Nge-Deadline di Princeton University

Catatan Perjalanan Penyelesaian Final Paper

Rakean Radya Al Barra
10 min readMay 12, 2023

Pernah gak sih males-malesan sepagian karena malam sebelumnya ngejar deadline? Terus pernah gak kehilangan energi karena hari sebelumnya baru pulang dari luar kota? Oh, dan pernah gak nunda-nunda tugas besar sampe hari-hari terakhir menjelang batas pengumpulannya?

Sayangnya, tanggal 21 Desember 2022 aku ngalamin ketiganya. Dan solusinya malah ngelibatin jalan-jalan impulsif ke kampus orang 👍🏼

Sayangnya, foto-foto “bagus” + vlog-nya ilang semua bersama SD card :(, jadi media pendukungnya seadanya aja yak.

// Reminded of this journey by masa-masa UAS-pasca-lebaran sekarang, so buat nax ITB yang lagi baca ini, consider this a reminder to straighten out everythin’ hehe //

Pagi itu aku lagi jenuh-jenuhnya.

Semenjak perkuliahan berakhir, situasinya jadi menarik: cuma tersisa ujian, tugas besar, dan hari-hari winter singkat antara kita dengan kepulangan kita ke Indonesia.

Muncul dilema-dilema soal apa yang harus dilakuin di hari-hari akhir ini. Belajar dan ujian yang bener? Niat ngerjain tugas-tugas besar? Jalan-jalan di sudut-sudut Philly yang belum dieksplorasi? Jalan-jalan keluar Philly? After all, rasanya ada ratusan wacana yang masih belum sampai.

Kita para awardee gak jarang diskusi tentang wacana trip terakhir ke New York City — yang dengan segala atraksinya plus jarak yang cuman 2 jam dari Philly emang menjadikannya lokasi trip akhir-akhir yang cocok. Sayangnya, ini susah banget dijadwalin karena jadwal ujian dan deadline kelas-kelas kita beda-beda. Aku yang waktu itu masih punya urusan administrasi di Konsulat Jenderal memang kebetulan harus sekali lagi ke Nyuyok, sih, tapi harus weekday. Otomatis jadi susah dijadwalin karena weekday-weekday semua orang kurang-lebih udah dedicated untuk hal lain.

last trip to stinky nyc

Ujungnya, aku berangkat ke NYC berdua sama Brahm di hari Selasa, yang mungkin bakal diceritain di tulisan lain. Padahal, malem itu juga aku ada deadline ujian essay take-home yang susahnya minta ampun dan poin-poin yang aku mau bawain rasanya selalu ga kunjung satisfying.

Jadi abis litereli puluhan ribu langkah hepi-hepi (+ urusan birokrasi negara 🤝🏼), ujungnya tetep begadang bergelut depan layar dengan puluhan dilema antara tombol backspace dan “yaudalaya” sampai terpaksa harus lumayan pede buat submit karena udah menit-menit terakhir.

Lalu aku tidur, bersyukur karena Fajr waktu winter ada di sekitar jam 6 pagi, tapi ga begitu nyenyak barangkali karena masih ada final paper mata kuliah satunya lagi yang jauh lebih ga beres.

Sebagai mahasiswa Manajemen Rekayasa, aku kan “anak teknik” ya. Kalo ngga pun agak bisa ngaku “anak bisnis”. Beda jauh sama mata kuliah Modern Political Thought yang aku ambil di Penn, yang ngeharusin aku ngasah cara berpikir dan cara belajar yang berseberangan sama segala kepastian saintifik engineering. Bobot nilai final paper-nya juga gede, buanget.

Sayangnya, tinggal tiga hari lagi buat ngerjain dan kerangkanya baru ada di otak. Eh, ralat — “Kerangkanya ada di otak” tuh hampir selalu dusta, kalo ga kepedean. Waktu itu topik paper-nya emang udah aku pilih dan ide besar dari buku referensinya juga udah lumayan kegarap emang, tapi nulisnya itu loh sulid haha. Selain penyakit mageran, ada juga pergelutan antara ide-ide di kepala dan maximum word count: musuh besar orang perfeksionis sebab bakal terjebak di siklus nulis-mikir-hapus ga berujung. Mikirinnya aja udah pusing.

Masih lelah abis ngehajar NYC dan ujian take-home di hari sebelumnya, pagi di hari Rabu itu aku malah ga ngapa-ngapain: buka-buka sosmed, baca-baca hal lain, dan gogoleran gaje.

Untungnya, Logan sama Alicha nemu acara ice-skating gratis siang itu dari salah satu komunitas penghimpun mahasiswa internasional di Philadelphia. Aku mikirnya bakal lumayan energizing, apalagi karena ada makan siang gratisnya, jadi aku sekalian ngebawa segala perlengkapan nge-deadline biar abis skating bisa langsung lanjut ke perpus.

pertama kali ice skating

Setelah skating yang bikin cangkeul (+ cuma jatoh sekali, take that Owen!), looting tuna sub sandwich dan Coca-Cola sisa acara, dan kenalan sama mahasiswa dari Afrika juga Asia Timur, muncul bahasan soal mau ngapain aja di hari-hari tersisa.

Aku nyerita kalo dari delapan universitas Ivy League di US — sekelompok universitas swasta yang terkenal selektif dan prestisius di daerah Northeast— aku baru bisa ngunjungin lima: Penn, Cornell, Yale, Columbia, dan Harvard.

Yang belum itu Brown, Dartmouth, dan Princeton. Brown dan Dartmouth emang jauh, sih, tapi Princeton? Dia ada di negara bagian sebelah, New Jersey, tapi selama ini malah belum sempet dan ga terlalu ngerti cara naik transpor umum ke sana.

Sebenernya ga penting juga sih, proyek keliling Ivy Leagues ini. Malah suka dibecandain sama anak IISMA lain kalo aku “collecting Ivy Leagues like infinity stones.” Tapi aku seneng sama suasana khas masing-masing kampusnya, tertarik sama cerita mahasiswa-mahasiswa di sana, terus bisa beli oleh-oleh ori langsung dari tempatnya, yang tentu lebih berkesan.

Karena ngebahas ini, jadi deh muncul pikiran aneh-aneh. “Abis ini ke Princeton kali yak?”

Aku lalu ngajak Logan sama Alicha buat langsung pergi bareng, tapi mereka enggan karena masih banyak deadline. Lagipula segalanya gak pasti: terutama waktu, harga, dan emang-gimana-caranya-buat-ke-sana?

Dari apa yang aku tau sebelumnya, harusnya dari Philadelphia-Princeton bisa naik kereta regional emang, tapi belum terlalu ngerti segala teknis naik-turun keretanya, apalagi harganya (yang super penting karna duit menipis hahah).

Alicha ngomporin. “Yeah, I think you should just go, Red! Honestly, when else could you go to Princeton?”

Aku pun langsung buka Maps buat ngeliat jarak dari Ice Rink ke stasiun kereta. Wah, cuman 10 menit. Aku langsung siap-siap cabs.

“Yo wait are you serious?” seru Logan, walaupun ga begitu heran juga keliatannya, “Good luck man.”

Dua puluh menit kemudian, aku udah duduk-duduk di peron 30th Street Station untuk kereta regional dan udah ada master plan untuk trip dadakan itu — disusun dari brosur-brosur train schedule sambil ngabisin kaleng Coca-Cola sisa acara sebelumnya.

Sejujurnya agak ribet karena ga ada jalur langsung; harus tiga kali naik kereta: SEPTA Regional dari Philly ke Trenton, NJ Transit dari Trenton ke Princeton Junction, dan Dinky dari PJ ke Princeton University. Masing-masingnya punya mekanisme bayar yang beda pula. Tapi karena aku gegabah dan yakin bakal aman-aman aja (dan jadwal kereta ada sampe dini hari), di-gaskeun ae.

peron, masjid di north philly, gawe

Ternyata nyaman juga ngerjain paper di kereta regional.

Keretanya melesat dari 30th ke utara, ngelewatin daerah-daerah suburb menuju negara bagian sebelah. Tanda-tanda urban ilang, diganti sama barren landscape khas musim dingin.

Aku nyetel playlist “Fokus” di earbud sambil baca-baca buku “On Liberty”-nya John Stuart Mill, nandain bagian-bagian penting buat dikutip sekaligus nyusun kerangka yang katanya-udah-di-kepala-itu.

Setelah kurang-lebih sejam, keretanya sampe di Trenton, ibukota New Jersey.

from Wikipedia

Transit Center di Trenton lumayan gede dan padet. Mesin buat beli tiketnya agak bermasalah awalnya, tapi ujungnya berhasil juga. Aku beli tiket Princeton-Trenton sekalian, yang bisa dipake sekali buat kereta Princeton-Trenton kapan aja, jadi aku pulangnya masih bisa seenak jidat mau semalem apa juga. Dari Trenton, aku naik kereta NJ Transit yang lebih elit dari SEPTA, dan langsung meluncur ke Princeton.

Considering saat itu udah setengah 4 sore, aku mulai ngeh kalo agaknya ini tuh ide bodoh wakwkawkwa. Abisnya matahari tenggelem setengah 5 dan di kampung macem Princeton pasti bakalan gelap. Harusnya dateng ke Princeton pas cerah kek atau di musim lain kek. Kalo gini mah kecil kemungkinan bisa enjoy the views atau banyak interaksi sama orang random di sana. Oh well.

Abis turun di stasiun Princeton, aku beli tiket kereta Dinky dari bapak-bapak di meja pelayanan, terus lari-lari ke peron si Dinky karena kabarnya udah mau berangkat. Dinky ini adalah kereta lokal antara Princeton University sama Princeton kota, yang cuma makan waktu perjalanan 5 menit. Nuansanya old school, kursi-kursinya cokelat, terus ga ada orang lain yang naik.

Dan tada! Dengan begitu aku sampai di Princeton University Station. Tadinya aku pengen shalat Ashar di musholla Princeton or something, tapi rupanya aku sedikit miskalkulasi dan takut ga keburu karena harus nyari-nyari tempatnya dulu. Jadi akhirnya aku hampar sajadah di semak-semak deket stasiun. Tepat abis aku shalat tiba-tiba muncul si Thalia sesama awardees, yang baru mau pulang ke Philly dari si universitas ikonik itu. Bisa-bisanya ketemu wkwk. Tentu dia heran.

“Oh hey Red, you just got here? It’s already nearly dark, when are you gonna get back?”

Aku tersenyum jenaka. “That’s a good question, I wish I knew.”

dinky, serasa di castle

Sembari buka Google Maps buat nyari jalan ke pusat kampus, aku berjalan menikmati pemandangan gedung-gedung tua neo-Gothic-nya. Udah lumayan tenang juga karena paper-ku berprogres cukup lancar. Karena ga ada hal lain yang bisa dilakuin juga di kereta, aku udah berhasil metain outline poin-poin besarnya. “Tinggal” dielaborasi.

Udaranya seger dan bersih. Halaman-halamannya luas. Pohon-pohon rontok di kejauhan yang harusnya hutan rindang ditambah mendungnya langit berhasil bikin suasana gloomy yang cocok buat ngegalau. Sayangnya lagi ga begitu ada bahan ngegalau juga, jadi aku nikmatin aja dinginnya dengan hati riang gembira senang bahagia selamanya.

Tapi asli sih, keliling-keliling pusat kampus Princeton di sore hari bener-bener punya vibes kaya muter-muter kastil. Abisnya Princeton terisolasi dari segala bising kota terus bangunan-bangunannya juga ya kaya gini:

Setelah puas berpoto-poto (yg potonya kebanyakan ilang huhu), bantu ngefotoin sesama turis, dan gagal masuk tempat shalatnya karena kekunci, aku akhirnya ngumpulin energi buat ngelanjutin nge-paper uyey. Tentu aku tambah jalan-jalan di perpus sebagai pemanis motivatif.

(sebenernya itu karena jam setengah 6-an udah gelap banget jadi agak percuma mau jalan-jalan juga dapetnya dinginnya doang)

Datanglah aku ke Firestone Library, salah satu perpustakaan terbesar dilihat dari volume koleksinya. Uwiw.

Logikanya orang sembarangan ga bakal dikasih akses masuk sih ya, tapi aku ga begitu ngekhawatirin itu karena kalo ga bisa masuk ya nothing to lose juga. Realitanya aku tinggal cuap-cuap dikit ke Mbak-Mbak yang jaga meja di depan, nge-flex kartu mahasiswa Penn, lalu dikasih deh Access Pass perpus yey.

Abis shalat di pojokan random, mulai deh eksplorasi perpus.

Firestone Library: stacks, pass, study area

Seperti biasa, kerjaan aku tiap kali ngunjungin perpus adalah vibing di koridor-koridornya dan duduk-duduk manis di kursi-kursi empuknya, nyari tempat ideal buat ngerjain macem-macem. Firestone ini vibes-nya kurang-lebih mirip sama perpus-perpus Ivy League lainnya: tertata, cerah, dan overwhelmingly full of books.

Di sana, aku tiba-tiba nemu buku berjudul “Being Young and Muslim” yang berisi esai-esai dan penelitian-penelitian orang tentang pemuda muslim jaman sekarang beserta segala pergerakannya. Menariknya ada satu bagian khusus tentang Indonesia yang nge-mention ITB dan Masjid Salman-nya haha, jadi tentu aku baca.

Setelah udah puas ngeliatin kertas-kertas, aku mutusin buat mulai ngerusak mata dan ngeliatin layar. Di lantai utama Firestone ada study room yang cakepp dan keliatan enakeun buat berlama-lama. Keliatannya boleh makan-minum pula, jadi pas deh buat nangkring.

Aku pun masang HP buat bikin timelapse (sekaligus ngurangin distraksi haha) dan langsung balik lagi ngegarap sang paper dengan khidmat, sesekali berhenti buat ngabisin sisa tuna sub yang masih menuhin tas. Entah kenapa, meskipun sebenernya sama-sama perpus kaya yang di Penn, jenuh yang aku rasain sama sekali ilang.

Bisa juga aku baca-baca n ngetik-ngetik sosoan mengenai kemerdekaan dan utilitarianisme sampe masuk flow state. Mungkin faktor tempat baru dan suasana baru kali ya. Entah apa jawabannya, sesi dua jam kerja di situ kayaknya termasuk salah satu sesi paling fokus n produktif yang pernah aku lakuin. Ngalir aja gitu, if you get what I mean.

Eniwei, aku sadar juga akhirnya harus pulang jadi aku berkemas, foto-foto suasana Princeton remang-remang, ngunjungin University Store buat beli oleh-oleh, dan kembali ke stasiun buat naik si Dinky ke Princeton, si NJ Transit ke Trenton, dan si SEPTA ke Philly.

Tiris pisan gelo.

Daan alhamdulillah aku pulang dengan selamat sebelum hari berganti. Selamat juga wacana aku buat berkunjung ke si Ivy League ini. Dan yang terpenting selamat juga paper-ku, yang aku yakin ga akan se-oke itu tanpa sesi-sesi pengerjaan di kereta dan di Firestone, ditenagai oleh makanan gratisan acara skating dan udara segar New Jersey.

Hasilnya?

Alhamdulillah :D. Kalo penasaran, versi terjemahnya ada di sini.

Daan dengan begitu berakhir si perjalanan impulsif ke si kampus oren. Makasih buat yang udah baca, siapa tau jadi terinspirasi ngelakuin perjalanan-perjalanan random yang berbuah manis juga. Nantikan catatan perjalanan selanjutnya~

Tulisan ter-sanz n non-flowery di Medium ini hahah. Menurut aku agak aneh sih nyeritain jalan-jalan tanpa refleksi-refleksi superbanyak kaya biasa, tapi seru juga. Wdyt?

--

--