Mendekati Abadi
\\ bagaimana generasi selanjutnya mengenalku?
“Dia ini persis fotokopian bapaknya, tapi wataknya persis ibunya.”
Tempatnya di rumah teman orang tua, terpisahkan 16.000 kilometer dari Bandung tercinta. Tapi takdirnya, aku yang berkunjung duluan. Menarik sekali rasanya berinteraksi dengan teman orang tua yang hanya mengenalku semasa kecil. Setelah lebih dari sepuluh tahun tak bertemu, interaksi kembali berbuah penilaian baru terhadap versi dewasaku.
Komentarnya menarik.
Bagian pertama pernyataan itu tidak kugubris— karena toh aku sudah sangat biasa dimirip-miripkan dengan Ayah. Tapi bagian kedua menempel di benak hingga sekarang. Mostly karena ada lanjutannya. “Wataknya persis ibunya: banyak omong.”
Hahah, dasar.
Saking seringnya orang memirip-miripkan aku dengan Ayah, aku terkadang bertanya-tanya apa yang kuwarisi dari Ibu. Apalagi karena secara fisik jauh dari mirip. Kebanyakan memang nonfisik, rupanya. Sama-sama riweuh dan teu daek cicing, walau aku tak seekspresif ibu.
Ibuku sering setengah bercanda mengulangi hasil penelitian yang mengatakan bahwa kecerdasan anak diwariskan dari ibu. Itu mungkin dipicu oleh pujian-pujian orang yang mengkreditkan pencapaian akademikku ke status kedosenan Ayah. Padahal, ibuku juga cemerlang: putri pesisir Pameungpeuk pandai yang pergi pelajari pelbagai pustaka di Padjadjaran.
Langgengnya pernyataan awal dalam ingatanku bukan karena aku baru sadar akan kemiripan ini (toh aku sadar diri), melainkan karena kesimpulan tersebut diambil dari interaksi perjumpaan ulang yang terbatas. Ada dua kemungkinan: sifat cerewet ibuku sekuat itu sampai-sampai diingat selama itu atau sifat cerewet aku sekuat itu sampai-sampai disimpulkan demikian dalam waktu yang singkat.
Atau keduanya. Dan kukira memang keduanya.
Ada satu buah dari kecerewetan ibuku yang sangat kuhargai: blognya. Zaman dulu, fungsi media sosial terpenuhi oleh blog. Ibu-ibu dengan semangat gaul yang tinggi membuat lamannya masing-masing dan saling berkunjung virtual setiap harinya. Entah bagaimana awalnya, ibuku rajin menulis di blognya, membentuk sebuah niche community bersama ibu-ibu diaspora Indonesia lainnya di perantauan. Teoriku adalah bahwa kebutuhan sosial-komunal khas Indonesia memang dicari oleh para ibu-ibu rantau ini. Ketika sulit terpenuhi secara nyata karena komunitas Indonesia sekitarnya terbatas, mereka menemukannya di dunia maya. Ibuku masih sangat akrab dengan teman-teman blognya sampai sekarang. Mereka baru saja reuni mumpung sedang banyak yang di Indonesia.
Ah tapi aku mulai ke mana-mana ceritanya. Dasar banyak omong.
Aku amat menghargai blog Ibu sebab melaluinya aku mendapatkan rekaman candid soal rasa dan karsanya dalam perantauan. Ada pun cerita-cerita lucu tentang si aku dan adik-adik yang kecil. Lebih dari dokumentasi visual, tulisan Ibu mengabadikan konteks dan cerita dengan lebih kaya, meskipun tulisannya disingkat-singkat dan typingan-nya informal. Tapi justru karena itu, aku bisa mendengar suaranya dan merasakan kepribadiannya dari huruf-huruf sederhana di layar.
Berbeda dengan journaling yang ditujukan untuk konsumsi pribadi (bahasan untuk lain artikel), sebuah blog memuat hal-hal yang lebih di permukaan — kadang menyelam sedikit. Dengan begitu, blog bisa dibuat lebih tailored, lebih deliberate, lebih memilih-milih dibandingkan celotehan bebas journaling. Tersisa hal-hal utama yang pada suatu saat dirasa penting untuk penulis abadikan di jaringan maya.
Aku sangat bersyukur bahwa blogspot Ibu masih bisa diakses sampai sekarang, meskipun beberapa foto sudah mulai bermasalah. Hal-hal yang dulu ibuku rasa penting untuk diceritakan di situ bisa kuakses bertahun-tahun kemudian.
Dan kurasa aku juga ingin begitu. Aku ingin punya jejak yang bisa ditelusuri nanti — oleh teman dekat atau diri masa depan atau anak-anakku kelak. Supaya mereka tahu dibalik Rakean yang entah sudah menjadi apa, ada cerita-cerita yang mengantarkannya ke sana. Ada perasaan dan pembelajaran yang berkesan.
Dan selama tuan-puan penyedia platform seperti Wordpress, Blogspot, dan Medium masih bisa mempertahankan bisnisnya, tulisan blog akan tetap tersisa di semesta virtual, mampu diakses semua orang.
Aku sering berandai soal apa yang kulakukan jika internet sudah ada sejak dahulu. Aku bisa saja membaca cerita jejak kakek-nenekku; pasti banyak hikmahnya. Tapi itu bukan rezekiku, rupanya, sehingga misterinya harus kucari sendiri. Semoga saja anak-anakku nanti masih bisa membaca tulisan neneknya tentang serba-serbi hidup di perantauan dan memetik hikmah-hikmah terbaiknya. Dan semoga juga mereka tidak geli melihat video-video kakeknya (atau juga ayahnya).
Aku ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang menemani perjalanan Mediumku di saat-saat “baru memulai” ini, yang sengaja aku tidak bagikan dulu secara luas untuk dibiar berkembang organik bagi yang tau-tau aja dan mau-mau aja. Aku takutkan diri ini akan lebih segan menulis cerita-cerita yang mencelup ke perairan personal pabila audiens terlampau terlalu besar. Karena dengan begitu, yang kuabadikan bisa menjadi berkurang nilainya.
Jadi, nantikan tulisanku tiap pekan! Aku ingin meninggalkan repositori yang kaya untuk pembaca-pembaca di masa depan, menyisakan eksistensi versi hari ini selama mungkin. Seperti kalimat awal laman About-ku:
Manusia tak abadi tapi dengan tulisan sedikit mendekati!
Hari rilis berpindah. Selamat menjalankan hari raya Jumatmu sebaik mungkin!