Sitemap

Q2: Mengartikulasikan Zaman

Refleksi Triwulan Kedua 2025

9 min readJul 4, 2025

Halo, selamat tengahari!

Jika kamu sedang membaca ini tak lama setelah rilis, artinya aku sedang memulai Q3 2025 dengan berkembara di negeri tetangga. Doakan keselamatan dan keberkahan untukku, ya!

Tentu, salah satu agenda penting dari solo trip kali ini adalah mengunyah hasil-hasil refleksi dari Q2 2025-ku yang absolutely phenomenal — bulan-bulan yang aku yakin telah cukup mengubah arah dari masa depan dekatku.

So let’s dive in.

merantau sejenak

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Jakarta & My Personal Zeitgeist

Aku lagi senang dengan kata ‘zeitgeist’.

Photo by Fahrul Razi on Unsplash

Zeitgeist sendiri adalah kata dari bahasa Jerman yang memiliki arti semacam ‘spirit zaman’. Ia merepresentasikan apa sih spirit atau mood dari suatu zaman? yang tercerminkan dari ide-ide, prinsip, dan situasi geopolitik di era tertentu.

Dalam era serba perubahan sekarang— dari kemajuan digital seperti AI hingga bayang-bayang Perang Dunia ke-3 — amat terasa bagi seluruh pengamat global bahwa sedang terjadi pergeseran zeitgeist. Kunjungan ke media sosial mengungkap suatu realita yang serbategang dan all men for themselves. Jujur, jemari dan mataku ikut gelisah dengan pemberitaan masa kini itu, dan instingku berkata lebih baik untuk menghindarinya. Namun, seperti biasa masih terbesit tanggung jawab bahwa I should be doing something about it (atau I will be doing something about it!) tiap ada berita kezaliman baru yang mengetuk pengetahuanku.

Kegelisahan ini berhasil terhembuskan ke dalam lingkaran hariku, membuatku a lot more tired than I should be.

Sebagai konteks dan kronologi singkat (tak seperti kronologi detail Q1 lalu), selama tiga bulan terakhir, aku menjalankan suatu internship di bidang yang betul-betul baru. Ini mengharuskanku untuk merelokasikan diri ke Jakarta. Walau sebetulnya nyaman karena kostku hanya 1,5 km dari kantor (bisa jalan kaki!), aku tetap saja sedikit terbebani dengan udara Jakarta yang begitu berat, baik secara harfiah maupun kiasan.

Kalau kata Rajji (sobatku yang seharusnya familiar bagi kalian pembaca setia) saat kami mengopi pekan lalu, bedanya antara Bandung dan Jakarta adalah bahwa nuansa Bandung yang santai membuat lelah tetap terasa passionate, sementara nuansa Jakarta adalah lelah murni. Jadi, meski pekerjaan dan segala novelty dari ibukota membuatku hepi sekali, tetap saja ada something di ‘udara’-nya yang melelahkan.

Kalau kita overanalyze, bisa jadi juga perasaan capek-yang-gak-ngerti-kenapa-capek-meski-senang ini berpangkal dari kegelisahanku terhadap kondisi makro dunia, keresahan bawah sadar karena tengah menerjang masa transisi kedewasaan yang penting, atau juga karena aku sebetulnya gak ada istirahatnya hahaha.

Terkadang, aku seolah terbang di awan, tetapi terkadang juga aku seperti ingin tiba-tiba duduk meringkuk di sebelah teman terbaik dan menangis tanpa alasan dalam dekatnya.

Entahlah.

Jika kita tarik ke kondisi pribadiku di tiga bulan ke belakang ini, menurutku agak sulit untuk mendefinisikan semacam personal zeitgeist karena selayaknya keadaan dunia, this zeitgeist is precisely defined by its uncertainty. Amanah beragam dan bertubi-tubi dari segala penjuru menyisakan sedikit sekali ruang untuk aku merenung dan merasa. If anything, kondisi-kondisi yang seperti ini mengajarkanku untuk tetap ‘menempatkan kepala di atas air’ — mau seriuh apapun arusnya. Namun, di waktu yang sama, kepala tersebut harus bisa legowo dalam menyerahkan kendali dan enjoy the ride tatkala arus tersebut menggeserkannya sebadan-badan.

Jika kiasan-kiasan aneh tersebut kurang terbayang (wkwk maav yh), berikut aku coba jelaskan breakdown energiku melalui Four Burners Theory:

Menurut Four Burners Theory, hidup bisa kita bayangkan sebagai kompor dengan empat pembakar. Masing-masingnya merepresentasikan satu bagian penting dalam hidup: keluarga, teman, kesehatan, dan pekerjaan. Namun, dengan gas yang terbatas, menjadi sulit bagi kita untuk menyalakan kesemuanya.

Untuk aku di Q2 2025 ini, kompor “Work” menyala paling terang. Pekerjaan utamaku yang baru cukup nyaman dan amat sangat work-life balance, tapi karena namanya juga intern, aku pun melakukan berbagai sulap tambal-sulam dengan side projects (walau tak perlu-perlu amat sebetulnya kalau lebih cerdas finansial) untuk bisa ber-lifestyle cukup nyaman di ibukota. Belum lagi berbicara mengenai segala hobi dan komunitas lain yang kuikuti juga. Intinya sih, selain karena banyaknya pekerjaan, besarnya jarak fisik antara aku dengan teman, apalagi keluarga, membuat kompor “Work” ini merebut panggung.

Selanjutnya, mungkin kompor “Friends” dan “Health” memiliki porsi yang kurang-lebih imbang. Alasannya, kostku tergolong cukup gak enak aksesibilitasnya dari poros MRT, dan dengan demikian aku cukup terasingkan dari tempat-tempat nongkrong beken seperti Blok M. Ini membuat pertemuan dengan teman harus sangat disengaja dan dijadwalkan dengan baik, tetapi alhamdulillah aku tidak kekurangan teman yang mengajak maupun yang mau diajak untuk menghabiskan weekend bersama. Meski hari kerja membatasi ruang gerakku di ranah pertemanan, ia menciptakan struktur pada hari-hariku yang amat aku apresiasi. Pagi yang kosong dan panjang memberikanku keluangan untuk berolahraga. Bahkan, di bulan Mei aku sempat on track untuk lari 100 km dalam satu bulan dan aku yakin saja bisa tercapai seandainya aku tidak tiba-tiba jatuh sakit akibat bad trip donor darah hahaha.

Terakhir, kompor “Keluarga” agaknya dibiar, tetapi ada kalanya dinyalakan cukup terang. Karena aku merantau dan grup keluargaku tak aktif-aktif amat, porsi atensi dan energiku untuk keluarga tidak begitu banyak. Rasanya tak jauh dari waktu aku IISMA ke Amerika. Namun, bedanya dengan IISMA, aku bisa pulang ke Bandung sesekali (kayaknya rata-rata 2 kali sebulan). Tiap kedatanganku di Bandung pasti beririsan dengan banyak cerita, banyak penugasan mengantar ke mana-mana, dan semacamnya yang bertumpuk banyak — persis karena aku lama tak ada.

Dipikir-pikir, aku menjalankan porsi-porsi kompor yang cukup wajar untuk seorang perantau mula. Dan aku cukup satisfied dengan keseimbangan yang kupertahankan selama tiga bulan kemarin, kendati tentu ada beberapa saat keempat kompor begitu jomplang atau juga fenomena gas habis.

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Dipping Into Development

Photo Credit: Miranda Aisha Putri, J-PAL

So why are you interested in the development sector?

Pertanyaan tersebut ternyata mengubah trajektoriku — atau lebih tepatnya, jawabanku atas pertanyaan tersebut mengungkapkan trajektoriku yang sebenarnya selama ini.

Berkata seorang supervisorku dalam kesempatan farewell di akhir internship, “When we looked at this guy’s CV, we thought this was totally consulting material. But in the interview you could really explain personally why you wanted to get into the development sector, and we’re glad you’re here.”

Sebetulnya, motivasiku sejak SMA cukup konsisten. Dari semangat tech for society dan battling inequality yang membawakanku ke Manajemen Rekayasa, lalu eFishery, aku rasa benang merah utamanya tetap sama saja ketika aku memutuskan untuk mencicip dunia applied economics di development sector yang memungkinkanku untuk terlibat lebih dekat dengan masyarakat yang hendak kubantu.

Development sector sendiri merujuk kepada sektor berisikan organisasi, lembaga, dan inisiatif yang berupaya secara eksplisit untuk meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan secara global — biasanya seputar pengentasan kemiskinan, pembangunan ekonomi, pendidikan, keberlanjutan, dan sejenisnya. Sektor ini bertujuan untuk mengangkat taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di wilayah berkembang, contohnya di Indonesia.

Tempatku ber-intern kemarin menjadi langkah formal pertamaku di sektor ini, dan aku merasa cocok yang bukan sekadar cocok hahaha. Berbagai hal darinya, dari pekerjaan beragamnya, pembelajarannya, hingga orang-orangnya, terasa sefrekuensi. Ini membuatku yakin dan tertarik untuk mengeksplorasi sektor ini lebih jauh, God-willing. Para kakak yang kutemui di sana pun banyak mengafirmasi pilihan ini, dan bahkan mengafirmasi kecocokanku secara pribadi dengannya! I really wish I could tell you all more about it, but alas lots of it is confidential haha.

Intinya, dengan perantauan ini, juga pekerjaan ini, Q2 2025 memuat begitu banyak firsts atau hal-hal yang pertama kali kulakukan seumur hidup!

Firsts

Bulan April menjadi saksi pertama kalinya aku memainkan peran panitia penting di acara keluarga besar buyut yang diinisiasi oleh Ibuku, pertama kalinya aku membuat bunga water coloring yang menurutku sendiri cukup bagus HAHA, pertama kalinya membonceng Neng dan dua keponakan untuk menonton Jumbo, dan pertama kalinya aku mendapatkan proyekan sampingan super duper rahasia. Selain itu, April-lah pertama kalinya aku menjadi fotografer Sakola Kembara, fotografer nikahan adik kelas SMA, perantau di Jakarta, dan bahkan wisudawan. Ia juga pertama kalinya Nyarita berkolaborasi dengan Lingkar Sastra Utara (sekarang makin langgeng!) dan juga pertama kalinya berulang tahun seorang diri.

Lalu, bulan Mei adalah pertama kalinya aku menggabungkan berbagai sirkel kuliahku di satu pertemuan di Blok M (yang terjadi berulangkali lagi setelah itu hahaha), pertama kalinya lari 10k di Jakarta, dan pertama kalinya menggunakan software R secara serius. Mei juga pertama kalinya aku menaiki TransJakarta double decker, naik tangga ke lantai teratas Perpustakaan Nasional, dan mengikuti kelas pottery — semua dalam rangka main sama adik bungsuku. Mei juga pertama kalinya aku mengikuti talkshow bersama Pak Ahok, kuliah umum dengan pemateri Pak Gita Wirjawan, dan mentoring pagi-malam dengan Kak Bagoes. Mei 2025 adalah pertama kalinya aku tiba-tiba jatuh sakit akibat donor darah, juga pertama kalinya aku mengakibatkan penyakit rindu akut pada orang lain hahah. Bulan ini juga pertama kalinya aku memoderatori kuliah umum dan menjadi pemilik ijazah kuliah, pertama kalinya mendatangi HOWL dan kantor McKinsey, dan pertama kalinya melakukan hal-hal receh semacam makan gultik, memakai jaket himpunan ke kantor, dan mengoperasikan paper shredder.

Terakhir, bulan Juni adalah pertama kalinya aku mendatangi perpustakaan Istiqlal, pertama kalinya aku work from Gentong (gara-gara orang Kemendagri, but that’s a long story), pertama kalinya lift kantorku menyala lagi, dan juga pertama kalinya tulisanku menembus BandungBergerak dan CNBC! Juni juga pertama kalinya aku melakukan walking tour di Jakarta, pertama kalinya menginap di kantor, dan juga pertama kalinya berinteraksi dengan editor Gramedia hohoho. Juni kemarinlah pertama kalinya membawa orang Brazil ke curug di Sentul (longsor pula), pertama kalinya ikut kuliah umum di Georgetown cabang Jakarta (view-nya bagus parah cuy), pertama kalinya ngopi dengan penerbit ternama, dan pertama kalinya bengong di GBK bersama Azmi dan Kholily. Ada juga side quests random untuk mencari cuan seperti pertama kalinya aku PP ke Kabupaten Kuningan demi menjadi fotografer nikahan dan pertama kalinya menjadi broker pembuatan video AI (aneh memang).

Seru sekali, memang, hidup menjadi Rakean :D. I wouldn’t have it any other way!

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Rejections and Conclusions

i like this photo’s vibes

Selama bermagang, aku sebetulnya mengusahakan beberapa opportunity lain yang cukup signifikan bagi masa depan dekatku. Dengan demikian, berkali-kali aku mengistilahkan Mei sebagai bulan padat dan Juni sebagai bulan penentu.

Ternyata, Juni telah bermandat bahwa opportunity tersebut lain milik.

Alhamdulillah, untungnya aku sebetulnya sudah legowo dengan outcome apapun karena yakin-yakin saja akan diarahkan menuju jalan-jalan yang terbaik — sudah diistikharahkan dan diikhtiarkan. Hanya saja, aku memang harus menata ulang rencana dan berkontemplasi lebih panjang mengenai pilihan-pilihan mendatang. ‘Kemurnian legowo’-ku pun ternyata tak bebas noda, terlebih ketika tak sedikit orang lain seolah mengetuk-mengetuk jendelaku dengan sembrono via pertanyaan-pertanyaan mereka. Terkadang hal-hal seperti ini yang membuat kembali meragukan substansi diri, walau secara logika mah sudah khatam bahwa antara rezeki dan kelayakpantasan tak selalu berkorelasi.

Aku harus cukup pandai saja dalam mem-balance antara menjadi orang paling fastresp di dunia dengan kebijaksanaan dalam membalas, karena ketika aku merasa annoyed (tapi tetap fastresp saja) aku cenderung agak dingin dan masam hahaha.

Selain soal menangani orang-orang yang mengganggu WhatsApp dan DM-ku secara bijak, aku rasa Q2 telah mempertemukanku dengan berbagai kasus unik yang mengharuskanku belajar bermuamalah dengan lebih baik. Aku menjadi lebih peka terhadap attachment styles dan communication styles orang yang berbeda-beda, juga terkait behavior orang lain macam apa yang diri ini suka dan tak suka. Dengan berpindahnya aku ke Jakarta dan dinamika hidup baru, ada juga berbagai persoalan yang muncul karena jarak dan juga kasus konklusi yang melegakan sekaligus memberatkan. But hey, I guess that’s how life is. Beautiful, isn’t it?

Dengan merefleksikan hal-hal ini, jika disimpulkan, sepertinya perilaku diriku yang paling menghasilkan outcome efektif (Pareto 80:20) di Q2 ini adalah just taking action. Bukan bertindak tanpa berpikir, melainkan bertindak tanpa terlalu banyak berpikir di luar porsinya. Dengan menyerahkan kendali, berfokus dalam berikhtiar jadi jauh lebih plong. Aku rasa memenuhi hariku dengan putting in the hours to do damn good work telah membuahkan beberapa karya terbaikku yang aku sendiri banggakan. Performa yang tercipta dari usaha-usahaku — untuk menjadi pekerja yang baik dan manusia yang baik — beberapa bulan belakangan ini pun telah banyak diafirmasi oleh orang-orang yang kuhormati, yang membuat lelahnya terasa terbayarkan.

Semoga aku terafirmasi juga oleh Allah sebagai salah satu hamba-Nya yang ihsan. Dengan begitu, semoga hutang eksistensiku pun kelak bisa terbayarkan.

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

Responses (1)