My American “Grandmother”
Bukan, aku bukan keturunan Amerika.
Meski begitu, aku punya seorang nenek di Amerika— atau setidaknya seorang sosok nenek. Beliau bisa berbahasa Indonesia dan paham kalau diskusi tentang Jakarta dan Bandung, tetapi di sisi lain berkulit putih dan berdomisili di Massachusetts.
Dan pada November tahun lalu, ialah alasan utamaku untuk menjelajah jauh ke kota kecil di mana aku dibesarkan.
Sedikit konteks suasana latar:
Singkat cerita, hari ini aku kembali menginjakkan kaki di Amherst, Massachusetts. Amherst adalah kota kecil di entah berantah yang atraksi utamanya kampus (aja). Arsitekturnya simpel dan ‘Amerika banget’, diiringi oleh lapangan rumput rapi dan pepohonan asri. Amherst didekorasi dengan downtown sederhana yang begitu manis dan dipenuhi berbagai atraksi lokal, ditemani pegunungan Holyoke yang menyapa dari kejauhan dengan ramah. Tentu semuanya tambah indah dengan sentuhan merah-kuning-jingga-nya musim gugur. Coba cari deh di internet, pasti keliatan betapa tentramnya kota ini.
Pilihan waktuku untuk berkunjung ke Amherst nyaris sempurna. Suhunya lagi ‘panas’ di sekitar 18–19 derajat Celsius jadi kalau keluar ga harus pake jaket. Matahari ga begitu terik karena hari ini para awan rupanya sedang ingin bermain di langit tapi sedang tidak seiseng itu untuk membuatnya mendung. Cuaca jalan-jalan-able pisan.
Aku bilang nyaris sempurna karena beberapa minggu lalu rupanya fall foliage sedang pada puncak keindahannya. Merah, kuning, dan jingganya mekar dan mencolok, penuh dengan spirit khas Amerika bagian Northeast. Tapi kali ini si tiga warna itu (sekarang ditambah cokelat) sudah runtuh kekuasaannya dan tersisa jadi mayat-mayat di tanah. Meskipun begitu, aku rasa daun berserakan ada indahnya juga. Walau pohon tinggal batang-ranting yang telanjang, sekarang giliran rumput untuk menjadi modis. Daun-daun ini memberi warna pada seluruh sudut Amherst.
Selain segala hal yang aku sebut di atas, Amherst juga adalah kota yang pernah kusinggahi selama dua tahun. Waktu itu, Ayah memutuskan untuk kuliah lagi dan membawa keluarga ke luar negeri. Dan Amherst menajdi kota pertama yang jadi rumahku di Amerika. Jadi bisa dibilang kunjunganku ini semacam pulang kampung.
Aku mengetik deskripsi di atas pada suatu malam di awal November 2022 dari atas sofa (tempat tidurku) sebuah keluarga Indonesia yang menetap di Amherst. Aku rasa uraian tersebut cukup merepresentasikan suasana yang kujumpai.
Pada hari kedua (dan terakhirku) di sana, alam tak begitu berubah. Perjalanan dari tepian kota ke tujuan kita hari itu pun jadi menyenangkan karena melintasi hutan penuh daun gugur — suatu pemandangan yang penuh nuansa nostalgia melankolis, yang aku amat sangat suka. Hari itu, tujuanku adalah sebuah assisted living facility.
Atau kasarnya, panti jompo.
Di situ nenek Amerikaku berada.
Aku pun mengabari Ibu, jauh di Bandung, yang memintaku untuk terus berkabar mengenai pertemuanku dengan Mickey — begitu kami memanggilnya.
Sebetulnya pertemuan pertamanya dengan keluargaku agak lucu karena betul-betul random dan ‘ibuku banget’. Singkat cerita, pada saat sedang belanja groceries di supermarket Big Y, ibuku juga sedang ngobrol dengan si kami menggunakan bahasa Sunda. Memang, you can take the girl out of Garut, but you can’t take the Garut out of the girl. Di Amerika sekalipun, kami tetap bersunda ria.
Lucunya, ternyata, karena wajahnya familiar tapi bahasanya tidak familiar, kami dikira orang Malaysia oleh seorang wanita bule tua.
“Are you from Malaysia?”
“No… I’m from Indonesia.”
“Oya senang sekali berjumpa dengan Anda, di mana Indonesianya?”
“Bandung.”
“Wah saya sering ke Bandung...”
Dan begitulah awal cerita dengan Mickey, yang ternyata bersama suaminya (seorang dosen MIT dan Amherst College yang objek penelitiannya pernah di Indonesia) pernah tinggal cukup lama di Indonesia — bahkan anaknya pun disekolahkan di sekolah internasional ternama di Jakarta. Mereka menjadi cukup dekat dengan keluarga kami selama masih tinggal di Amerika, dan bahkan menyengaja untuk visit beberapa kali jauh-jauh ke Kentucky saat kami sudah tidak tinggal di Amherst.
Karena terpisah jauh dengan keluarga besar di Indonesia, Mickey benar-benar menjiwai perannya sebagai tokoh nenek bagi aku dan adik-adik. Terkadang kami dititipkan kepadanya, diajak jalan-jalan olehnya ke berbagai museum dan taman, diberi macam-macam hadiah olehnya yang selalu dirasa kebanyakan oleh ibuku, dan sebagainya.
Aku menjadi teringat akan memori-memori menyenangkan ini di perjalanan, tersenyum karena itu semua bisa mulai dari pertemuan random dan nyerocos bahasa Sunda di Big Y. Dengan puitis, assisted living facility yang sekarang kutuju juga ternyata sangat dekat dengan Big Y.
Seolah I’ve come full circle.
Akhirnya, aku di-drop di depan assisted living facility itu dan kuberanjak masuk hanya bermodalkan nama Mickey. Ternyata, tanpa janjian pertemuan, aku bisa cukup berlidah manis dan terlihat legit untuk mendapatkan letak kamarnya dari receptionist.
Lalu… phew, here we go!
Kamarnya kecil dan sederhana. Sekumpulan obat dan kosmetik memenuhi meja. Berbagai kenangan berupa foto dan dekorasi-dekorasi bernuansa Indonesia tertumpuk di sudut. Duduklah sang penghuni di kursi empuk bersama kucing hitam-putih.
/…/
“Ohhh you’re Raka, my boy! My baby boy! I used to hold ya, ohhh! How is Lia?”
Begitu reaksinya setelah aku menemuinya dan menyebut nama ibuku. Wajahnya menyala, tiba-tiba teringat berjuta-juta momen masa lampau. Ia pun menawarkanku ginger ale di kulkas sembari mengelus kucing setianya. Kami bicara tentang berbagai kejadian dulu, tapi juga tentang rencana-rencana masa depan.
“Well, we have to get you back here to Amherst!”
Aku bercanda bahwasanya aku ingin menyusul suaminya menjadi orang besar MIT, dan ia pun tertawa, mengakui bahwa itu cukup lofty, tapi bisa dicoba. Instead of MIT, Mickey seakan-akan sangat menginginkanku untuk kembali ke UMass sebagaimana ayahku dulu. Seharusnya aku minimal bisa mengikuti jejak-jejaknya, katanya.
Ia lalu berbicara mengenai perjalanannya sendiri, juga suami dan anak-anaknya, beserta detail-detail mengenai keberadaan mereka setelah suaminya meninggal. Akan tetapi, di sela-sela pembicaraan, fokusnya hilang dan tertuju pada entah apa.
Lalu tiba-tiba ia menatapku kembali dan mengulangi, “Ohhh you’re Raka, my boy! My baby boy! How is Lia?”
Ternyata Mickey sudah pikun.
Siklus ini berulang beberapa kali, dan kita membahas hal yang sama seolah tidak baru saja dibicarakan hanya sekian menit yang lalu. Yang tidak hilang darinya itu kesannya yang begitu mendalam terhadap keluargaku, khususnya ibuku. Ternyata kesan itu membekas.
Berhubungan dengan itu, aku pun sempat video call dengan ibuku, sehingga keluarga di Bandung ikut menyapa, walau sepertinya segala kondisi pendengaran dan ingatan membuat kurang memungkinkan untuk betul-betul ada pembicaraan yang berarti antara Mickey dengan mereka di sana. Tapi tentu saja kami senang.
Tak lama kemudian, anaknya pun datang — visit rutin untuk memastikan semua baik-baik saja. Ia menjelaskan bahwa kondisi ingatan Mickey memang memburuk, tetapi akibat itu, setiap kali mereka berkendara dan melewati Big Y, ia pasti menceritakan pertemuan dengan seorang Lia beserta keluarganya yang bermula di Big Y.
“Thanks for coming all the way here, by the way. She’s gonna talk about your visit to everyone for some time.”
Aku tersenyum. Ingatan bisa hilang, tapi sejarah tetaplah sejarah — ia pernah terjadi dan berkesan hingga membekas. Dan bukankah itu cukup berarti?