Menyerahkan; Bukan Menyerah
Bukankah Kita Percaya Pada Pilot Sewaktu Terbang?
Ternyata ya, Rak, hal yang paling sulit untuk diserahkan itu kendali, ya?
Kita akan bahas 3K: Kemarin, Khusyuk, dan Kendali.
Sebagaimana pagi kita setiap harinya, kita akan mulai dari kemarin.
Kemarin
Kemarin. Terlintas kesudahan. Kekurangan. Sesal.
Lalu, ternyata kupelajari bahwa ia adalah tamu, dan tamu sebaiknya tak berlama-lama.
Akhir-akhir ini, aku kesulitan untuk tidur. Padahal, selaras dengan komentar nenekku yang baru bertemu pagi tadi, aku terlihat sedang senang-senang saja. Bahkan terlihat begitu oleh diri sendiri. Pekerjaan nyaman. Sampingan jalan. Weekend selalu berkegiatan. Hubungan-hubungan terpelihara baik. Tak ada alasan untuk resah-yang-membuat-tidak-tidur.
Awalnya, pola tidur ini tak begitu berpengaruh. Aku hanya berbaring lebih lama, tidur lebih sedikit, dan membiarkan hari berlanjut.
Lama-kelamaan, hari mulai melesu. Kondisi ini mulai nakal — mencuri jam istirahatku untuk sesi menutup mata di balkon kantor. Atau melanggar sejam-dua jam dari rutinitas pagiku. Dunia seperti baru meleleh, dan aku sedang susah-payah mendorong kaki satu demi satu dalam cairan panas kentalnya.
Atau tubuhku yang menjadi baru?
Dengan tubuhku yang baru, matahari terasa lebih ganas dari biasanya. Begitu pula klakson para pengendara. Badan berat dan remuk meski perjalanan pulang sore hari biasanya ringan saja.
Hari kucoba akhiri dengan cepat. Namun, pukul 21 punya kebiasaan buruk untuk menjelma menjadi pukul 00 atau lebih.
Dan dalam sela waktu itu kubiarkan tetamu itu menyerbu.
Dan dalam sela waktu itu kubiarkan tetamu itu menyerbu.
Dan dalam sela waktu itu kubiarkan tetamu itu menyerbu.
Dua orang tamu paling rajin adalah kemarin dan esok. Aku yang tersenyum baik-baik saja di siang hari — walau dunia meleleh — menjadi banyak ber-ramah tamah dengan keduanya saat kuberbaring di ruang kost. Apakah aku tidak bisa tidur karena kedatangannya? Ataukah kedatangannya adalah buah dari tak bisa tidur?
Chicken or egg? Insomnia or thinking sprees?
Paradoks yang tak bisa kujawab.
Bagaimanapun, ia terjadi.
Rupanya, esok adalah tamu yang lebih labil. Terkadang aku tertawa bersamanya. Terkadang ia menusuk-nusuk.
Kemarin lebih bisa diandalkan — untuk datang dan mencubit perlahan. Lama dan mengganggu.
Lama dan menggangu.
Bagaimanapun, aku tak bisa mengubahnya.
Justru, di lantai rumah Om, setelah lewat Arafah, di letihnya mudik — mereka pergi. Mengapa bisa, ya?
Khusyuk
Khusyuk. Terlintas kekhidmatan. Kebulatan. Kerendahan hati.
Lalu, ternyata kupelajari bahwa hakikat dari khusyuk justru adalah sunyi.
Silence.
Titik beratnya, ia bukan hanya sunyi luar, melainkan juga sunyi dalam.
Bibir tak bergerak bukan pertanda pikir tak bergerak. Maka khusyuk adalah peredaan keduanya.
Oh ini yang aku butuh.
Maka kudoakan lagi dan lagi untuk khusyuk, setidaknya dalam ritual sehari lima kali. Dan jika boleh lebih, dalam jam-jam kalut dalam baring.
Ternyata, tak semudah itu. Harus ada pendorong agar bisa mencapai sunyi. Ialah khashyah dan khudu’. Awe and submission.
Awe yang tak hanya membuat bibir speechless — pikir juga.
Submission yang tak hanya tunduk di jalan maslahat— menghindar dari jalan tak manfaat juga.
Keduanya ialah buah dari iman terhadap yang paling Akbar.
Kendali
Kendali. Terlintas kepastian. Keamanan. Kenyamanan.
Lalu, ternyata kupelajari bahwa kendali ialah ilusi kesombongan diri.
Itulah tema Dzulqa’dah dan Dzulhijjah-ku: soal menyerahkan dan bukan menyerah; memasrahkan dan bukan pasrah.
Bagai penumpang taat yang memasang sabuk pengaman, aku memasang percayaku pada sang Pilot.
Jika kutilik lebih dalam, bulan-bulan ini sarat dengan titik pivot. Mei bulan membangun, Juni bulan penentu. Mungkin dibalik kesenangan wajahku yang nenekku komentari, terdapat beban-beban resah yang membakar pelan. Mungkin dibalik tamu-tamu malam dan jam panjang yang tak kunjung diisi tidur, terlintas kepercayaan diri untuk menata beban-beban itu. Mungkin juga dibalik setiap gerak dan keringat, terdapat asumsi bahwa aku membangun misiku dengan tanganku.
Lalu, Tuhanku menunjukkan bahwa tanganku memang tidak sanggup.
Lalu, Tuhanku menunjukkan bahwa anganku memang bukan kepunyaan.
Di hari-hari ini, yang sejatinya kusembelih adalah aku.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaa ha ilallah. Huwa Allahu Akbar.
Hari Raya sejatinya membantu kita merayakan pemilik kerayaan.
Selamat Idul Adha dan Hari-Hari Tasyrik!
// tulisan telat karena mudik //