Mengkritisi Filantropi Buta

Menyikapi Penyaluran Donasi, Community Service, CSR, KKN, dan Sebagainya yang Inefektif

Rakean Radya Al Barra
7 min readNov 22, 2024
Photo by Madrosah Sunnah on Unsplash

Per tahun 2024, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut berdasarkan World Giving Index dari Charity Aid Foundation (CAF). Dengan begitu, tentunya perputaran uang untuk dunia donasi begitu kencang di negara kita. Namun, apakah penyaluran tersebut betulan efektif?

Dengan segala drama Department of Government Efficiency (DOGE) di AS maupun kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di RI — yang diantisipasi akan semakin mencekik kaum berpenghasilan menengah ke bawah — saat ini cukup mudah untuk melihat bahwa manusia cukup kritis ketika dihadapkan dengan permasalahan alokasi anggaran yang inefektif. Kita cepat protes. Dengan demikian, saya ajukan pertanyaan, “Ke manakah kekritisan itu ketika dihadapkan dengan dunia filantropi?”

Salahkah Sensasi dan Solusi Seksi?

Pada tahun 2005, lahirlah sebuah inovasi yang digadang-gadang akan mengubah hidup jutaan orang di Afrika. Dengan ekonomi yang didominasi oleh agrikultur, kehadiran air menjadi begitu penting bagi kehidupan banyak orang. Selain itu, kebutuhan air bersih di tengah iklim dan lingkungan yang tak pasti tentunya menjadi permasalahan yang menyangkut keberlangsungan hidup. Dengan latar belakang ini, tak heran apabila sebuah solusi teknologi air bersih disambut dengan meriah oleh segenap penduduk Afrika juga pegiat filantropi di seluruh dunia.

Solusinya pun begitu ceria: bayangkan sebuah pompa air yang ditenagai oleh komidi putar — menyediakan permainan bagi anak-anak yang memang kekurangan hiburan ‘layak’ sekaligus mengalirkan air bersih menuju tanki-tanki pedesaan. Namanya? PlayPump.

Begitu memikat!

Media internasional menyebutnya “revolusi air bersih”, selebriti seperti Jay-Z menggalang dana untuknya, dan tokoh dunia seperti Bill Clinton memujinya sebagai “inovasi luar biasa.” Dengan pendanaan sebesar 16,4 juta USD dan dukungan internasional, dalam waktu empat tahun, lebih dari 1.800 PlayPumps telah dipasang di seluruh Afrika.

Kekurangannya cuma satu: ia tidak efektif.

Photo by Igor Omilaev on Unsplash

Bayangkan kamu adalah anak kecil di pedesaan Afrika yang sedang mencari hiburan bersama teman-teman. Kamu tertarik untuk bermain di PlayPump bersama satu-dua orang lainnya dan sungguh asyik — untuk mungkin 10 menit. Lagian panas buanget ya kan? Kamu kemudian cepat-cepat pergi mencari pekerjaan lain untuk menghabiskan waktumu.

Sekarang, bayangkan kamu adalah orang tua anak tersebut, yang membutuhkan air untuk segala kebutuhan rumah tangga. Setelah senang melihat anakmu menghasilkan air sembari berbahagia, kamu temukan bahwa 10 menit bermainnya baru menarik sedikit saja air dari tanah. Padahal, kamu butuh air. Apa yang akan kamu lakukan? Pilihannya dua: a) Menyuruh anakmu bermain terus atau b) mendorongnya sendiri.

PlayPump ternyata tidak bekerja seperti yang dijanjikan. Anak-anak cepat lelah atau bahkan mengalami cedera karena harus terus bermain untuk memompa air — wong orang-orang desa jadi bergantung pada mereka. Selain itu, justru para wanita desa — yang sudah menghabiskan waktu berjam-jam bekerja di ladang — yang seringkali harus memutar PlayPump itu sendiri. Lebih buruk lagi, ketika pompa rusak, mekanisme kompleks yang mengaitkan pompa dengan roda komidi tak semudah itu untuk diperbaiki sendiri, sementara akses ke desa sulit sehingga layanan perbaikan tak selalu datang. Ironisnya, pompa tangan tradisional — yang lebih murah dan sederhana — sebenarnya menghasilkan lebih banyak air dengan usaha yang jauh lebih sedikit.

“Revolusi air bersih” ini akhirnya justru mengakibatkan eksploitasi anak dan overwork kaum wanita desa, serta tak menyelesaikan masalah lebih baik dari solusi existing yang sesederhana pompa tangan. Tentu saja semua pencapaian luar biasa ini berhasil terwujud karena bantuan finansial para donor.

Kali ini, bayangkan kamu adalah donor dari PlayPump. Awalnya mungkin kamu terbuai dengan ide-ide manis yang begitu ceria dari konsep PlayPump, lalu tanpa berpikir panjang men-transfer sebagian dari rezekimu untuk program yang begitu baik hati ini. Altruisme yang terasa begitu bermanfaat — hasil dari kerja kerasmu pula! Sayangnya, ternyata niat baikmu dan niat baik penyelenggara proyek PlayPump justru membuahkan sengsara. Now how do you feel about donating those hard-earned dollars? Not so good, eh?

Kegagalan PlayPump bukanlah hasil dari niat buruk. Sebaliknya, proyek ini didukung oleh orang-orang yang benar-benar ingin membantu. Ia gagal efektif ‘hanya’ karena mengabaikan kebutuhan dan masukan dari masyarakat lokal. Sayangnya, tanpa bukti empiris bahwa solusinya betul-betul bekerja sampai outcomes-nya, disertai juga dengan skema evaluasi yang matang, niat baik tersebut malah berujung pada solusi yang tidak efektif dan bahkan merugikan.

Apa yang bisa kita ambil dari kasus PlayPump?

Tentu, kita pelajari bahwa filantropi harus dilengkapi dengan pendekatan yang berbasis data, logika, dan keterlibatan langsung dengan mereka yang ingin dibantu. Tidak ada gunanya menciptakan solusi canggih atau inovatif jika pada akhirnya solusi itu tidak memenuhi kebutuhan nyata. Pun jika disikapi dengan ‘ambil hikmahnya aja’ secara santai, bagaimana pertanggungjawabannya kepada para donatur? Kerugian yang ditimbulkan menjadi pelajaran yang begitu mahal, bukan?

Kegagalan ini menunjukkan pentingnya mengajukan pertanyaan kritis: Apakah donasi kita benar-benar efektif? Apakah solusi yang ditawarkan memberikan dampak jangka panjang atau hanya memuaskan perasaan kita sesaat? Apa iya kita beramal hanya untuk perasaan baik bahwa kita telah beramal?

Sahaja Saintifik

Photo by Mea Morrowheart on Unsplash

Kita coba tengok kasus lain yang lebih optimis. Setelah berbagai ujicoba terkontrol acak pada desa kecil di Kenya, ditemukan bahwa penambahan buku referensi, kertas, maupun guru tak menambah taraf pendidikan anak-anak pedesaan secara signifikan. Apa yang berhasil? Pencegahan infeksi cacing.

Dengan pengobatan cacingan melalui pil deworming yang harganya hanya beberapa sen per anak, tingkat ketidakhadiran anak di sekolah turun hingga 25 persen — sangat signifikan. Ternyata anak-anak pedesaan ini sering absen dari sekolah bukan karena malas belajar (saja), tetapi karena tubuh mereka lemah akibat cacing parasit yang bersarang di usus mereka. Lebih dari itu, anak-anak ini tidak hanya sehat, tetapi mereka belajar lebih baik, tetap bersekolah lebih lama, dan, sepuluh tahun kemudian, mereka bahkan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibanding teman-teman mereka yang tidak menerima pengobatan.

Justru, deworming ini menjadi salah satu intervensi paling cost-effective dalam meningkatkan partisipasi pendidikan di Kenya. Secara menyeluruh, setiap anak yang diobati menambah dua pekan di sekolah. Bahkan, secara kumulatif untuk seluruh anak, setiap 100 USD yang dihabiskan untuk program ini menambahkan 10 tahun kehadiran sekolah. Kehadiran satu hari di sekolah untuk satu anak semurah lima sen (0.05 USD = ~800 IDR).

Apa bedanya dengan PlayPump di awal? Bukti empiris.

Program deworming ini menjadi salah satu contoh paling sukses dari filantropi yang berbasis bukti. Dengan investasi kecil, dampaknya sangat besar dan berjangka panjang untuk pendidikan, kesehatan, bahkan ekonomi dari komunitas pedesaan. Intervensi yang luar biasa ini hanya bisa terungkap melalui berbagai iterasi pendekatan masyarakat dan ujicoba yang didalami dari sudut pandang saintifik — bukan perasaan bersahaja semata. Justru, niat baik yang bertanggung jawab adalah niat baik yang berdasar.

Lucu, bukan? Satu pil kecil yang mengubah Kenya.

Itu yang terjadi ketika altruisme berhasil efektif. Dahsyat!

Seribu Satu Saku

Photo by Hal Gatewood on Unsplash

Ketika orang-orang yang pintar dalam berinvestasi begitu sibuk memerhatikan portofolio investasi mereka — di manakah perhatian orang-orang Indonesia yang pintar dalam kedermawanan terhadap portofolio amalnya? Dengan seribu satu saku orang lain di luar sana yang semuanya seolah-olah berteriak meminta atensi dan uang kita, apakah kita merasa cukup berhenti di niat baik saja?

Tentu, saya percaya bahwa berdonasi itu jauh lebih baik dari tidak berdonasi sama sekali, dan menahan-nahan donasi sama sekali hanya karena mencari donasi yang paling efektif adalah kebodohan. Meskipun begitu, sebagai insan akademis yang dianugerahkan rezeki akal, setidaknya kita bisa menjadi lebih bertanggung jawab dalam berniat mulia. Setidaknya, kita bisa menjadi praktisi sahaja saintifik dan altruisme efektif.

Sebagai contoh, Kuliah Kerja Nyata (KKN) seringkali menjadi program wajib bagi mahasiswa yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat. Akan tetapi, efektivitasnya patut dipertanyakan. Alih-alih hanya menghasilkan proyek-proyek seremonial seperti pembuatan gapura atau papan nama desa tanpa analisis kebutuhan yang mendalam — dan menghabiskan waktu semua orang — berbagai KKN di seluruh Indonesia bisa jadi lebih efektif. Dan bisa jadi itulah peran kita sebagai orang berhati mulia nan berakal efektif di sana.

Daripada kehadiran mahasiswa di desa menjadi sekadar beban bagi masyarakat lokal yang harus menyediakan akomodasi atau memenuhi kebutuhan logistik mereka, apalagi opportunity cost bagi mahasiswa jika mengikuti KKN dan tak menginternalisasi atau belajar apapun darinya, seorang pengelola yang baik akan bisa memangkas ketidakefektifan secara pandai dan menjadikan KKN tersebut sebuah program yang dahsyat bagi warga desa maupun pesertanya.

Bayangkan jika upaya-upaya seperti ini diskalakan untuk seribu satu saku yang kita lihat setiap kali berbelok ke masjid dan memandang papan poster. Bayangkan jika upaya-upaya yang betul-betul efektif digaungkan lebih keras lagi — ditampilkan sebagai best practices beramal. Bayangkan jika upaya-upaya ini mendesak para pengusaha untuk menyalurkan CSR yang tak sebatas formalitas hambur tanpa dampak yang nyata. Bayangkan jika upaya-upaya ini melahirkan Indonesia yang berisikan orang-orang yang tak ragu bahwa donasinya akan disalurkan dengan sebaik-baiknya dan dapat dipertanggungjawabkan kelak dengan nurani yang benar-benar bersih.

Indah bukan?

Photo by Dikaseva on Unsplash

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

Responses (1)