Potret Pengabdi

or, Humans of Ramadhan, whichever you prefer

Rakean Radya Al Barra
4 min readMay 5, 2023
Photo by Silvana Carlos on Unsplash

Ramadhan kemarin, aku kepikiran untuk mencoba project mandiri sederhana: gimana kalau aku ngobrol sama orang-orang random seketemunya terus di-up ceritanya ke sosmed?

Motivasinya:

  • Ramadhan tentu spesial untuk kita masing-masing. Tapi ya gitu, masing-masing. Rasanya kita jarang menyorot experience Ramadhan orang lain.
  • Di luar konteks Ramadhan pun, kita memang jarang menyorot experience hidup orang lain, titik.

Ada beberapa orang yang menjadi pengecualian, tentu saja. Salah satunya ibuku, yang memang sering tiba-tiba ngobrol dengan orang di mana pun itu, termasuk di jalanan. Aku pun terbiasa dengan penceritaan ulang kehidupan mang-mang pedagang keliling sampai ibu-ibu ustadzah panggilan yang entah gimana caranya bisa digali ceritanya oleh ibuku. Aku selalu takjub dengan empatinya.

Selain itu ada juga pembuat konten people-centric macam Humans of NY dan MTI ITB yang selalu mengedepankan perspektif khas tiap-tiap persona dalam postingan-nya.

Lalu apa pentingnya kita menyorot kehidupan orang lain? Bukankah kehidupan kita sendiri cukup memusingkan?

Justru, mengenal perjalanan orang lain akan mengasah empati terhadap sesama. Dan bagiku sendiri ada perasaan khas yang selalu muncul ketika menyadari betapa luasnya lautan cerita orang-orang lain. Perasaan ini ada istilahnya: sonder.

Dan ini bagiku amat humbling dan juga bikin malu ketika teringat bahwa aku menggunakan banyak dari porsi pikirku untuk mengkhawatirkan kehidupanku seorang diri yang nyatanya seinsignifikan itu dalam konstelasi cerita-cerita manusia di luar sana.

Jadi dengan kamera mirrorless yang dibawa hampir setiap saat keluar, bahkan ketika sekedar ngabuburit, aku memutuskan untuk mengenakan kacamata pejalan dan mencoba untuk sekedar ngobrol.

Langkah kecil tapi kadang kok berat ya rasanya wkwk.

Tapi kuusahakan.

Obrolan muncul dari basa-basi saat mengenakan sepatu di masjid, dari SKSD dengan orang yang kebetulan duduk-duduk bersama, juga dari ajakan “wawancara” out of the blue berkedok “membuat konten fotografi” (waktu mentok dan kesulitan bikin obrolan yang organic wkwk).

Yaa, beragam lah intinya. Ada yang organik, ada yang ngalir bener sampai susah berhenti ngobrol, ada yang sebentar saja, ada juga yang kaku. Oh, yang nolak juga ada, tentu saja. Apalagi yang udah ngobrol tapi kurasa kurang appropriate untuk diminta izin jadi subjek konten.

Terlepas dari itu semua, aku tidak menyesal menghabiskan mungkin sejam lebih dikit tiap harinya untuk mengobrol, memproses, dan membuat konten.

Karena…

Aku menjadi sadar bahwa ada orang-orang seperti Pak Andri yang terpaksa berbuka puasa terpisah dari keluarganya karena shift pekerjaannya, dan tetap terbiasa untuk menyempatkan membaca Quran di sela-sela.

Aku menjadi sadar bahwa ada orang-orang seperti Daffa yang kehilangan kedua tangannya dan tetap tangguh menghadapi komentar-komentar sosial, bahkan bisa mengalahkan tim-tim luar negeri di Cybathlon menggunakan tangan prostetik.

Aku menjadi sadar bahwa ada orang-orang seperti Pak Uu yang keliling menjual kopi dan rokok hingga larut malam, hal yang kalau diatur-atur bisa mencukupi hidupnya, meskipun menurun parah setelah pandemi.

Dan berbagai cerita lain.

Ramadhan itu, di tengah berbagai gempuran krisis diri, salah satu key takeaway yang kudapat justru adalah bahwa perjuanganku tidak seberapa.

Tapi itu penafsiranku.

Sudut pandangku terhadap cerita orang-orang tidak ingin kupaksakan secara bias pada teman-teman dan khalayak umum di Instagram. Aku ingin agar setiap orang bisa bebas menafsirkan cerita-cerita para subjek dari sudut pandang mana pun.

Jadi tiap obrolan kuceritakan seadanya dengan deskripsi datar dan lebih banyak mencantumkan kutipan-kutipan langsung, biar subjeknya yang langsung bercerita. Cukup kusertakan dalil berupa ayat Alquran atau hadits sebagai pemicu tafsiran-tafsiran pribadi dari tiap pembacanya.

Pengecualiannya ada di satu konten Special Edition tentang cerita hebatnya Masjid Iqro, yang rasanya lebih cocok diracik sebagai cerita pribadi. Penasaran? Give it a read here.

contoh kongteng

Oke, dipikir-pikir, secara on-paper proyek ini memang tidak terlihat seperti usaha yang begitu berat ataupun berbuah. “Cuman” ngobrol dan motoin, after all. Insights akunku pun menunjukkan bahwa konten begini tak begitu popular relatif terhadap konten lain di Instagram pribadiku. Tapi tak apa.

Seandainya hanya aku yang termanfaatkan pun aku takkan menyesal telah melakukannya.

Lagipula, angka impressions itu tak selalu representatif terhadap dampak. Banyak juga orang suportif yang berkomentar secara pribadi, lalu terinspirasi untuk melakukan hal yang sama: bahkan ada yang minta untuk diajak ikut kalau aku sedang ingin mengembara mencari cerita. Ratusan ribu rupiah pun tersalurkan ke Masjid Iqro melalui hal sesederhana cerita.

Selain itu, ternyata 18 buah obrolanku membuahkan ratusan obrolan serupa; Fahryan dan panitia KKN ITB menggunakan proyek kecil ini sebagai referensi tugas para calon peserta KKN. And I’m very happy to have influenced such a proliferation of story-sharing.

Harapannya, aku dan teman-teman semua bisa sedikit lebih tergerak untuk mulai lebih sadar terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita, lebih respect dengan begitu luasnya cerita kehidupan orang lain, dan lebih bersyukur dengan cerita yang sedang kita jalankan.

Karena setiap pengabdi punya perjalanannya.

--

--