Nyala Lentera Inspirasi

Refleksi Mimpi Dua Bulan Menuju Ramadhan

Rakean Radya Al Barra
8 min readJan 21, 2023

Tak terasa 60 hari lagi kita akan bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan. Tersusunkah targetmu? Tertanamkah motivasimu? Teridentifikasikah mimpimu?

Aku cukup senang berbicara mengenai mimpi dan Ramadhan. Ya harus senang lah; dulu ada kalanya aku sangat terbiasa dalam mengutarakan mimpi tersebut menjadi sebuah narasi — juga ditantang untuk menggiring massa dengan narasi tersebut. Jadi, agar aku tak lupa dan bisa sekaligus mensuasanakan diri untuk menyambut bulan suci, aku memutuskan untuk mengabadikan mimpi dan semangat Ramadhan-ku dalam tulisan ini. Semoga yang membaca ikut tergiring.

Selain keistimewaan yang pasti melekat dengannya (yang tidak akan dibahas di sini), Ramadhan begitu spesial bagiku secara personal karena ada dua tipping point besar dalam hidupku yang terikat dengan Ramadhan. Salah satunya tentu saja adalah pengalaman menjadi Ketua Umum Panitia Pelaksana Program Ramadhan dan Idul Adha (P3RI) Masjid Salman ITB 1443 Hijriyah kemarin (tahun lalu). Melaluinya, aku jadi jauh lebih mengenal dan mengakselerasi diri dalam konteks sebagai hamba dan juga sebagai steward (pelayan) bagi sesama hamba.

Program Ramadhan P3RI memiliki skala dampak yang menyentuh ribuan jamaah. RAB-nya pun membawa kata “milyar” (dengan realisasi ~1M untuk Ramadhan). Dan aku sebagai ketua harus mempertanggungjawabkan segala instrumen rumit yang digunakan untuk memainkan aransemen Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Tentu banyak gagalnya, dan dengan begitu banyak belajarnya. Aku berkali-kali diingatkan dan mengingatkan diri sendiri maupun orang lain bahwa apa yang kita lakukan melebihi sekedar program mahasiswa — tapi melibatkan hubungan antara hamba dengan Tuhan-nya.

beberapa dokumentasi Ramadhan 1443 H

Akan tetapi, menjadi Ketua P3RI merupakan tipping point ke-2 yang tak bisa dilepas dari tipping point pertama: Ramadhan 1437 Hijriyah.

Jadi, untuk memahami konteks dari segala mimpi yang begitu kental dalam P3RI ‘43-ku (dan apasih arti tema nyala-nyala itu?), aku akan mengajakmu berkeliling dalam sejarah.

Jadi mari kita cerita sedikit.

(oiya btw bakunya memang “Ramadan” tapi gpp lah ya, transliterasi huruf dhad dengan “dh” menurutku lebih enak aja hehe)

Konteks Ekstrapanjang Khas si Rakean

Sebagai diaspora yang dibesarkan di Amerika, sumber utama pembelajaran agamaku semasa kecil hanya di keluarga dan pertemuan pekanan Sunday School dalam (hampir) satu-satunya masjid di kota kami. Dengan begitu, aku rasa pengalaman ber-Islam-ku agak lain dibanding teman-teman di Indonesia. Terlebih jika aku bandingkan diri dengan mereka-mereka yang dari latar belakang keluarga dan/atau sekolahnya udah masyallah pisan.

Dari kecil, aku memang dididik oleh keluarga untuk punya identitas muslim yang kental. Dan ini diperkuat oleh kontras si aku terhadap lingkungan sekitarku, karena aku dulu cukup bangga menjadi minoritas.

Tapi sebagaimana yang kita ketahui, Islam untuk kita selayaknya jauh lebih dari identitas. Jadi berhubungan dengan itu, bagiku sendiri, terdapat sebuah tipping point di mana aku membuat pilihan untuk betul-betul memaknai Islam sebagai deen yang holistik dan komprehensif. Ada saat di mana aku memutuskan untuk menseriusi agama sebagai suatu hal yang jauh lebih besar dari sekadar identitas dan tradisi. Dan, ya, sesuai tebakanmu, saat itu adalah pada bulan Ramadhan 1437 H.

Pada saat itu, Ramadhan bertepatan dengan liburan akhir semester. Dan aku adalah bocah kelas-8-menuju-9-SMP yang entah kenapa cukup khawatir dan overthinking soal masa depan. Jadi mungkin ketidakberdayaan tersebut cukup membuatku reseptif terhadap input-input spiritual wkawkawka.

Kebetulan pada saat itu pertama kalinya aku dibolehkan untuk i’tikaf sendiri di 10 hari terakhir Ramadhan. Melalui kegiatan di PAS ITB, aku dan keluarga cukup familiar dengan Salman, jadi arrangement ini bagi kami semua oke-oke aja. Ngurang deh satu anak yang harus diurus haha.

Dan… Fenomenal! Dilengkapi dengan Al-Quran, berbagai buku dari koleksi almarhum Aki (yang paling berpengaruh di antaranya sebuah buku panduan shalat komprehensif yang aku lupa judulnya), dan kegiatan terprogram lengkap dari panitia, aku tak pernah habis kerjaan. Aku pun berteman dengan se-sirkel bapak-bapak yang tiap harinya menyiramiku dengan inspirasi (dan snack gratis).

Sejauh yang aku ingat, di situ kali pertama aku benar-benar mengikuti kajian Islam. Di atas parket kayu khas Salman, aku memerhatikan dengan seksama berbagai kajian kitab hadits, tafsir ayat-ayat semesta, juga pembinaan tahsin. Semua disampaikan secara intelektual dan penuh hikmah. Mata dan hati terbuka.

Di situ pertama kalinya aku benar-benar mentadabburi ayat-ayat Al-Quran. Pertama kalinya aku menghabiskan malam di koridor dingin, tunduk dalam doa dan kehinaan. Di situ pertama kalinya aku menangis dalam sujud.

Rasanya… Merdeka.

Bak sensasi penutup mata yang dilepas atau belenggu yang dipatahkan. Istilah dan narasi yang tadinya terbatas sebagai istilah dan narasi kini bermakna. Berpengaruh! Esensial bagi hidup.

Aku pun ketagihan. Karena memang seimpresif itu.

Jadi, setiap tahun semenjak itu aku full ber-i’tikaf di Salman. Dan lebih banyak lagi hal yang kudapat. Buku-buku tercerna, intisari kajian-kajian tercatat, dan menu-menu iftar pun terobservasi hehe. Melalui i’tikaf di Salman (1438 H) aku pertama kalinya berteman dengan makhluk bernama Arsyad Kamili yang tahun-tahun selanjutnya tak pernah absen dari ajakan i’tikaf bersama rekan satu SMA. Streak ini hanya berhenti karena pandemi, dan kami pun sampai membuat channel Discord untuk “i’tikaf virtual bersama (1441 H) saking rindunya kami akan suasana khidmat dan khusyu itu.

Aku pun sampai lupa persisnya Ramadhan yang mana yang mendatangkan insight yang mana, tapi yang jelas, sejak i’tikaf pada bulan Ramadhan 1437 H itu, aku menjadi berbeda. Yang dulunya berusaha taat berislam karena menuruti perintah ortu dan menegaskan identitas saja kini mendapatkan alasan intrinsik yang lebih fundamental. Duh sulit dijelaskan, semoga paham.

Tanpa transformasi yang kualami dari i’tikaf tersebut, aku yakin aku tidak akan tertarik untuk mendaftarkan diri ke ekstrakurikuler DKM Nurul Khomsah sewaktu SMA yang kemudian mempertemukanku dengan berbagai orang dan pengalaman berdakwah yang semakin membentuk siapa aku sekarang.

Forum Mimpi

Melalui rangkaian takdir yang terasa amat magis, aku tiba-tiba memegang posisi sebagai ketua formatur untuk kepanitiaan P3RI 1443 H: kepanitiaan yang enam tahun sebelumnya memfasilitasi transformasi spiritualku. Dan karena itu aku jelas antusias.

Apresiasi aku untuk panitia P3RI rasanya through the roof. Amat besar. Merekalah yang tak lelah dalam melayani jamaah dengan segala keperluannya. Aku terkesan melihat sirklus cuci gelas, ronde bergilir jaga malam, penitipan barang, pembagian sahur dan buka, juga pengaturan setiap mata kegiatan di i’tikaf. Aku heran dengan mereka yang begitu berdedikasi dalam segala kerumitan i’tikaf, mengorbankan waktu berharga mereka. Dan aku tentu ingin sekali terlibat — jika mendapatkan kesempatannya.

Ternyata, aku ditakdirkan untuk mendapatkan kesempatan itu. Sangat mendapatkannya malah. Aku memimpin keformaturan, yang artinya secara langsung, aku bertanggung jawab atas perumusan fondasi dan guiding star dari seluruh kepanitiaan.

Dan dalam spirit start-with-why khas anak jaman now, tentu segala detail teknis berawal dengan narasi. Dan narasi berasal dari mimpi.

Mimpi awal aku untuk P3RI sebetulnya sudah tercapai. Aku terlibat, udah. Dream achieved. Tapi keterlibatan itu justru mengipaskan api sebuah mimpi yang lebih ambisius: keinginan untuk memberikan jamaah pengalaman dan kesan yang aku sendiri dapatkan dahulu kala. Aku tahu betul bahwa dalam momentum bulan suci, P3RI punya kemampuan untuk transformasi. Dan apa yang mentransformasikanku kala itu cukup sederhana: inspirasi.

Inspirasi adalah katalis perubahan. Ia bisa membawa seseorang ke sudut-sudut dunia yang tak pernah ia langkahi dan membuka jendela yang bahkan tidak pernah diketahui sebelumnya. Dan itu powerful.

Jadi ketika aku mengumpulkan tim formaturku dalam “Forum Mimpi”, itulah kontribusi mimpiku. Mimpi itu kemudian masuk ke dalam konstelasi bersinar yang berisikan mimpi formatur lainnya.

Ada Arvind dengan “kelaparan”-nya dalam mencari arti. Ada Azmi dengan idealisme “perjuangan”-nya. Ada Firly dengan semangatnya menjadi pemantik dan pengabdi. Ada Nadia dengan filosofi “perpanjangan tangan” Islam-nya. Ada Nanda dengan pengalamannya menggenggam pelita dalam lingkungan yang kurang mendukung. Ada Nida dengan alasan pribadinnya untuk bangkit. Ada Rama dengan aspirasinya untuk mengisi rasa hampa.

Selain mimpi kami, ada kondisi pandemi global yang begitu intrusif terhadap stabilitas fisik-mental-spiritual dunia. Kondisi terdahulu dirindukan. Umat menjadi redup.

Kami ingin membuatnya terang kembali.

Alhasil, intisari dari mimpi kami dirangkum dengan kata kunci “Nyala”.

Miro Forum Mimpi kala itu

Narasi Menyala

“P3RI sebagai ruang yang menginspirasi dan melayani untuk menyalakan kembali semangat islami.”

Begitulah visi yang akhirnya ditemukan dari orkestra asa pada Forum Mimpi formatur. Dan dari big why tersebut lahirlah tema tiga kata:

Nyala Lentera Inspirasi

Sebagai P3RI, untuk membuat semangat jamaah menyala, kita harus menjadi lentera kebaikan yang senantiasa menginspirasi sekitar untuk memiliki nyala yang sama.

Mari kita telusuri arti katanya masing-masing.

Nyala adalah nyala. Kata yang bermakna setelah sekian tahun dalam redupnya pandemi. Nuff said.

Lentera adalah cerminan dari cahaya kecil, serupa dengan percikan api. Biarpun kontribusi seseorang hanya sebuah percikan, ketahuilah bahwa percikan mampu menjadi awal dari api besar. Terlebih jika ada ratusan lentera.

Dan inspirasi adalah food for the soul. Segala produk yang termanufaktur oleh P3RI 1443 selayaknya bertujuan untuk menginspirasi perubahan, perbaikan, dan yang terpenting pendekatan kepada Sang Pencipta.

So in conjunction, our theme is the glow of the lantern of inspiration. Dan dengan begitu seorang panitia di P3RI memiliki dwifungsi: pelayan dan penyala.

Ada pun berbagai turunan dari narasi “Menyala” ini. Ada misi semi-formalitas yang mengiringi visi. Ada tagline #NyalakanSemangatKebaikan yang mendekorasi berbagai media kami. Ada grand design bertokohutamakan ubur-ubur sang lentera laut. Dan ada juga kultur JIHAD (singkatan) yang jujur kurang aku tularkan dan kemungkinan besar kurang aku representasikan juga. Ah, tak apalah. Jadi belajar :)

“Nahloh, ini kan suatu narasi untuk kepanitiaan yang telah usai. Apa gunanya kamu bernostalgia lagi, Rak?”

Sebutlah nostalgia, sebutlah rindu. Tak penting. Maaf kalau ke mana-mana. Yang jelas, aku rasa esensi dari Nyala Lentera Inspirasi tetap relevan dalam menjalani hidup sebagai hamba. Kita adalah lentera-lentera kecil yang senantiasa mengusahakan untuk menyala dan menebar inspirasi di mana pun kita berada.

Dan gak mesti jauh-jauh.

Seminimalnya, untuk Ramadhan 1444 H ini, kita bisa menjadi pelayan dan penyala untuk diri kita sendiri. Reminder yang penting menurutku. Apalagi kalau kamu adalah panitia di tahun sebelumnya yang agak lupa bahwa “diri sendiri” pun termasuk jamaah yang semestinya menjadi lebih menyala :)

--

--