Produktivitas Semu Tengkulak Digital

Sebuah Harapan untuk Menyongsong Value Creation yang Lebih Nyata untuk Indonesia

Rakean Radya Al Barra
11 min readNov 8, 2024
Photo by Joshua Sortino on Unsplash

Serba Digital

Entah itu transaksi menggunakan QRIS atau bersilaturrahmi via saling melempar Reels, kehidupan modern sulit dibayangkan terpisah dari teknologi digital yang kita pakai. Dari e-commerce hingga layanan pemerintah, gawai yang ada di saku dan meja kita membantu dalam segala urusan harian sampai-sampai tak jauh jika diklaim bahwa kita cukup bergantung padanya.

Apalagi Indonesia.

Bahkan, berdasarkan laporan pada tahun 2023 dari Google, Temasek, juga Bain & Company, sekitar 40% dari nilai total transaksi ekonomi digital di ASEAN pada tahun tersebut berasal dari Indonesia. Secara nominal, nilai ekonomi digital ini mencapai 82 miliar USD, yakni pertumbuhan 8% dari tahun 2022. Tentu, lanskap yang semakin didominasi sektor digital ini berimplikasi besar terhadap cara orang-orang Indonesia menjalankan bisnis.

Salah satu dampak yang paling terlihat adalah berkembangnya platform-platform yang menyediakan wadah digital yang memungkinkan siapapun untuk menawarkan produk dan/atau jasanya bagi siapapun — suatu simetri informasi yang menyediakan alternatif-alternatif pembelian yang seolah tak terbatas untuk para konsumen. Ini menjadi kabar bahagia untuk para pebisnis yang mencari ceruk pasar baru dan berniat meraihnya melalui harga ataupun kualitas yang kompetitif. Ini bisa dilakukan tanpa harus ada modal lokasi fisik dan berbagai perintil yang berasosiasi dengannya.

Di lain sisi, bisnis lokal yang tak mau (atau tak mampu) bersaing dengan alternatif-alternatif pada platform digital menjadi jauh tertinggal. Bisnis-bisnis kecil lokal, seperti ‘institusi’ ojek pangkalan, yang awalnya memiliki basis konsumen loyal menjadi terancam oleh ekivalen digitalnya yang menawarkan layanan yang mungkin lebih unggul.

Berhubungan dengan kondisi ini, artikel ini akan berusaha menggarisbawahi berbagai fenomena — dari platform digital yang bertindak seperti ‘tengkulak’ hingga ketidakmampuan bisnis kecil untuk menghasilkan produktivitas— yang menjadi faktor-faktor belenggu pembangunan negeri. Along the way, kita akan sedikit menengok kondisi Indonesia hari ini melalui lensa dari konsep ‘Value Extraction vs. Value Creation’ ala Mariana Mazzucato dan paradigma pembangunan efektif ala Effective Altruism. Harapannya, kita dapat melihat betapa butuhnya intervensi pada status quo jika kita tidak ingin terjebak selamanya dalam middle income trap.

Disrupsi Simetri

Photo by Justin Main on Unsplash

Simetri dan Platform Digital

Simetri terdengar sebagai kata yang positif. Harmonis. Elok. Dan biasanya memang demikian. Simetri dikaitkan dengan kesamaan bentuk geometris — juga menjadi suatu prinsip aesthetics yang sering kita jumpai dalam karya-karya seni fenomenal sepanjang sejarah. Dalam konteks informasi, simetri juga biasanya mengandung kesan positif.

Kebalikannya, asymmetric information, biasanya disebut-sebut dalam ilmu ekonomi sebagai suatu fenomena yang merugikan, yakni kondisi yang mana satu pihak dalam transaksi dapat memanfaatkan informasi yang tidak dimiliki pihak lainnya untuk memperoleh suatu advantage atas pihak lainnya. Contoh paling sederhana adalah ketika penjual suatu barang menahan informasi mengenai kecacatan barangnya saat ia menjualnya kepada pembeli yang polos dan tak tahu apa-apa. Contoh lain adalah asimetri akses, misalnya seorang pengendara sepeda terpaksa menggunakan jasa reparasi sepeda dari abang-abang di dekatnya meskipun terus-menerus kurang memuaskan karena ia tak punya informasi mengenai kompetitor manapun.

Dengan begitu, ketika platform digital hadir, ia menyediakan urgensi agar para penjual menjadi seinformatif mungkin. Jika menahan sedikit saja informasi mengenai suatu produk, bisa jadi calon pembeli menganggapnya sama saja dengan ratusan produk serupa yang mudah saja dicari di platform yang sama. Dan jika ternyata produk/jasa tidak memuaskan, sang pembeli mudah saja ‘menghakimi’ penjual dengan pemberian rating negatif — suatu isyarat bagi pembeli-pembeli selanjutnya untuk mempertimbangkan untuk menghindari penjual tersebut. Dengan begitu, seharusnya kemampuan platform digital dalam hal ini menjadi insentif agar para penjual menjadi semakin kompetitif, karena jikalau ia gagal bersaing, konsumen mudah saja berpindah kapal dan mencari alternatif dengan kualitas atau harga yang lebih baik.

Lalu, bagaimana dengan kenyataannya? Apakah betul insentif simetri ini menghasilkan pebisnis-pebisnis kecil yang semakin kompeten dan semakin bersaing?

Mari kita tengok kondisi sekarang.

Secara anekdotal, Anda tinggal mengunjungi pusat belanja baju lokal terdekat untuk menangkap kondisi yang terasa saat ini. Pedagang baju di tempat seperti Tanah Abang semakin sini semakin terpaksa untuk menggulung tikar akibat sepinya toko. Tentu, salah satu faktor besar dalam hal ini adalah persaingan sengit yang diakibatkan oleh platform digital.

Dilansir dari Tempo:

Pedagang bernama Anton mengaku bahwa bisnis di sana tersaingi oleh penjualan tekstil melalui media sosial, seperti TikTok Shop, yang membanderol barang dengan harga sangat murah.

Anton mencontohkan, dirinya menjual satu gamis seharga Rp 100.000, sementara di TikTok Shop ada yang menjual Rp 39.000, “Bingung lah kenapa bisa murah sekali harganya, padahal bahan yang dipakai sama. Kalau kami bikin sendiri juga tidak masuk harganya, kenapa di online bisa Rp 39.0000. Itu tak masuk di akal,” ungkap dia.

Omzet Anton pun menurun drastis dari biasanya Rp 20 juta per hari menjadi hanya Rp 2 juta saja.

Selain itu, usaha kecil di Indonesia saat ini menghadapi tantangan signifikan akibat penurunan kelas menengah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk kelas menengah menurun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024, atau penurunan sebesar 9,48 juta orang.

Penurunan ini berdampak pada daya beli masyarakat, yang langsung mempengaruhi pendapatan usaha kecil karena kelas menengah biasanya menjadi konsumen utama produk dan jasa dari usaha kecil. Ketika daya beli menurun, permintaan terhadap produk-produk ini ikut berkurang, menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan. Jika ingin belanja pun, para konsumen kelas menengah tentu lebih menyukai alternatif-alternatif lebih murah yang dengan senang hati disodorkan oleh para pemilik platform e-commerce.

Sebelum terlalu jauh membahas kondisi ini, kira-kira begini ilustrasi sederhana dari fenomena disrupsi yang terjadi. Barangkali, awalnya usaha kecil lokal sedikit ‘memonopoli’ sektor bisnis tertentu karena konsumen lokalnya memang tidak memiliki (atau tidak tahu) pilihan lain akibat asimetri informasi. Dominasi lokal ini melahirkan barrier to entry yang besar bagi calon pemain lokal lainnya — fenomena yang melanggengkan monopoli lokal ini dan tidak menyediakan insentif untuk semakin meningkatkan kualitas produk atau jasa mereka. Usaha dominan lokal menjadi tidak produktif karena tak ada alasan untuk mengubah praktik-praktik yang selama ini mereka jalankan.

Lucunya, simetri dari platform digital yang seharusnya memberikan insentif ini hanya memindahkan monopoli lokal ini ke pemilik modal yang lebih besar. Ia membesarkan playing field dari fenomena awal yang terbatas secara lokal dan membiarkan usaha-usaha kecil dalam debu ketertinggalan bukan karena mereka tidak mau bersaing —tetapi memang tidak mampu keep up dengan pesaing digital dengan tawaran yang lebih berkualitas, lebih murah, dan barangkali disertai dengan endorsement dari influencer pula!

Platform digital memungkinkan perusahaan besar atau pelaku usaha dengan modal besar untuk berkompetisi secara agresif, misalnya dengan memberikan diskon besar atau promosi yang sulit ditandingi oleh usaha kecil. Akibatnya, banyak usaha kecil yang tidak mampu bersaing terpaksa gulung tikar. Jika tidak mau bangkrut, usaha kecil terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk memasarkan produknya secara digital, menjaga kualitas layanan agar sesuai dengan ekspektasi platform, serta berkompetisi dalam skala yang lebih luas. Selain modal, hal ini membutuhkan penguasaan teknologi — suatu barrier yang tak mudah ditembus oleh semua orang, terlebih pengusaha yang sudah senior.

Pada dasarnya, kelebihan dari adanya para platform digital ini adalah bahwa Anda dapat bersaing dengan seluruh dunia. Lalu, kekurangannya adalah bahwa Anda harus bersaing dengan seluruh dunia.

Kacamata Produktivitas

Bangkrutnya usaha kecil tidak hanya berdampak pada pengusaha yang kehilangan pendapatan, tetapi juga pekerja yang bergantung pada usaha tersebut. Labor market saat ini yang begitu sulit ditembus tidak memberikan pekerja usaha kecil ini pilihan selain berpindah ke usaha kecil atau informal lainnya — yang umumnya sama saja karena pada dasarnya tidak mampu bersaing.

Pilihan lain? Menganggur.

Secara empiris, menurut BPS, tercatat bahwa terdapat 9,9 juta jiwa anak muda dalam rentang usia 15 hingga 24 tahun yang tidak bekerja, menjalani pendidikan, atau mendapat pelatihan (NEET). Tentu ini merupakan biaya peluang yang amat besar dan justru menunjukkan bahwa bonus demografi Indonesia yang digadang-gadang malah berpotensi berujung beban demografi.

Bagaimana cara memandang ini secara empiris? Produktivitas.

Pemanfaatan tenaga kerja pada basis individual untuk suatu negara dapat dilihat dari produktivitas per kapita. Untuk Indonesia, berdasarkan data dari Asian Productivity Organization (APO) dalam laporan APO Productivity Databook 2020, produktivitas per pekerja di Indonesia jauh di bawah Singapura dan Malaysia, bahkan di bawah rata-rata enam negara ASEAN terbesar. Produktivitas pekerja Indonesia sekitar 23.900 dollar AS, sementara Singapura mencapai 149.100 dollar AS dan Malaysia 55.400 dollar AS.

sumber: Kompas

Angka-angka ini seharusnya tidak mengagetkan mengingat begitu banyaknya usaha kecil yang dijaga oleh tenaga kerja yang sebagian besar waktunya dipakai untuk sekadar menunggu dan melakukan hal nonproduktif lainnya. Bahkan sangat mungkin mereka memang tidak melakukan apa-apa seharian karena toh tokonya sepi. Usaha-usaha kecil informal ini pun tidak memberikan jaminan kesejahteraan bagi pekerjanya, tidak melindungi mereka dari kedzaliman pemilik usaha dalam payung hukum yang jelas, dan tidak memberikan mereka insentif untuk belajar ataupun bekerja lebih keras.

Inilah lose-lose situation untuk semua pihak, tetapi langgeng-langgeng saja karena tidak ada yang mau berubah. Justru, alih-alih mendorong pembangunan usaha menengah atau industri manufaktur yang dapat menyerap tenaga kerja kita yang begitu banyak, pemerintah malah semakin mengglorifikasi UMKM dalam narasi ‘buatan anak bangsa’. Yang terjadi bukanlah pemeliharaan dan pengembangan usaha menengah yang dapat mempekerjakan banyak individu secara produktif, melainkan kelahiran-kelahiran usaha kecil nan informal yang seolah sudah ditakdirkan untuk gagal sejak awal pencetusannya.

Produktivitas dan Platform Digital

Mari kita kembali pada bahasan awal mengenai platform digital. Meskipun artikel ini seolah menyalahkan mereka atas segala fenomena mengenaskan yang kini tengah melanda masyarakat Indonesia, bukan begitu poin yang ingin diangkat. Instead of that, secara sistemik, sepertinya dibutuhkan perubahan struktur insentif industri agar lebih mengarah kepada penciptaan nilai (value creation) dan juga produktivitas tenaga kerja ketimbang pertumbuhan PDB saja.

Mariana Mazzucato, Economist

Dalam konsep value creation vs value extraction yang diuraikan Mariana Mazzucato dalam The Value of Everything, value creation merujuk pada kegiatan ekonomi yang benar-benar menghasilkan nilai tambah konkret bagi masyarakat, seperti sektor manufaktur yang menghasilkan barang fisik dan infrastruktur yang memfasilitasi konektivitas. Sebaliknya, value extraction mengacu pada praktik-praktik yang mana pihak tertentu mengambil keuntungan besar tanpa berkontribusi nyata terhadap nilai produktif ekonomi. Dalam hal ini, platform digital seringkali dikategorikan ke dalam value extraction karena meskipun mereka meningkatkan volume transaksi dan menciptakan dampak langsung pada PDB, mereka tidak menciptakan produktivitas baru dalam arti output riil.

Kebanyakan platform ini tidak memproduksi barang atau jasa yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara langsung; mereka hanya memfasilitasi transaksi antara penjual dan pembeli dan menarik rent berupa biaya administrasi dan biaya platform — yang semakin hari nilainya semakin melambung tinggi. Mereka diibaratkan tengkulak digital yang memperkuat ketergantungan ekonomi terhadap middleman dan distribusi ketimbang produksi.

Pertumbuhan e-commerce yang pesat mungkin memang menghasilkan angka-angka gemilang dalam PDB yang mengindikasikan ekonomi yang berkembang pesat. Namun, platform digital ini cenderung berfokus pada perputaran uang dan bukan pada peningkatan produktivitas (coba tengok betapa besarnya pertumbuhan fintech, pinjaman online, dan bahkan judi online). Ketika penjualan meningkat melalui platform, barang yang sama hanya berganti tangan lebih cepat, tetapi tidak ada peningkatan substansial dalam kualitas atau kuantitas barang yang dihasilkan selain dari kebutuhan untuk bersaing dengan sesama pemain dalam platform. Hal ini berarti bahwa kontribusi sektor ini terhadap ekonomi lebih banyak pada aspek konsumsi, bukan pada produksi.

Ironisnya, laba besar yang dihasilkan oleh platform-platform ini belum tentu diinvestasikan kembali dalam sektor-sektor yang menghasilkan barang nyata atau inovasi produktif, tetapi justru disalurkan untuk memberi keuntungan maksimal bagi pemegang saham. Padahal, pada awalnya, start-up digital ini biasanya memanfaatkan insentif dan bantuan pemerintah — yang artinya adalah berbagi risiko dengan semua pembayar pajak— dan ketika sukses tidak kembali berbagi keuntungannya kepada pembayar pajak.

Kondisi ini berisiko mencederai pertumbuhan jangka panjang karena modal yang seharusnya bisa diarahkan untuk pengembangan sektor-sektor produktif seperti manufaktur, yang secara langsung meningkatkan output dan lapangan kerja, justru terhisap oleh platform untuk memenuhi kepentingan para pemegang saham. Tidak adanya investasi produktif pada sektor-sektor riil ini berarti bahwa inovasi serta peningkatan kapasitas produksi menjadi stagnan. Alhasil, negara seperti Indonesia dapat terjebak dalam ilusi pertumbuhan tanpa peningkatan kualitas ekonomi secara menyeluruh, yang hanya memperlebar kesenjangan dan mempersulit usaha kecil serta sektor tradisional untuk berkembang dalam ekosistem ekonomi yang sehat.

Demi Pertumbuhan, Tinggalkan Usaha Kecil

Photo by Ant Rozetsky on Unsplash

Karthik Tadepalli, seorang kandidat PhD ekonomi di UC Berkeley, dan juga seorang effective altruist menulis artikel dengan judul menohok Want Growth? Kill Small Businesses yang berargumen bahwa kunci pertumbuhan bagi negara berkembang terletak pada pembangunan usaha menengah dan industri besar. Sebagai seorang yang menjunjung nilai-nilai Effective Altruism, sang penulis memang berfokus pada rekomendasi atau intervensi yang paling efektif atau tepat sasaran dalam meningkatkan kesejahteraan.

Untuk mencapai pertumbuhan yang berarti, fokus pada usaha menengah dan besar jauh lebih efektif daripada mendukung usaha kecil yang produktivitasnya rendah. Data menunjukkan bahwa 96% dari perusahaan di Indonesia adalah usaha mikro dengan kurang dari 10 pegawai, yang menyumbang sebagian besar lapangan kerja tetapi memiliki dampak yang terbatas pada produktivitas nasional. Daripada jutaan usaha kecil berproduktivitas rendah yang tidak menawarkan daya saing atau portofolio produk yang berbeda, bukankah lebih baik membangun industri yang robust dengan kontribusi (alias produktivitas) yang lebih besar per pekerja? Dalam industri manufaktur, misalnya, pekerja di perusahaan besar mampu menghasilkan nilai tambah yang signifikan per unit kerja dibandingkan pekerja di usaha mikro. Inilah mengapa mengandalkan usaha kecil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak akan cukup untuk menciptakan daya saing yang dibutuhkan dalam skala global.

Sebagai pendukung empiris terhadap argumen ini, berdasarkan data dari BPS pada tahun 2023, terdapat 32.193 perusahaan industri manufaktur skala menengah dan besar di Indonesia. Jumlah ini hanya sekitar 0,77% dari total 4.181.128 perusahaan industri skala mikro dan kecil. Meskipun proporsi perusahaan besar relatif kecil, menurut Kementerian Perindustrian, sektor industri pengolahan nonmigas memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, mencapai 16,30% pada triwulan II tahun 2023. Selain itu, menurut International Labor Organization, produktivitas per pekerja di perusahaan kecil di negara berkembang hanya sekitar 20–50% dari produktivitas pekerja di perusahaan besar. Statistik ini menunjukkan betapa pentingnya adanya peralihan dari struktur ekonomi yang didominasi usaha kecil menuju model yang memperkuat usaha menengah dan besar demi peningkatan produktivitas.

Lebih jauh lagi, ketergantungan pada usaha kecil menciptakan fragmentasi dalam pasar kerja dan menurunkan efisiensi ekonomi. Penguatan usaha kecil memerlukan biaya tinggi dalam bentuk subsidi serta bantuan, dan hasilnya seringkali tidak berbanding lurus dengan kontribusi mereka pada PDB. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya investasi dalam sektor produktif berskala besar yang mampu mendorong penciptaan nilai nyata dan peningkatan daya beli tenaga kerja.

Meninjau situasi ini, alangkah baiknya pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendukung pembangunan sektor manufaktur dan industri skala besar, bukan hanya melalui insentif fiskal tetapi juga dengan pengembangan infrastruktur, pelatihan tenaga kerja, dan transfer teknologi. Alih-alih terus memusatkan bantuan pada usaha mikro yang tidak kunjung berkembang ataupun tengkulak digital yang memutar-mutar uang (keduanya tak signifikan produktif), fokus yang lebih presisi terhadap sektor riil dapat memberikan dampak yang lebih efektif.

Kendati memang kurang seksi, dengan mengalihkan fokus ke sektor-sektor ini, Indonesia dapat meningkatkan produktivitas per pekerja, memperluas pasar domestik, dan akhirnya, mendorong ekonomi dan kesejahteraan nasional ke level yang lebih tinggi. Jika memang demikian mimpi Indonesia, kita segera memerlukan transisi narasi dan diskursus lebih banyak mengenai value creation yang betul-betul nyata.

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

No responses yet