 tahun di Amerika adalah ketiadaan budaya mengembalikan piring kotor di tempat makan. Sementara itu, aku terlatih setiap hari di cafeteria sekolah sewaktu SD untuk mengembalikan tray kotor ke tempat khususnya. Aku ingat waktu SMP aku kebingungan mencari tempat menaruh tray di suatu restoran fastfood di Bandung, sampai-sampai aku sadar bahwa kebanyakan orang memang membiarkan sisa-sisa makan mereka di meja.

Kalau hal tersebut dilakukan di Amerika, maka siap-siaplah untuk di-judge orang-orang di sekitar (apalagi di Philly, kemungkinan bakal dilabrak sama pegawai tidak ramah bintang satu). Hal tersebut tidak berlaku di Indonesia — memang tidak ada budaya mengembalikan piring-piring kotor tersebut.

Tetapi dengan demikian, karena tak ada hukuman dan tak ada insentif positif, kasusnya jadi kurang-lebih mirip sang uji litmus keranjang belanja. Tak ada alasan normatif selain kebaikan hati nuranimu untuk mengembalikan piring, atau sekadar menumpuk/merapikannya di meja — jika memang tiada tempat yang realistis untuk mengembalikannya (jika mengembalikan malah menyulitkan pegawai, ya beda cerita).

Ada contoh semacam ini juga di dunia olahraga.

Saraga ITB uyey

Dalam latihan beban di gym, ada berbagai mesin yang dipakai bersama-sama. Terus, ya yang namanya gym orang pasti keringetan yak? Tak jarang, keringat kita akan tersisa di mesin-mesin atau kursi-kursi itu, sehabis kita pakai. Maka dari itu, (umumnya) disediakanlah alat pembersih komunal berupa handuk dan cairan dalam semprotan oleh pihak gym untuk digunakan secara inisiatif dan mandiri sehabis menggunakan suatu mesin tertentu.

Meskipun banyak orang yang bertampang seram-seram dan kekar-kekar di gym, mereka tidak akan menegur, memukul, atau membantingkan barbel padamu jika kamu tidak membersihkan bekas keringatmu dengan handuk. Itu hanya persoalan adab dan kapasitas untuk mengontrol diri sendiri agar disiplin terhadap adab tersebut — tanpa insentif duniawi apapun.

Rasanya, dari contoh-contoh berupa keranjang, piring kotor, dan handuk gym, seharusnya poinku cukup jelas. Bisakah kau sebutkan contoh-contoh lainnya dalam kehidupan sehari-hari? Kalau tidak, mungkin kamu harus segera mempertanyakan adab-adab apa yang mungkin terlewat untuk ditunaikan.

“How you play games is how you do everything”

Photo by Fredrick Tendong on Unsplash

Tepat sehari sebelum aku mulai menulis ini, aku menemukan video YouTube yang cukup berkaitan dengan konsep uji Litmus di atas.

Dalam video tersebut, Doozy berargumentasi bahwa, “How you play games is how you do everything.” Cara kamu bermain game adalah cara kamu melakukan semua hal.

Ia lalu bercerita mengenai kesulitannya untuk fokus pada satu game tertentu, lalu loncat-loncat ke game-game lainnya demi memuaskan rasa novelty atau ‘hal baru’, sebelum kemudian bosan dan beralih ke game berikutnya. Ternyata ini tidak hanya ia rasakan saat bermain game, tetapi untuk banyak hal dalam hidupnya.

Manusia adalah creature of habit atau ‘makhluk kebiasaan’. Kita beroperasi sesuai dengan pola-pola yang membangun hidup kita masing-masing. Maka itu terrefleksikan dalam hal-hal yang kita lakukan, tak terkecuali bermain game.

Video ini membuatku sukses berintrospeksi tentang sifat-sifat diri yang tetap langgeng sejak waktu kecil — karena masa-masa bermain game-ku memang banyaknya saat masih kecil (sekarang saking ‘tobat’-nya, dibilang “hidupnya ngebosenin banget” sama adik bungsuku karena gak punya game di HP).

Selain relate ke sifat loncat-loncat dan mudah bosan itu, aku juga menyadari semacam kecenderungan obsesif yang masih bertahan hingga hari ini. Aku menamatkan Lego Indiana Jones dengan 100% Completion, menyelesaikan PokeDex, mengulang-ulangi mission Assassin’s Creed sampai berhasil menyelesaikan objektif opsionalnya, dan lain-lain, misalnya — hal-hal yang membutuhkan berjam-jam mengumpulkan collectibles yang tak berguna-berguna amat dan tak begitu membuahkan kebahagiaan juga. A worthy reflection, Rak! Ada pun hal-hal lain yang bisa kutarik dari cara introspeksi semacam ini.

Kalau kamu bermain game, coba refleksikan style bermainmu, deh; temuan-temuannya cukup seru haha. Ini semua berdasar pada ide utama bahwa pola-pola hidup mempengaruhi cara kita bertindak.

Menariknya, dalam video tersebut, Doozy menegaskan bahwa sebaliknya bisa berlaku: cara kita bertindak dapat mempengaruhi pola-pola hidup.

Dengan begitu, perubahan yang sesederhana pada cara menyikapi bermain game pun dapat memicu sebuah pola baru. Menjadi sedikit lebih sabar, menahan kebiasaan buruk trashtalking kepada kompetitor, atau menikmati pemandangan alih-alih hustling menuju misi berikutnya adalah beberapa contoh dari pembiasaan yang dapat perlahan menerjemahkan dirinya ke dalam kehidupan nyata. Dan itu terdengar cukup keren karena begitu ‘sederhana’ untuk dilakukan.

Sebetulnya, ini bisa digeneralisasi menjadi satu quote yang tak kalah elegan:

How you do anything is how you do everything

Cara kita melakukan apapun adalah cara kita melakukan segala hal.

Lifestyle influences action influences lifestyle influences action. Ia menjadi feedback loop positif yang dapat mengarahkan kita pada trajektori hidup yang lebih baik. Dan pemicu utamanya bisa jadi adalah hal-hal sederhana dan kejadian-kejadian sederhana yang kita temui sehari-hari.

Jadi, marilah kita coba untuk sesekali sadar akan keranjang, handuk, piring, video game, dan semacamnya dalam kehidupan sehari-hari: barangkali ia merefleksikan suatu hal dari pribadimu yang sebaiknya kamu perlu ketahui ;)

--

--

Rakean Radya Al Barra

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)