Menipu Diri dengan Identitas: Kasus Pola Hidup Sehat

Bagaimana Identitas Sehat Memantik Pola Hidup Sehat

Rakean Radya Al Barra
6 min readOct 27, 2023
Photo by Brian Erickson on Unsplash

Identity forms habit.

Aku sering mendengar poin ini dari berbagai content creator produktivitas, tak jarang dalam konteks kebiasaan hidup sehat.

Teorinya, apabila kita mengidentifikasikan diri sebagai orang yang menjunjung tinggi kesehatan, kita akan lebih cenderung melakukan hal-hal sehat. Makes sense, memang, secara teori. Tetapi karena iseng, aku memutuskan untuk meninjau pengalaman sendiri. Kira-kira begini simpulannya:

  1. Identitas dan aksi adalah positive feedback loop yang memberikan momentum untuk bisa sustain suatu kebiasaan.
  2. Terdapat risiko kemunculan negative feedback loop yang dapat melawan momentum sebelumnya.
  3. Kedua feedback loop dapat dibangun (dan dihilangkan) secara sedikit-demi-sedikit, jadi kita harus perhatikan the little things.

Ketiga poin ini akan kuelaborasi dalam bagian-bagian selanjutnya:

Konteks

Saat ini aku tidak begitu merasa cukup sehat. Malah, pada suatu hari UTS aku dikira sakit dan berkali-kali dikomentar oleh orang yang berbeda dengan semacam, “Kok lu kayak capek banget ya Rak?”

Rasanya sebelumnya gak segitunya deh. Jadi weh aku berspekulasi mencari-cari apa yang berubah.

Salah satunya cukup jelas. Semester lalu dan semester lalunya lagi, tiap pekan ada olahraganya setidaknya sekali, antara latihan di gym atau lari. Bahkan ada kalanya bisa selang-seling hingga tiap weekday ada olahraganya.

Kini aku malah menyalahkan kondisi Sarana Olahraga ITB yang tengah renovasi sehingga aku tidak bisa berlari, tetapi dalam hati sebetulnya aku merasa kalau pun ia dalam kondisi biasa aku masih akan jarang berlari di sana. Buktinya, terakhir aku latihan ke gym kampus (yang malah menambah jam buka dan jadi lebih aksesibel) juga entah kapan.

Jadi, semoga dengan ini aku bisa membangun suatu penipuan diri bermanfaat semacam, “Aku menulis tentang kesehatan, maka aku adalah orang sehat, maka aku harus melakukan aksi-aksi yang dilakukan oleh orang sehat, maka…”

Positive Feedback Loop

ilustrasi sederhana positive feedback loop

Pernah dengar istilah positive feedback loop?

Positive feedback loop adalah situasi di mana hasil dari reaksi tertentu menimbulkan meningkatnya intensitas reaksi tersebut. Dan seterusnya.

Contohnya adalah seekor kambing yang berlari sebagai reaksi terhadap suatu gangguan, yang menghasilkan meningkatnya tingkat panik, yang membuat lebih banyak kambing berlari, yang membuat lebih panik, yang mendorong kambing untuk berlari, yang… Dan seterusnya.

Walaupun istilah ini banyaknya digunakan dalam pemodelan sistem kompleks seperti dalam elektronika, biologi, dan meteorologi, rasanya konsep dari positive feedback loop mudah ditemukan juga pada perilaku dan pengembangan manusia. Contohnya adalah sistem insentif dalam perusahaan yang — apabila betul-betul aligned — dapat membuat seorang karyawan lebih termotivasi untuk berperforma baik, yang membuatnya berhak mendapatkan insentif, yang mendorong performa yang lebih baik lagi, dan seterusnya hingga suatu batas tertentu yang mana efeknya jadi marginal.

Jadi kalau kembali ke contoh kita tentang kesehatan, aku mau coba cerita tentang positive feedback loop dalam “perilaku sehat” yang sepengalamanku lumayan berhasil membangun semacam pola hidup sehat.

Kira-kira begini:

ms paint paling profesional emg

“Perilaku sehat” akan membentuk “identitas sehat”, yang mendorong lebih banyak perilaku sehat, yang semakin menguatkan identitas sehat, yang… Dan seterusnya.

Perilaku sehat yang dimaksud di sini rasanya cukup luas, tak terbatas pada hal-hal yang langsung identik dengan kesehatan olahraga kardio, latihan beban, memerhatikan apa saja yang dimakan, mengatur pola tidur, hingga berpuasa rutin, tetapi juga perilaku seperti mengonsumsi konten tentang kesehatan, membeli aksesoris penunjang olahraga, hingga memulai pembicaraan di lingkaran pertemanan tentang wacana lari. Ialah apapun yang sekiranya berhubungan dengan kesehatan dan menjadikannya lebih prominen dalam kepala.

Dengan adanya suatu perilaku sehat (hal tangible), akan terbangun identitas sehat (hal abstrak). Dan manusia cenderung sadar tidak sadar membuat keputusan dan bertindak secara konsisten dengan identitas yang mereka punya.

Contohnya aku rasakan saat lumayan intens mulai berolahraga. Jadwal lari-gym-lari yang kupaksakan menekankan tiap harinya bahwa aku adalah orang yang mau sehat dan menjaga tubuh. Dan pada saat itu, entah kenapa, aku sadari bahwa jajan junk food dan minuman manis-manis menjadi tidak menarik lagi. Aku pun jadi jarang sekali begadang. Waktu itu, secara fundamental, aku telah membangun ‘identitas sehat’ sehingga dengan sendirinya jadi enggan melanggar identitas sendiri.

Dan karena perilaku sehat ini luas, barrier untuk memulai positive feedback loop seharusnya tidak begitu tinggi. Hal sesepele membeli baju olahraga lalu memakainya di akhir pekan adalah perilaku yang mengisyaratkan pada diri sendiri bahwa “saya memakai baju ini, maka saya adalah orang yang mau sehat” yang mendorong “lalu tentu saja karena saya adalah orang sehat, saya akan berjalan di CFD ketimbang malas-malasan”. Dan seterusnya.

Kerennya, ia dapat meningkat hingga identitas sehat lebih kuat (dengan efek badan semakin bugar dan segala benefit lain tentunya) dan perilaku sehat lebih beragam.

Negative Feedback Loop

Tentu bisa ada kebalikan dari positive feedback loop yaitu negative feedback loop, suatu lingkaran setan yang semakin lama semakin mengerdilkan.

contoh negative feedback loop (mungkin tepatnya proporsi, bukan #)

Dan inilah yang dapat mematahkan momentum dari positive feedback loop perilaku-identitas yang amat potensial itu. Ini juga mungkin alasan mengapa aku kembali jajan gorengan dan rajin begadang (di samping kehidupan ITB yang mendorong perilaku jajan gorengan berkedok healing dan rajin begadang berkedok belajar/nugas).

Contoh dari negative feedback loop dalam konteks kesehatan ini adalah relasi antara setback dan motivasi. Perfeksionisme yang menuntut rutinitas terjalani sempurna, beban bench press meningkat, pace semakin kecil, dan sebagainya mengakibatkan demotivasi ketika ekspektasi performa diri tak tercapai. Tentu turunnya motivasi menjadikan performa berkurang sehingga jumlah setback semakin meningkat — dan seterusnya.

Contoh lain yang sedikit berbeda adalah negative feedback loop antara intensitas olahraga dan kegiatan olahraga. Pada titik tertentu, meningkatkan intensitas olahraga justru akan membuat terlalu lelah atau terlalu demotivasi untuk melakukan kegiatan olahraga. Lalu ketika kegiatan olahraga menurun, sang pejuang kesehatan malah merasa bersalah dan overcompensate dengan meningkatkan intensitas olahraganya. Misalnya, setelah aku memaksa diri lari subuh-subuh di suhu belasan, aku kapok dan jadi jarang lari, yang mengakibatkan sekalinya aku lari merasa harus bagus pace-nya atau pun distance-nya, yang mengakibatkan aku makin kapok, dan seterusnya.

Dengan elaborasi di atas, jadi jelas bahwa feedback loop ini bisa dua arah, dan biasanya baru lumayan teridentifikasi setelah terbiasa dengan perilaku diri sendiri.

The Little Things

Bagai batu besar di atas bukit, memulai suatu feedback loop — entah positif atau negatif — sebetulnya cukup dengan dorongan kecil; bergelindinglah si batu besar!

Jadi saranku (untuk diri sendiri mostly) adalah untuk mengabaikan gengsi dan dorongan untuk harus melangkah dengan bombastis — terlalu perfek atau terlalu intens — karena hal sekecil naik tangga instead of naik lift pun dapat menjadi reaksi awal yang membangun loop identitas-perilaku-identitas sehat. Dan sebaliknya, kita harus waspada karena hal sekecil menunda tidur satu jam juga dapat memulai efek aksi-reaksi yang besar.

Rasanya aku tak perlu mengelaborasi panjang lebar suatu uraian motivatif berisi manfaat-manfaat dari pola hidup sehat dan sebagainya karena ya — deep down we all know that staying healthy is important. Lagipula merawat diri adalah cerminan tanggung jawab terhadap nikmat yang telah diberi. So if you respect yourself enough, itu pun seharusnya cukup menjadi alasan untuk memulai setidaknya mengkonsiderasi pola hidup yang lebih sehat.

Kata kuncinya lebih, bukan sempurna. Mulai dari the little things. Dan kalau konsistensinya naik-turun berepisode-episode secara menyebalkan layaknya diriku, tinggal dimulai lagi. Seru kan? :)

There’s a lot of dark in this world right now, so at the very least make sure you’re fully appreciating all that you have been given, especially your health.

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.

(HR Muslim no. 2739)

Rakean Radya Al Barra is not a health professional or practitioner and takes no responsibility for any possible outcomes that may be influenced by this article.

--

--