Mengapa “Pejalan”?
Strangers and Wayfarers
Di sekitar salah satu semacam titik hijrah kala SMA, aku tiba-tiba senang dengan nasyid Ghuraba. Entah kenapa ya — mungkin segala circumstance dari hidup aku pribadi yang banyak berpindah situasi dan lokasi membuatku terasa relate dengan konsep perjalanan dan keterasingan.
Ghuraba sendiri berarti orang asing. Lalu apa pentingnya konsep orang asing? Sesuai sebuah hadits riwayat Ahmad, “Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.”
Umat muslim mengimani bahwa kita kelak akan sampai pada Hari Esok, saat in which kita akan dipertanggungjawabkan masing-masing. Maka sebetulnya, perjalanan kita di dunia ini pun masing-masing. Namun, syaithan, jibt, dan taghut, ditambah dengan tabiat manusia, kerap mengasingkan kita dari fitrah, dari ketaatan, dan dari tujuan kita yang tak lain hanya beribadah (51:56).
Yang tak wajar dinormalisasi. Yang fitrah dibuat terasa asing.
Maka beruntunglah orang-orang yang asing: ghuraba. Dan kita akan dihisab masing-masing dengan seobjektif-objektifnya, tanpa bisa mengelak atau fintah tunjuk jari. Jadi alangkah baiknya kita ‘asing’ untuk kembali fitrah.
Aku tak ingin lancang mendefinisikan diri sebagai salah satu orang asing yang dimaksud, tetapi istilahnya meresonansi denganku — aku yang satu-satunya muslim di kelas selama TK dan SD, dan kerap menjadi ‘satu-satunya’ lainnya di dunia lainnya.
Tapi asing ini gimana maksudnya? Mungkin konsepnya lebih mudah ditangkap via sebuah hadits riwayat Bukhari yang aku sangat suka:
كن في الدنيا كأنك غريب، أو عابر سبيل
“Jadilah engkau di dunia seperti ghareeb (orang asing) atau ‘aabirussabeel (musafir).”
Di sini, orang asing disandingkan sejajar dengan musafir (atau lebih tepatnya, dari kata عابر, “sekedar orang lewat”, juga mengandung arti “sementara” atau “transient”). Toh, dunia hanya senda gurau dan permainan sementara sembari menunggu al-hayawan: kehidupan sejati (29:64).
Orang asing yang sekadar mampir ke suatu kota dalam jalan menuju tujuan tak membangun keterikatan dengan kota itu. Ia hanya berhenti sebentar, mengisi energi sejenak, dan barangkali menambah bekal — lalu pergi, unassociated and unattached dari tempat ia mampir, maupun orang-orang yang ia temui. Ia rela untuk senantiasa siap berkemas.
Mungkin orang asing ini selayaknya pejalan tol yang mengunjungi rest area atau pejalan di gurun yang menemukan oasis sederhana.
Itulah kita di dunia ini: sekadar pejalan yang mampir dari satu hari ke hari berikutnya, memetik sebaik-baik bekal dari perjalanan yang ia tempuh untuk dibawa ke tujuan sebagai persembahan pribadinya. Namun, pejalan ini tak tau pada kilometer berapa perjalanannya akan usai, sehingga bekalnya harus ia tambah dan pertahankan terus, jaga-jaga tak cukup untuk menemui sang Tuan Rumah.
Adalah ujian tersendiri untuk bisa memupuk rasa keterasingan dari ikatan-ikatan duniawi, di samping sekaligus memanfaatkan apa yang kita temui dalam perjalanan sebagai bekal. Tapi perjalanan memang mendaki lagi sukar, bukan? (90:12)
Mengumpulkan buah perjalanan
Sesuai tulisan di bioku, Medium ini menjadi salah satu tempat aku mengumpulkan buah perjalanan. Salah satu kreator YouTube favoritku, Nikhil Pandey, pernah menulis artikel newsletter tentang konsep commonplace — suatu tempat yang dijadikan otak kedua untuk memanajemen semua pengetahuan dan renungan yang kita miliki.
Aku gunakan Medium ini sebagai salah satu commonplace yang paling tertata, mengumpulkan hikmah-hikmah dari pengalaman (“buah perjalanan”) dan merangkai ide dalam kata-dan-paragraf yang dapat dicerna khalayak umum — dengan begitu aku yakin diriku sendiri bisa mencernanya kembali jika dibutuhkan.
Ialah salah satu bekalku.
Jadi ketika timbul pertanyaan,
Jawabanku sederhana, dan terangkum dengan apik dalam salah satu bait nasyid Ghuraba:
غُرَبَاء هَكَذَا الاَحْرَارُ فِي دُنْيَا العَبِيْد
Ghuraba: dengan itulah mereka merdeka dari dunia yang hina
Aku, kamu, kita, adalah pejalan. Mari kita kumpulkan buah perjalanan pribadi sebanyak-banyaknya ;)