Mengejar Asa: Catching Smoke

tulisan autokritik semi-klise tentang hal yang sebetulnya kita semua udah tau

Rakean Radya Al Barra
4 min readMay 26, 2023
Photo by Pascal Meier on Unsplash

Bermimpi.

Mengejar.

Meraih.

Lalu apa?

Rasanya kita sering lihat konten-konten motivasional tentang cerita orang yang sukses mendapatkan apa yang ia impikan. Lalu biasanya di konten macem itu, si orang sukses ini antara merasa hampa dengan pencapaian tersebut dan/atau justru bertambah keinginannya yang bikin dia sadar kalau keinginan tak ada habis-habisnya.

Lalu konten tersebut menggunakan cerita demikian untuk mendorong message utama inspirasional bahwasanya kita harus menikmati dan memanfaatkan the moment karena toh mencapai definisi kesuksesan kita tidak akan membuat kita fulfilled juga.

Dengan begitu, kita sebagai konsumen konten berkata “Oh” dan merasa good about ourselves serta tercerahkan untuk sekian detik lalu melanjutkan hidup seperti biasa saja.

Kira-kira tulisan ini akan seperti konten-konten di atas juga, sih. Jadi semoga kalau fenomena di atas terjadi, kita lebih sadar lah ya.

Photo by Alexander Grey on Unsplash

Berandai

Manusia diciptakan dengan segenap kapasitas berimajinasi dan ia malah menggunakannya untuk halu tentang impian egoisnya.

Dari mimpi seperti gaji-Swiss-hidup-Jogja hingga menikahi karakter anime, tiap orang punya jenis halu-nya sendiri. (dan tentu banyak yang lebih waras, terutama dibandingkan dengan contoh sebelumnya)

Bisa jadi ia ngeyel berkata bahwa mimpinya tentu saja ikhlas untuk suatu objektif mulia, tapi ya kalau jujur hal demikian seringkali tetap terkotori oleh debu hawa nafsu hingga menganggap setiap usaha sebagai kegiatan transaksional yang membuat sang pelaku usaha merasa berhak terhadap suatu hasil.

Akan tetapi, kalau kita sadari, halu jauh-jauh yang kita jadikan target demi suatu kepuasan (entah duniawi atau [ngakunya] spiritual) tak begitu berbeda dengan keinginan-keinginan kecil kita yang mudah terpenuhi.

Misalnya, seorang yang ngidam bakso tentu akan senang di gigitan-gigitan pertama. Tapi kemudian ia melupakan kenikmatan bakso itu, lalu beranjak ke keinginan berikutnya yang bisa jadi sama saja intensitas ngidamnya.

Perilaku ini tampak jelas sekali pada anak-anak. Dan barangkali memang sifat kekanak-kanakan ini tak lepas dari kita dalam perjalanan mengumpulkan usia.

Dan seperti anak kecil yang ribut ingin merebut suatu mainan lalu malah mengabaikannya setelah didapat, mungkin sejatinya kita tidak betul-betul menginginkan bakso itu. Yang lebih kita inginkan adalah memenuhi keinginan; merasakan kemenangan; memuaskan ego yang merasa entitled terhadap keinginan apapun.

Jadi kalau kita punya mimpi kesuksesan finansial, prestasi akademik, atau bahkan dampak sosial yang kita dambakan sebagai “akhir” dari suatu proses yang akan membuat kita akhirnya merasa puas, barangkali ketercapaian hal tersebut tidak sebenarnya kita inginkan.

Yang diinginkan adalah keterpenuhan keinginan — lalu karena keinginan adalah abadi dan tak ada habis-habisnya, pencapaian sang “akhir” tidak menghasilkan kepuasan yang didambakan dan keserakahan manusia membuatnya beranjak lagi untuk mengisi kekosongan dalam relung jiwa.

Aku pribadi telah banyak melihat konten-konten tentang cerita seperti demikian. Termasuk juga konten semi-menyindir semacam yang kuuraikan di atas. Tapi hal tersebut seringnya berhenti di tahapan pengakuan dan tidak berlanjut menjadi perubahan yang berarti, sesering apa juga aku mendengarkan quotes motivasi untuk menjadi pribadi yang ikhlas dan living in the moment.

We acknowledge that getting what we want will never be enough, yet we fail to fully internalize this and act any differently.

Pengalaman Berandai

Contoh deh.

Aku pernah halu tentang pengalaman berkuliah di US. Impian ini amat diromantisasi dalam kepala dan sering kukaitkan dengan berbagai hal positif bagi ego: senang, produktif, prestise, dan kabur dari Wakanda, contohnya.

Nyatanya, waktu aku ke sana, memang ada honeymoon phase yang amat sangat living in the moment dan senang dengan keadaan. Akan tetapi, hal-hal yang awalnya sangat berkesan perlahan menjadi biasa saja, dari perpus-perpusnya, pemandangan dari kamar, pengalaman di kelas, dan lain-lain.

Rasanya fenomena ini cukup tersampaikan dalam tulisanku yang lain.

Aku sebelumnya seringkali berandai tentang kondisi ideal sebagai prasyarat dari anganku, seolah-olah gak mungkin tercapai tanpa si kondisi ideal itu. Andaikan ada gym dekat, aku akan rajin olahraga. Andaikan aku gak punya kegiatan non-akademik yang begitu melimpah dan mengganggu, aku akan konsisten dengan segala habit. Andaikan aku kuliah di luar negeri, aku akan berakselerasi secara akademik. Andai-andai ini menjadi kambing hitam yang seolah membolehkan kekurangidealanku.

Nyatanya, ketika semua perandaian terwujud, toh aku begitu-begitu saja. Tak lagi ada alasan, tapi aku tetap saja aku.

Alih-alih menikmati setiap momennya atau memanfaatkannya sebaik mungkin, ada banyak waktu juga di mana aku terperangkap dalam keinginan akan the next thing. Jadi setelah semua itu usai, nyatanya nostalgia bersanding juga dengan penyesalan yang tak dapat diremedi karena waktu tak berulang.

Catching Smoke

Perihal mengejar asa ini seperti upaya menangkap asap dan berlari menuju fatamorgana. Asa seolah-olah depan mata tetapi menjelma menjadi wujud lain di saat kita kira kita sudah meraihnya.

Dan kesadaran akan sifat manusia yang demikian baru terasa begitu hebatnya bukan setelah kukonsumsi konten-konten yang mengadvokasi hal itu, tapi setelah kurasakan sendiri pahitnya sang asap.

Lagi-lagi, gak melulu soal asa yang besar-besar. Kita harus hati-hati saja terhadap bisikan-bisikan yang mengiming-iming diri dengan ilusi bahwa ada suatu cure-all yang dapat menyembuhkan kekecewaan kita terhadap status quo.

“Oh, aku akan bahagia setelah jalan-jalan ke Jogja.” “Oh, aku akan teraktualisasi setelah lulus kuliah.” “Oh, aku akan membuktikan kehebatan diri setelah menjadi kadiv.” “Oh, aku akan berhenti merasa hampa setelah menikah.” “Oh, aku akan puas setelah makan martabak trendy itu.”

Rupa-rupa memang.

Karena sadar, ketika aku menemukan diriku ber-halu tentang hal semacam romantisasi foreign travel atau kuliah lagi di US dan sebagainya, aku jadi teringat kembali rasanya menangkap asap. It felt good and then so what? More desires, more wacana, more wants replacing it.

Jadi dengan begitu aku menghentikan ekspektasi ‘pemenuhan’ lebay yang menempel pada asa dan halu itu.

Cukup menenangkan.

Karena sejatinya semua ‘pemenuhan’ itu akan sementara dan menghasilkan kepuasan fana. Jadi alangkah baiknya, tiap usaha digantungkan bukan ada asap dan fatamorgana, tapi pada sesuatu yang Kekal.

Good luck.

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

Responses (1)