Masjid Bilal, Lexington
Refleksi Kentucky #4
Pagi itu dingin sekali.
Bukannya aku tak terbiasa, toh Pennsylvania jauh lebih utara dan lebih dingin dari Kentucky. Tapi di Penn aku jarang sekali keluar dari bangunan ber-heater di sepertiga akhir malam. Dan angin luar pada waktu tersebut — di mana pun kita berada — memang selalu menjadi tantangannya tersendiri.
Kali ini aku bangun sepagi itu karena sudah janjian untuk shalat Shubuh bersama dua orang Indonesia — teman keluarga semasa tinggal di sini dulu kala— di masjid lokal sekaligus bermain drone dan sunrise-an bersama.
Tuk menghadapi dingin, kulengkapi “baju zirah”-ku dengan sarung tangan andalan lalu masuk ke pintu shotgun mobil. Kita pun bergegas.
Lexington amat sepi. Jika ruas jalan lebarnya tak begitu macet di siang hari, apalagi jam segitu. Sunyinya memberikan rasa ketenangan sendiri.
Meskipun dulu waktu SD aku pasti ke Masjid Bilal setidaknya sekali tiap minggu, aku tak begitu ingat jalan menuju ke sana. Padahal, dulu aku sering membayangkan stickman mungil ber-parkour ria sepanjang perjalanan di atap-atap rumah dan tiang listrik kota Lexington. Memang beberapa landmark termasuk familiar, tapi secara garis besar semua sudah terasa asing.
Dan terlintas sejenak bahwa barangkali Bandung akan seasing itu pula bagiku suatu hari. Menarik.
Tujuan kita, Masjid Bilal, terletak di bagian Timur Laut Lexington, sekitar 5 mil dari tempat tinggalku dulu: perjalanan 20-an menit.
Masjid Bilal adalah satu di antara grand total of dua masjid yang dimiliki kota Lexington. Masjid satu lagi, Limestone Mosque, adalah masjid kecil di lingkungan kampus University of Kentucky yang biasanya dipakai oleh mahasiswa muslim. Dengan begitu, kegiatannya relatif terbatas karena dalam naungan kampus. Di lain sisi, Masjid Bilal, yang independen dan lebih besar, otomatis menjadi “masjid komunitas” atau “masjid keluarga”, meski ia jauh dari pusat kota.
Iya, “jauh”. Pakai tanda petik karena bagiku dulu, rasanya 20 menit di jalan antara titik A dan titik B itu sangat lama. Dasar masa kecil Amerika. Pergi “sejauh” itu kesannya seperti memang harus menyengaja untuk suatu hal spesial. Jadi tiap kunjungan ke Masjid Bilal memang terasa spesial.
Kali ini juga begitu.
Berangkat naik mobil untuk shalat Shubuh berjamaah di satu-satunya masjid umum kota Lexington: kurang spesial gimana?
Setelah melaju beberapa lama dalam kegalapan alam Kentucky, di jalan Russell Cave Road yang sudah tak kukenal akhirnya si mobil merah berbelok ke plot tanah berisikan bangunan persegi berkubah emas. Aku tersenyum.
Semasa kecil aku belajar tajwid ke orang Palestina, nyetor hafalan Juz Amma ke orang Suriah, dan belajar sirah dari orang Bangladesh.
Rasanya gak banyak orang di sekitarku sekarang yang bisa bilang hal yang sama hohoho — tapi percayalah bahwa kalimat itu tidak sekeren itu wkwk.
Orang-orang dari berbagai bangsa ini bukan syekh-syekh, melainkan para uncle-uncle yang kurang-lebih senasib dengan keluargaku: berdiaspora dari negeri asalnya untuk mencari sesuatu (ilmu, kehidupan, keamanan?) di Amerika. Kebetulan mereka muslim dan ber-volunteer menjadi pengajar di Masjid Bilal.
Sebagai si paling masjid komunitas, Masjid Bilal menyediakan layanan pendidikan berupa Sunday School (atau terkadan Saturday School) untuk anak-anak Muslim. Ya intinya tiap weekend anak-anak mengikuti dua kelas, kelas Quran dan kelas materi, yang ditutup dengan shalat dzuhur dan makan bersama (biasanya pizza dan snack lainnya biar kami para bocah seneng).
Kedua kelas itu memiliki tingkatannya masing-masing sesuai dengan kemampuan anak (dan enaknya tak memandang usia) jadi butuh cukup banyak tenaga pengajar. Tentu saja slot-slot ini diisi oleh para bapak-ibu Muslim yang aktif di Masjid Bilal. Hebat juga, dipikir-pikir, mengingat semua ini volunteer-based. Tetapi aku mungkin bisa sedikit paham karena rasanya hidup sebagai minoritas muslim sangat meningkatkan ghirah berislam.
Orang tuaku pun ikut menjadi tenaga volunteer pengajar. Dan seperti biasa, ibuku semangat mengenalkan buku Iqra karya K.H. As’ad bin Humam kepada anak-anak. Mengingat bahwa majoritas dari anak-anak sudah sangat Americanized sepertiku dulu, belajar baca huruf-huruf Hijaiyah memang menjadi tantangan. Dan tak semua negara punya buku semacam Iqra, jadi itu menjadi modal bahan ajar yang sangat ampuh. (Bahkan para sesepuh Muslim di Amherst dulu diajar baca Alquran oleh ibuku pakai Iqra juga)
Aku dan adikku, Hanif, yang beruntungnya sudah bertahun-tahun ber-Iqra di rumah jadi tergolong cukup advanced di antara anak-anak Muslim yang Americanized itu, sehingga kami se-Kelas Quran dengan para senior-senior. “Advanced” pun hanya tajwid basic dan hafalan Juz Amma, tapinya.
Oke ini mulai ke mana-mana, sampe mana ya tadi? Yang lebih mau aku highlight di sini bukan ke arah materi yang kami pelajari, tapi komunitas yang berhasil dibangun.
Mengingat Lexington banyak dihuni oleh international students beserta keluarganya, cukup besar juga komunitas muslimnya. Tidak besar-besar amat, memang. Apalagi persenan yang aktifnya. Tapi cukup. Dan persenan yang aktif ini selalu menemukan cara untuk berjalan dengan memadai dalam keadaan terbatas. Alhamdulillah.
Selain itu, sebagai satu-satunya muslim di kelasku (di seluruh sekolah gak nyampe 20 anak muslim deh), Masjid Bilal menjadi wadah satu-satunya untuk kenal dan berteman dengan anak lain dalam bingkai kesatuan agama.
Dan memang insyallah pasti positif. Logikanya, keluarga-keluarga yang getol beraktivitas dan mengirimkan anaknya ke Sunday School Masjid Bilal adalah keluarga muslim di Lexington yang concern terhadap kondisi agama anak-anaknya. Dan otomatis yang terlibat di situ membentuk sirkel baik: pelita di tengah negeri asing.
Dan kurasa keaktifan di situ cukup menjadi tameng juga untuk masa depan si anak-anak ini: contohnya teman-temanku yang orang Bangladesh sekarang menjalani amanah penting di Muslim Student Association universitasnya.
Dari kehidupan Masjid Bilal, aku juga memetik pelajaran soal keragaman “dunia muslim” itu sendiri. Sure, aku cukup dibiasakan dengan keragaman bangsa dari SD. Tapi beda cerita ketika keragaman itu dipersatukan dengan bingkai spiritual yang sama; orang-orang dari berbagai suku dan ras, dengan berbagai warna kulit, dengan berbagai dialek sama-sama sujud ke Rabb yang sama. Pasti banyak perbedaan juga dalam cara kita berislam, toh berbeda mazhab dan sebagainya, tapi jika ketidaksepahaman sekunder dikesampingkan sesaat, ada benang merah yang amat indah.
Perasaan persatuan dalam keragaman ini teramplifikasi di acara-acara besar Masjid Bilal. Di Bulan Ramadhan, misalnya, Masjid Bilal pasti tiba-tiba ramai. Muncul the full force of komunitas muslim Lexington yang meramaikan ifthar. Tiap malam, penanggung jawab makanan bergantian. Satu malam kita bisa menikmati masakan khas Turki dan malam berikutnya bisa jadi sudah giliran subcontinent India-Pakistan. Menarik sekali.
Dan bicara soal keragaman ini dalam konteks tempat yang konon serasis Amerika membuatku teringat akan salah satu kutipan dahsyat:
America needs to understand Islam because this is the one religion that erases from its society the race problem. Throughout my travels in the Muslim world, I have met, talked to, and even eaten with people who in America would have been considered white, but the white attitude was removed from their minds by the religion of Islam. — Malcolm X
Ketika aku berjalan mengelilingi komplek Masjid Bilal setelah shalat, aku tersenyum mengingat kenangan yang ia goreskan pada kanvasku selamanya. Sekarang, dengan fasad mewahnya hasil pembangunan bertahun-tahun setelah terakhir kudatangi, aku rasa Masjid Bilal tetap berjalan ala Masjid Bilal: it always finds a way.
Dan kurasa ia akan tetap ikut menggoreskan kenangan dan fondasi yang baik bagi komunitas muslim Lexington, khususnya para bocil yang benar-benar semakin butuh fondasi dan values itu (zaman now seram boi!).
Meskipun latar belakang pendidikan agama berupa pembekalan orang tua dan uncle-uncle masjid kerap membuatku insekyur karena “gini-gini aja” (dibandingkan sobat-sobat aktipis yang uwaw-uwaw), aku tetap sangat bersyukur telah mendapatkan pengalaman berkegiatan dalamnya apalagi pengalaman mempunyai orang tua yang memilih untuk mencemplungkan keluarga ke sana. Alhamdulillah.
Ia benar-benar salah satu hal yang membuat Rakean menjadi Rakean.
Renunganku pecah ketika dipanggil dari parkiran untuk bermain drone. Bangunan baru Masjid Bilal yang rupawan sepertinya akan sangat cantik dari ketinggian. Rupanya matahari mulai terbit pula, menyinari pohon-pohon botak yang mengelilingi masjid. Udara pun tak semenusuk sebelumnya dan rasanya ada energi khas pagi yang mulai menggetarkan raga.
Aku jadi teringat akan sekian banyak pagi yang aku lewati semasa kecil di Lexington. Sistem musim Amerika yang membuat jam terang-gelap tak menentu tentu saja mengakibatkan vibes yang beda tiap musimnya. Dan aku ingat betul masa-masa November hingga Maret yang lebih banyak jam gelapnya dibanding terang — masa-masa sampai sekolah dalam keadaan dunia masih gelap. Dan vibe pagi pada masa itu paling enak untuk dihabiskan di perpustakaan.
Tapi itu cerita untuk lain waktu.
Refleksi Kentucky will be back.