Mengendalikan Angin
Any Way the Wind Blows? Refleksi Q1 2024.
Nenek moyangku seorang pelaut~
Aku penasaran dengan manusia pertama yang terpikirkan untuk memasang kain pada perahu, mengatur sudut-sudutnya, dan mengendalikan angin untuk bepergian jauh.
Apakah ini kejeniusan sesaat? Atau proses pengembangan produk yang panjang nan iteratif? Ataukah ini merupakan logika natural yang berkembang secara independen di tiap-tiap masyarakat perairan?
Entahlah.
Mungkin pemikiran ini muncul dari sedikit rasa iri karena rupanya di quarter ini aku terlalu membiarkan diri terbawa angin.
Any way the wind blows~
Airbending dan Refleksi Quarterly
Avatar the Last Airbender versi kartun adalah comfort show-ku — setelah menonton beberapa episode secara scattered di Nickelodeon semasa kecil, temanku Rajji menginspirasi untuk menontonnya kembali sehingga aku menjadikannya pelarian di masa-masa pelik kelas 12 SMA dan selama pandemi. Hingga kini soundtrack-nya menetap di playlist belajarku.
Waktu kecil, aku sering berpikir kalau si Aang, sang airbender (pengendali angin) terakhir, ini cukup overpowered. Ketika waterbenders dan earthbenders membutuhkan sumber fisik dari elemen mereka untuk memanfaatkannya, dan firebenders dapat dilemahkan oleh suhu dingin, airbenders ya punya udara di mana-mana dalam suplai tak terbatas.
Ia jadi representasi kebebasan — bebas menentukan arah, bebas mau serius atau mau jenaka, bebas mengendalikan angin.
(oyak, ak blm smpt nntn live-actionny mmf pls jgn spoil ap2 thx)
Semester ini di atas kertas seharusnya menjadi semester terbebasku, dengan sedikit SKS dan banyak potensi waktu berkarya. Tapi aku tak kunjung overpowered sebagaimana Akang Aang. Yang kulakukan lebih terasa seperti mengikuti saja gerak angin mau ke mana, entah itu sesuai Tujuan atau belum tentu juga.
Aku pun kurang tahu mengapa perasaannya seperti ini, karena bukannya kurang inisiatif. Ada banyak hal yang aku coba mulai, hingga ku sempat kewalahan dengan berbagai project random yang sedang kujalankan, dalam upaya mencari sesuatu. Tapi sesuatu itu tak kunjung kutemui.
Dan bukannya kurang berusaha juga. Tapi usahaku rasanya seperti mendayung keras-keras sendiri di perahu layar yang ujung-ujungnya mengikuti angin. Perairan tenang? Dayung. Badai? Dayung. Mau nabrak terumbu karang? Dayung ae. Usahanya tak betul-betul menghasilkan, ataupun memanfaatkan kebebasan yang ada. Aku belum bisa mengendalikan angin untuk membawaku ke apa yang kucari.
Tapi apa wujud dari mengendalikan angin itu? Belum kutahu juga. Kalau sudah ditemukan, tentu sudah kucoba tuk dilakukan. Tapi dugaan sementaraku adalah bahwa aku (masih) kurang sabar dalam memaknai dan mencari apa-apa saja yang ada di hamparan lautan luas ini. Dan bahwa keangkuhanku dalam menyikapi keadaan-keadaan sederhana seolah menuntut suatu hal yang profound itu semestinya dilunturkan agar perjalanan tak terasa hambar.
Ramadhan: Kalibrasi Ulang Kompas!
Dua Ramadhan lalu, asumsi-asumsiku terhadap kemampuan diri sendiri diuji dan dihempas oleh realita yang kembali membumikanku. Ternyata aku tak sejago dan sepantas yang kukira. Maka sujudlah aku dalam-dalam.
Satu Ramadhan lalu, pertama kali kurasakan kesendirian situasi yang betul-betul membekas, seolah masuk transisi usia dewasa yang belum siap aku tempuh head on. Ternyata aku tak seberani dan semandiri yang kukira. Maka sujudlah aku dalam-dalam.
Ramadhan ini aku butuh kalibrasi kompas. Agar saat aku bisa mengendalikan angin, aku tahu kebebasanku harus bisa mengarah ke milestones apa saja. Dan selayaknya dua lessons di dua Ramadhan (dan juga Ramadhan-Ramadhan sebelumnya sebetulnya) lalu, aku percaya dari Rahmat Allah akan ada satu tema besar yang belum kutemukan di Ramadhan ini yang kelak kan kucatat nanti.
Tentu komentar-komentar di sini bukan dalam artian complain atas kegiatan-kegiatan yang kulakukan bersama teman-teman. Tentu banyak keseruan dan hal bermakna juga yang kutemukan — dari project-project kecil hingga mengetuai a losing campaign wkwk, jadi aku tak ingin mendiskreditkan kalian semua yang turut membersamai. Terima kasih untuk yang mempercayai dan yang bisa dipercaya. Terima kasih untuk yang senantiasa bersedia mendengar dan yang bersedia memberi space.
Doain yah 😉