Romanticizing Life: Joy in the Ordinary

Rakean Radya Al Barra
5 min readNov 3, 2023

--

Dalam hidup yang serba berlari dan mengejar, suatu pencapaian akhir kerap menjadi puncak romantisme yang diimpi-impikan. Namun, apakah tak cukup untuk memandang hal-hal banal di sekitar saat ini sebagai hal yang sama-sama patut diapresiasi?

Tulisan ini adalah panggilan untuk semua temanku yang terjebak berpacu dalam labirin — barang butuh sedikit pengingat untuk melembutkan langkah.

the parable of the mexican fisherman

And October Ends…

Oktober 2023 adalah salah satu bulan tercepat dalam hidupku. Dengan kuliah 21 SKS bersama UTS kedelapan mata kuliahnya, rintisan proposal Tugas Akhir, dua (atau tiga ya?) lomba, tanggung jawab organisasi, dan urusan serta perasaan lain yang intensitasnya membludak tiba-tiba, Oktober rasanya terlampaui dalam sekejap. Sulit membedakan antara satu hari dengan hari lainnya, abisnya ya sama aja hustling stengah idup.

Menjalaninya aja sulit fokus — apalagi menceritakannya. Jadi gejala dan fenomena khusus sebulan ke belakang kurang mampu kuuraikan. Tetapi, aku rasa masih ada hal yang bisa jadi bahan cerita— suatu pesan yang benar-benar menempel di kepala pada kesempatan refleksi di akhir bulan Oktober.

sudut remang kampus

Kira-kira simpulanku begini: alam pikir kerap meloncati ruang dan waktu, tapi sebaiknya ia tak terlalu lama berlabuh di masa yang lain. Rekaan dari musim-musim yang telah berlalu, juga visi untuk yang belum datang, memang penting. Tapi yang kita punya itu hanya sekarang, sebiji pasir yang jatuh pada jemari hanya untuk hilang digantikan pasir berikutnya. Memang sekarang itu tak semenarik masa lain, tapi setidaknya itu yang kita punya.

Small but Certain Happiness

Photo by Manki Kim on Unsplash

Meanwhile, let us have a sip of tea. The afternoon glow is brightening the bamboos, the fountains are bubbling with delight, the soughing of the pines is heard in our kettle. Let us dream of evanescence, and linger in the beautiful foolishness of things. (The Book of Tea)

“Buku impulsif” paling life-changing yang pernah kubaca: The Book of Tea karya Okakura Kakuzō. Aku benar-benar iseng membacanya tanpa ekspektasi apapun hanya karena waktu itu diskon di Amazon (gratis malah). Ia menceritakan tentang sejarah dan budaya teh di Jepang, dan lebih luas lagi tentang filosofi di baliknya. Yang membuatnya menarik dan menagih adalah bungkusan kata-kata yang tersusun indah dengan amat hati-hati.

Okakura Kakuzō membawa istilah “teaism”, filosofi teh yang betul-betul mengapresiasi kesederhanaan. Karena katanya, teh itu tak seangkuh anggur, tak sesadar kopi, dan tak se-innocent cokelat. Ia hanya itu — teh. Dan itulah marwahnya. Sampai-sampai Kakuzō berani berkata, “Teaism is a cult founded on the adoration of the beautiful among the sordid facts of everyday existence.

Buku ini membuatku tersenyum tenang.

Aku membacanya mungkin tiga tahun yang lalu, tetapi aku teringat lagi tentang filosofinya setelah menemukan dua kanal di YouTube yang fenomenal. Di tengah keterburuan konten seperti reels yang cepat dan melatih atensi untuk gampang bosan, Life of Riza dan Quantum Boy berbelok ke arah sebaliknya. Segala karyanya pelan dan penuh pertimbangan, baik footage yang ditampilkan maupun narasi voice-over yang tak berlebihan.

Contohnya, vlog-vlog sinematik dengan paduan musik dan visual khas ala Kariza memberikan pandangan yang amat relatable untuk seseorang yang sama-sama berusia 20-an. Tapi bungkusannya yang tenang dan begitu aesthetic membuatnya. Ia berpesan untuk mencoba melihat small but certain happiness, karena “sederhana” tak berarti “kurang”.

Lalu, Quantum Boy, mahasiswa S3 di Harvard, mendokumentasikan detail-detail biasa saja dalam hidupnya dengan gamblang dan apa adanya. Dari intonasi suaranya hingga komposisi sederhana, segala perasaan yang ia tampilkan tak berlebihan. Tapi itulah yang malah membuat produktivitas gilanya terasa bisa dicerna. Karena tiap momennya ia manfaatkan dan apresiasi, misalnya, “Today is a good day cause I get to eat a donut in the snow.” Dan itu sangat me-manusia-kan ke-Harvard-annya hingga rasa-rasanya hidup seperti demikian seolah dekat untuk diraih.

Aku senang sekali dengan pembawaan mereka yang begitu mature — damai dengan kesendirian, sadar dengan kekurangan, percaya dengan kemampuan. Dan aku terinspirasi untuk kelak, jika tidak berkarya senada dengan mereka, setidaknya menjalani pendakian hidupku dengan ketenangan yang sama. Dan mudah-mudahan manfaat yang minimal sedemikian juga.

Lalu, karena akhir-akhir ini aku kebetulan sering mengulik hobi berkameraku, algoritma banyak menyodorkan video tentang dokumentasi sehari-hari tanpa tujuan lain selain mengapresiasi momen-momen ter-biasa. Karena yang biasa akan fana. Dan kita yang nanti, dengan “biasa” yang baru, malah akan merindukannya.

Jadi aku pun banyak foto-foto random, mencari hal-hal indah dalam se-biasa-biasa-nya hari. Apalagi dalam hari-hari yang luar biasa. Dan rasanya, tindakan melihat-objek-dan-mengeluarkan-kamera/hp-hingga-memencet-tombol, memelankan waktu sedikit dan memberikan ruang untuk bersyukur atas momen yang ada. Foto menjadi ritual meditasi sekejap yang mengingatkan bahwa “hey, ini loh hidup!”

Dan karena sebagian besar dari hidup memang hal-hal rutinitas dan biasa saja, ketika keindahan tampak padanya, bukankah hidup menjadi jauh lebih romantis?

romanticizing my life as an engineering student

To be fair, mungkin jauh lebih mudah meromantisasi kehidupan sehari-hari kalau tinggal di negara-yang-jauh-dari-khatulistiwa dengan cahayanya yang soft dan tampilan keseharian yang tidak semrawut.

But we can try :)

Tentu, tujuan dari romantisasi hal-hal kecil dalam hidup bukanlah — hanya — demi kesenangan dalam momen-yang-katanya-mindful itu. Aku pribadi tak sepenuhnya setuju dengan sang nelayan di the parable of the Mexican fisherman dalam foto di paling awal karena masih ada dimensi ‘potensi’ yang belum ia eksplorasi. Tapi sang industrialis pun tak tepat.

Endgamenya bukanlah untuk duduk manis dan menikmati hidup, yang dipegang oleh keduanya, tapi the endgame is that there is no endgame. Kita bahkan tidak tahu apakah kita masih akan diberikan hari, menit, dan detik selanjutnya. Sehingga potensi kebermaknaan perlu dimaksimasi — dan diapresiasi — dari satu saat ke saat berikutnya. Itulah yang membuat perjalanan mendaki lagi sukar menjadi sedikit lebih bearable.

Terlebih sekarang di mana kesederhanaan hari yang kita miliki terasa begitu mewah dan tak pantas jika dibandingkan dengan saudara kita di Gaza…

Maka, konstruk kebahagiaan kecil pada tiap momen hanyalah perantara untuk konsep lebih besar yaitu… syukur. Sadar akan anugerah dari Sang Pencipta dari keindahan-keindahan kecil yang sebetulnya tampak pada setiap sudut realita — asal kita mau menemukannya.

Life of Riza and Quantum Boy:

--

--