Menjinakkan Waktu

Inertia and Anchors — Edisi Merebut Kembali Waktu Libur Panjang

Rakean Radya Al Barra
6 min readJun 2, 2023
Photo by Eric Rothermel on Unsplash

Liburan tiba! (buat sebagian orang)

Akibatnya, pekan di Google Calendar kehilangan warna-warni rutinnya dan artinya diri ini rentan kehilangan stabilitasnya.

Loh, bukannya liburan emang waktunya ga ngapa-ngapain? Jadi emang gak harus stabil dong?

Well, terserah sih. Kalo definisi ga ngapa-ngapain-nya mengindikasikan hal menyenangkan seperti berleha, mencari keseruan, dan ka ditu ka dieu ya setuju juga.

Aku pun berencana kok untuk banyak berleha, mencari keseruan, dan ka ditu ka dieu yang kurang memungkinkan sambil kuliah kemarin. Tapi, menurutku sebaiknya itu memang terpetakan secara mindful alih-alih menghabiskan harinya tanpa tujuan dengan tenggelam dalam Reels, Shorts, dan kawan-kawannya. Makanya bagi aku stabilitas menjadi penting.

Lagipula aku adalah tipe orang yang malah jenuh dan putus asa kalau gak benar-benar ‘melakukan sesuatu’. Melalui musim UAS belakangan ini, aku merasa masih kurang ideal dalam penggunaan waktu. Dan aku menolak itu terjadi kembali di masa-masa pasca-UAS ini yang hari-harinya rentan lewat begitu saja.

Jadi tulisan ini adalah ajakan kepada diri sendiri (dan teman-teman sebagai side effect) untuk sing baleg maneh teh Rak gelooo.

Yah, terima kasih telah menemani.

Inersia: Newton’s First Law

Siapa yang masih ingat hukum Newton pertama?

Bunyinya (yang tentu kucuri dari search di Gugel):

“Jika resultan gaya pada suatu benda sama dengan nol, maka benda yang diam akan tetap diam, dan benda yang bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan tetap selama tidak ada gaya eksternal yang mengenainya.”

Terlepas dari konteks fisikanya, intinya adalah bahwa yang diam cenderung diam dan yang bergerak cenderung terus bergerak tanpa ada gaya luar yang ikut campur. Fenomena ini punya nama: inersia.

Dan di dunia produktivitas orang-orang suka mengaitkan fenomena inersia ini dengan aksi-aksi yang kita lakukan.

Berhubungan dengan fenomena inersia ini, aku jadi ingat satu hikmah yang lucunya aku peroleh dari mahasiswa jurusan fisika (very fitting!).

Sebagai konteks, aku punya satu accountability group berisi beberapa manusia mantan-kepanitiaan-Ramadhan-dan-Idul-Adha untuk saling mengingatkan dalam beramal, biar setelah Ramadhan-nya bisa tetep la’allakum tattaquun (aamiin).

Di sela-sela konten utama grup berupa saling mengirim video konspirasi dan memes semi-faedah, terkadang kita juga sharing soal kiat-kiat dalam beramal. Salah satunya berkaitan dengan rutinitas membaca Al-Quran.

Pada suatu hari sang syekh Yassir nyeletuk:

gapapa di-up ya brosir, inspiratif 👍🏼

Dari situ aku jadi ngeh suatu hal.

Dipikir-pikir, ada ketimpangan yang jauh sekali antara hari-hari yang terasa lumayan bisa achieve dengan hari-hari lainnya.

Buat aku pribadi, semisal dibuat spektrum pencapaian harian untuk hari-hari yang relatif “kanvas kosong” belakangan ini, ia akan cenderung padat ke kedua ekstrim: antara banyak yang tercapai atau sebaliknya.

Masuknya aku ke action mode membuat suatu kecenderungan bergerak secara terus-menerus pada hari tertentu. Dan masuknya aku ke lazy mode membuat satu hari penuh itu kurang optimal. Bisa nyempet-nyempetin buanyakk hal ke hari yang penuh, dan sebaliknya. Terdengar paradoksikal tapi lagi-lagi itu fenomena inersia.

Benda bergerak cenderung terus bergerak tanpa ada gaya eksternal yang mengenainya. Seperti kasus Yassir yang justru lebih mudah bertransisi dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya (dan alhasil bisa baca sejuz dalam sehari) ketimbang hari-hari yang kurang begitu jelas kegiatannya apa.

Jadinya aku terpikirkan seandainya tidak ada kesibukan eksternal yang memaksa action mode ini bermain, mesti ada urgensi yang direkayasa di tingkat diri sendiri supaya cenderung bergerak — dan terus bergerak, di hari itu. Dengan begitu, jadi mudah untuk bertransisi ke pekerjaan selanjutnya.

Bergerak ini pun tak harus sesuatu yang persepsinya sipalingproduktif macam membaca buku, menemukan obat kanker, diterima di Harvard Business School, atau menyelamatkan hewan terancam punah di pedalaman Kamboja seperti nax produktif di luar sana. Tapi yaa, hal menyenangkan macam menjadwalkan pertemuan dengan teman lama atau menyiapkan solo-trip asik pun termasuk ‘bergerak’.

Tinggal di-ide-kan dan di-plotting-kan dengan baik supaya harinya bisa dinikmati dengan semaksimal mungkin. Ini juga demi menghindari paralysis akibat terlalu banyak hal yang harus digarap sehingga memutuskan untuk kabur dari semuanya dan ga ngapa-ngapain yang bener-bener kurang mindful seharian.

(Merekayasa kesibukan juga membuat ruang dan waktu terlalu sesak untuk overthinking ke mana-mana jadi memang sangat recommended ygy 👍🏼)

Anchors

Selain konsep inersia, ada juga konsep anchors atau jangkar.

Mungkin salah satu faktor kesuksesan tilawah brader Yassir pada hari itu adalah adanya banyak hal yang dilakukan sehingga punya patokan untuk berkegiatan.

Punya bayangan kegiatan rapat dari pukul 14.00–15.00, misalnya, akan memudahkan untuk kita menjadwalkan hal lain in relation to kegiatan tersebut. Jadi kapanpun pada hari itu, bisa kebayang bahwa “oh aku ada latihan skateboarding sebelum rapat” dan “oh aku ada shalat ashar sekalian mau baca Surat Al-Kahfi abis rapat”.

Hubungan relasional antara kegiatan-kegiatan membuat kita jadi jauh lebih gampang untuk mengingat dan benar-benar mengerjakan kesemua kegiatan itu.

Jika sejak awal hari sudah terpetakan dengan baik (dan masuk akal alokasi waktunya), maka bayangan soal bakal ngapain aja hari ini akan cukup tergambarkan.

Harinya jadi lebih stabil dan ada perasaan sentilan disipliner di kepala yang mengingatkan “oh harusnya abis hal A ini, aku bakal ngelakuin hal B itu” ketimbang menyerahkan segalanya pada nafsu yang moody-an dan mager parah. Tanpa bayangan kegiatan secara menyeluruh dan saling-terikat-dalam-waktu, kita berisiko masuk ke fase limbo yang gak jelas dan rentan tidak mulai wacana harian kita sama sekali tanpa ada trigger-nya.

Kurang mindful lah ya.

Dan kalau begitu apa bedanya dengan waktu berharga (liburan) kita dicuri?

Untuk itu, time blocking menjadi metode yang efektif untuk memastikan semua wacana yang kita punya punya alokasi waktunya dan secara visual bisa terlihat ia ditaruh di mana in relation to semua kegiatan lainnya. Semua kegiatan menjadi jangkar untuk kegiatan yang lain.

Rasanya, sih, aku masih perlu banyak iterasi dan evaluasi di sini karena terlalu underestimate waktu yang aku habiskan untuk berbagai hal dan jadinya sering merusak jadwal diri sendiri.

Nulis, misalnya, suka overtime banget tanpa disadari hahaha.

Also, buat kita-kita yang muslim, kita sangat beruntung punya rutinitas atau daily ritual berupa shalat (minimal) lima kali sehari. Ia menjadi jangkar yang sangat ampuh untuk men-structure keseharian, terutama di Indonesia-sang-negara-khatulistiwa yang waktu shalatnya relatif sama terus. Untuk yang menjalankannya, shalat menjadi kepastian absolut pada tiap hari.

[Penggunaan shalat sebagai contoh di tulisan ini tentu saja tanpa maksud merendahkan shalat menjadi sekadar tools produktivitas dan mindfulness (karena shalat ya ibadah wajib woi!), dan lebih ke arah mau menunjukkan suatu manfaat/faedah dari shalat yang insyallah bisa bantu meningkatkan experience shalat itu sendiri menjadi lebih dari sekadar ceklisan harian tapi betul-betul suatu hadiah dari Allah.]

With all that said, kesimpulannya adalah bahwa dengan sedikit menyempatkan waktu untuk menjadi “pilot” atau perencana bagi diri sendiri di hari-hari esok, harapannya liburan ini bisa diisi secara lebih bermakna dan lebih deliberate.

“Produktif” atau tidak, intinya, aku maunya aku yang memilih ke manakah waktuku dihabiskan, bukan si algoritma nyebelin yang bikin bertanya-tanya kenapa ngabisin waktu segitu banyak buat nontonin kucing.

Semoga liburanmu sesuai harapan~

--

--