Luka Adalah Keniscayaan: Pilih Sulitmu

Racauan Sakit Gigi

Rakean Radya Al Barra
4 min readJan 12, 2024
Photo by Kenny Eliason on Unsplash

Mending sakit gigi apa sakit hati?

Why not both hahaa

Tapi tulisan ini bukan tentang itu.

Here’s what it’s about: Aku tertarik dengan fenomena bernama delayed gratification.

Maksudnya adalah perangkat rasionalitas yang memungkinkan manusia untuk menunda kepuasan dan tidak mencari kesenangan instan layaknya hewan (tapi apparently tidak semua hewan).

Artinya adalah bahwa spesies kita dirancang secara khusus untuk dapat mengkalkulasi secara kasar sebuah kepuasan di masa depan. Ada unsur waktu yang dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan— dan bisa secara jangka amaaat panjang.

Aku juga baru-baru ini mengenal istilah borrowed happiness, kesenangan yang dipinjam. Bisa jadi, sebuah pilihan untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan sekarang tidak absolut menyenangkan — ia hanya mengambil kesenangan dari masa depan.

Contohnya banyak sekali. Begadang malam ini hanya untuk menyambut pagi dengan kelelahan. Menunda tugas hanya untuk kelabakan di H-1 deadline. Menyia-nyiakan waktu muda hanya untuk repot di masa tua.

Dengan begitu, aku tak begitu mengerti mengapa istilahnya borrowed atau dipinjam, karena rasa-rasanya kesenangan tersebut dicuri. Sama seperti masa depan anak-cucu kita yang kita curi atas nama konsumerisme yang merusak satu-satunya planet milik mereka (#eh).

Berhubungan dengan dua istilah tersebut, dari mata kuliah Decision Processes yang amat aku senangi, aku mempelajari dua sistem di otak manusia: Sistem 1 yang berhubungan dengan emosi dan teraktivasi dalam keputusan yang menyediakan kepuasan secara langsung (borrowed happiness) dan Sistem 2 yang berhubungan dengan proses rasional yang teraktivasi dalam keputusan yang dibuat terlepas dari faktor waktu (dapat menunjang delayed gratification).

slides kuliah

Jadi benar adanya kalau ada dua sistem yang mungkin saling berlawanan dalam diri kita: nafsu dan akal. Dan ternyata, orang-orang yang lebih mampu ber-akal sehingga dapat menunda gratifikasi sang nafsu cenderung lebih sukses secara akademik, kognitif, sosial, dan juga punya well-being yang secara umum lebih baik. Kemampuan untuk menyeimbangkan kepuasan instan versus kepuasan-lebih-baik-tapi-tertunda juga ternyata penting untuk mengoptimalkan survival dan kesuksesan reproduktif.

Tentu, cuap-cuap tentang teorinya jauh lebih mudah dibandingkan dengan membuat keputusan pada kenyataannya. Bias kita terhadap ke-sekarang-an memang sulit sekali untuk dilawan. Tapi menurutku, hal ini penting untuk disadari agar kita bisa ngeh di tengah-tengah suatu pembuatan keputusan A vs B dan mulai berpikir, “Apakah ini nafsu atau akal yang sedang berbisik?”

Lagi-lagi, contohnya banyak dan gak mesti besar-besar. Misalnya: Pilihan melakukan sesuatu (apapun!) vs tidur pagi. Pilihan membeli sesuatu vs tidak. Pilihan olahraga vs main sosmed. Pilihan merhatiin kelas vs nggak. Pilihan sekarang vs nanti.

Eh wait. Aku tidak bermaksud men-judge pilihan siapapun sama sekali (selain diriku sendiri), karena toh tidak selalu masalah hitam-putih, tetapi dengan hanya ingin mengajak untuk setidaknya memunculkan dalam benak kita semua sebuah kalimat tanya, “Apakah ini nafsu atau akal yang sedang berbisik?” dalam pilihan-pilihan yang mewarnai keseharian.

Nah:

Semacam pilihan serupa dilayangkan ke kepala jenuhku di tengah kepadatan akademik saat aku harus mengurus gigi bungsu yang bermasalah — empat-empatnya. Mau diselesaikan sekarang, atau nanti?

Sekarang ada ribetnya, ada lukanya, ada risikonya. Nanti pun ada ribetnya, ada lukanya, ada risikonya. Keniscayaan. Luka adalah keniscayaan.

Jadi, dengan optimasi ala-ala keilmuan industri, aku mencoba merasionalisasi titik waktu optimal yang memaksimalkan utilitas dari pilihan — dalam artian cost-benefit yang paling baik.

Tapi dengan gegayaan optimasi fafifu lalala itu ya tetep aje brow sakit pada waktunya dan maksa buat makan bubur dengan mulut bengkak dan berdarah berhari-hari hahaha. Tak apa. Kutersenyum dengan mulut bengkak itu dengan keyakinan bahwa pilihannya sudah baik. Toh jadinya tidak mengganggu UAS atau keseruan kampus lainnya dan toh tidak ditunda hingga terjadi isu lebih besar seperti geser rahang atau masalah saraf.

Dari situ aku menarik secuil validasi dari satu kaidah umum: sakit bisa diminimumkan dalam pembuatan keputusan, tapi percayalah ia akan selalu ada.

Sebetulnya, tulisan ini sebagian terinspirasi oleh sejenis post yang disenangi para boomers di sudut-sudut FaceBook dan LinkedIn (dan aku agak gengsi mengakuinya, tapi ada bagusnya juga):

Choose your hard: pilih sulitmu.

Pilih sulitmu, karena definisi sulit dan sakit dan luka itu sebetulnya sangat luas. Kita saja yang terkadang enggan mengakui, misalnya, kemalasan dan teman-temannya sebagai suatu bentuk “luka”, barangkali.

Teringat pula quotes dari Imam Syafii, “Barang siapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan.”

Yap, lagi-lagi choose your hard.

Masalahnya, seperti yang ditulis Dinta di sini, terkadang tingkat kesulitan dari pilihan itu tak sejernih itu. Kita tak selalu punya informasi atau bahan rasionalisasi yang lengkap untuk membuat pilihan optimal global — yang meminimumkan kesulitan.

Alhasil, banyak kesulitan tingkat tinggi yang kita alami secara natural bukan karena sepenuhnya lalai. Dan itu bisa dimaafkan. Dan itu bisa dijadikan pelajaran. Penting untuk menyadari hal ini agar tak menuntut pilihan sempurna dari diri sendiri setiap saat.

Tapi setidaknya kita mesti sadar bahwa tingkat kelalaian dari diri sendiri bisa tetap ditangani, agar kesulitan dan komplikasi yang tingkat serius lebih likely tidak muncul.

Hmph, pusing kan ya ngomongin pilihan dan kesulitan? Tentu, tapi nasib (dan seberapa sulitnya nasib itu) tak lain adalah akumulasi dari pilihan-pilihan.

Dan ini semua baru bicara kesulitan duniawi :)

--

--