Saksi-Saksi Mas Darto

Cerita Pendek

Rakean Radya Al Barra
7 min readOct 11, 2024
Photo by Mike Labrum on Unsplash

Mas Darto baru saja dikubur. Setelah itu, para bapak-bapak RW 12 bengong bersama di kontrakan kecil yang ditinggalkan almarhum. Istri-istri mereka sedang entah ke mana, membantu mengurus keperluan (serta menghibur) 6 adik perempuan yang Mas Darto tinggalkan. Kini, kakak sulung mereka telah pergi, sama seperti orang tua mereka 10 tahun sebelumnya.

Pak RW, yang nama aslinya Abdurrachman tetapi semua orang di perkumpulan gang Majusuka telah lupa karena ia sudah kelamaan menjadi ketua RW, melirik ke kanan dan kirinya yang semakin lama semakin tak nyaman. Diam semua. Ia berdeham, berusaha untuk memecahkan sepi yang hanya dihiasi asap rokok, kacang kulit, dan suara samar Mobile Legends dari handphone Mang Opik si tukang parkir Alfamart terdekat. Mendengar deham tersebut, perlahan para mata bapak-bapak beralih ke ujung ruangan tempat Pak RW sedang duduk.

Inilah saatnya berperan sebagai ketua RW yang baik, ia pikir.

Setelah mengucapkan salam dan membuka dengan sedikit lebih resmi dari yang ia inginkan, Pak RW memilih untuk tak membicarakan perihal teknis dan logistik kepergian Mas Darto beserta konsekuensinya bagi penduduk RW 12 Majusuka yang (biasanya) berbahagia.

Alih-alih begitu, dengan suara khas perokok berat, Pak RW menginisiasi, “Seperti yang bapak-bapak sekalian tahu, Mas Darto itu anak muda yang baik hati — wajah akrab di tengah kampung kita. Saya yakin kita semua kaget dan turut bersedih setelah tiba-tiba dipanggil Tuhan lewat penyakit. Jadi selagi tumben-tumbennya kami berkumpul banyakan di rumahnya, mari kita kenang Mas Darto, mungkin dengan cerita satu-satu. Barangkali kenangan bersama atau hal yang paling diingat dari Mas Darto.”

Bapak-bapak lain terlihat saling melirik dan bergerak tak nyaman dalam duduknya. Melihat itu, Pak RW mencoba menambah urgensi, “Kita coba rekam terus sampaikan ke adik-adiknya Mas Darto sebagai kenang-kenangan dari tetangganya. Mana tahu kita gak pernah ketemu mereka lagi, kan?” Lebih baik ia coba buat bapak-bapak ini bicara daripada sepi tidak jelas yang akan berujung ajakan mancing kurang manfaat, ia pikir.

Untungnya Pak Herman, Ketua DKM Masjid Asy-Syifa Majusuka, sekaligus bapak-bapak paling cerewet satu kecamatan, mengangkat suara. Pak RW buru-buru merebut handphone Mang Opik (“Pak RW, kok HP saya?!”) untuk dipakai merekam. Setelah diberi aba-aba, keluarlah suara Pak Herman yang sama seperti tubuhnya, kecil dan cekatan, “Hemat saya, Mas Darto ini salah satu percontohan bagi kita semua. Murah senyum. Rajin ke masjid. Giat bekerja. Suka ngambil pekerjaan ini-itu. Gak gengsi dibayar buat bersihin toilet umum. Sungguh mungkin dia lebih baik dari kita. Qadarullah, terkena penyakit tiba-tiba di usia yang sangat muda…”

“Gak tiba-tiba, Pak,” Mang Opik tetiba memotong dengan logat Sunda kental, dan hampir menyesali timpalannya, tetapi ia berlanjut setelah melihat rasa penasaran muncul di mata para bapak-bapak lainnya, “Maaf, Pak Herman. Maksud saya, penyakitnya gak tiba-tiba. Udah lama gejalanya, terus dia beberapa bulan lalu tanya-tanya soalnya adik saya pernah gejala yang sama, batuk berdarah segala macem itulah. Jadi saya saranin ke apotik ini-itu.”

Pak RW mengangkat alis, heran. Bapak-bapak lain mulai saling berbisik. Mang Opik berbicara lagi, “Lah, kok pada kaget, Pak? Bukannya si Darto suka cerita?”

Di antara bapak-bapak RW 12, Mang Opik memang yang paling dekat usianya dengan Mas Darto. Sama-sama 20-an gemuk, barangkali. Namun, dari penilaian Pak RW, Mas Darto termasuk tetangga yang cukup ekstrovert dan tak mengenal usia. Ada saja hal yang ia bicarakan ke tetangga lain di selingan pekerjaan serabutannya, sambil menenteng sepeda tuanya di gang-gang Majusuka. Kok bisa, hanya Mang Opik yang tahu tentang penyakitnya?

“Yang saya tahu,” potong Pak Gregory, pemilik toko bangunan kebanggaan RW 12, dengan suara kencangnya, “Mas Darto suka datang ke saya cerita, tapi gak pernah cerita penyakit. Terus dia saya bayarin buat beli roti kesukaan saya yang di toko roti Bu Febi di Wayang II. Selalu dia coba ke sana dari subuh biar masih anget. Itu betul-betul saya kenang. Kita banyak diskusi tentang cita-citanya nabung buat bisa pindah ke kontrakan Bapak Nia biar bisa muat tinggal bareng adek-adeknya.”

“Loh!” teriak Bapak Nia, yang nama aslinya Danu tetapi malu-malu hanya dikenal sebagai suaminya Ibu Dr. Nia, membuat semua orang kaget karena suara beliau betul-betul selangka pelangi. Bapak Nia, “Padahal buat dia bisa aja kita kasih murah. Daripada kosong terus. Gak pernah tahu, saya!”

“Jangan-jangan, dia gak pernah cerita ke kalian soal hutang orang tuanya itu?!” Bang Billy, mantan debt-collector yang beralih profesi menjadi tukang galon, bertanya dengan nada tinggi.

Sontak satu ruangan ramai dan penuh dengan berbagai bahasa keheranan. Setiap pria menginterogasi pria sebelahnya mengenai fakta-fakta misterius almarhum tetangga mereka. Jangan-jangan Mas Darto memang berniat menyembunyikan itu semua? Jangan-jangan Mas Darto sebenarnya pemalu? Jangan-jangan Mas Darto intel? (pertanyaan Mang Opik yang hanya setengah bercanda)

Jangan-jangan Mas Darto selama ini bisa diselamatkan?

Dalam pembicaraan kecil sengit antara Pak RW dengan Pak Salim, bendahara RT 05, mengenai status finansial Mas Darto yang selama ini begitu multipersepsi, Pak RW tiba-tiba sadar bahwa gosip seperti ini tak begitu layak untuk direkam. Ia terlebih dahulu menghabisi argumen Pak Salim (yang ngotot kalau Mas Darto pernah sampai meminjam uang ke DKM dari kencleng Jumatan), lalu menghentikan rekaman pada HP Mang Opik.

Inilah saatnya berperan sebagai ketua RW yang baik, ia pikir.

“PRIIIIIIIIIITTTT!!!!” Pak RW menjadikan tangannya peluit, keahlian yang membawa ia begitu jauh dalam kehidupan, dan seisi ruangan diam dalam takjub terhadap suaranya (atau begitu pikir Pak RW).

“Sudah, Pak, sudah! Bukan waktunya kita debat tentang Mas Darto. Kurang baik kalau kita rekam. Kita ulangi ya, yang tertib! Masing-masing boleh cerita tapi gak boleh dipotong. Kita coba susun gambar lengkap tentang sahabat muda kita ini.”

Bapak-bapak lain sepertinya berpikir bahwa itu ide yang cukup baik dan bahwa Pak RW telah berperan secara bijaksana (atau begitu pikir Pak RW). Mereka diam saja dan Mang Opik meminta maaf atas intrupsi awalnya — yang mengacaukan forum — dengan, “Punten, punten.”

Setelah itu, setiap orang bercerita mengenai kesan mereka terhadap Mas Darto, segala hal yang sering mereka bicarakan, dan kesulitan apa yang Mas Darto hadapi. Perlahan-lahan, mulai terungkap satu-satu hal yang diam-diam Mas Darto pikul — yang sepertinya ia konsultasikan hanya ke satu-dua orang yang ia kira mengerti. Perlahan-lahan, bapak-bapak dalam ruang tamu kontrakan kecil itu mulai tersedu, meskipun menahan tangis karena gengsi.

Pak RW termasuk yang paling berusaha menahan air matanya. Itulah wibawanya sebagai ketua RW yang baik, ia pikir.

Dari cerita-cerita yang dikumpulkan lengkap, ternyata, Mas Darto sang tetangga pekerja serabutan yang sumringah menuntun sepeda merahnya dan berdoa begitu khusyuk di masjid itu, masih belum usai dikejar masa lalu.

Mas Darto pernah bercerita ke Pak Somad, tukang fotokopi, tentang keinginannya bersekolah, yang dikorbankan untuk adik selanjutnya yang ia pikir lebih pintar. Ia pinjam buku-buku persiapan tes masuk kuliah dari bekas fotokopiannya. Lalu, Pak Salim mengulangi ceritanya tentang Mas Darto yang malu-malu meminjam, bahkan sampai recehan kencleng Jumat (yang tidak disanggah oleh Pak RW kali ini). Pak RW sendiri pernah menjadi semacam biro jodoh untuknya, karena Mas Darto sebetulnya ingin mencari perempuan keibuan yang lebih senior darinya untuk bisa bantu mengayomi adik-adik perempuannya (jadi Pak RW kira ia mapan-mapan saja). Sesuai cerita Bang Billy dan Pak Gregory, Mas Darto punya banyak impian, tetapi terhalang hutang orang tuanya yang pas-pasan ia cicil. Dan selanjutnya dan selanjutnya hingga, terakhir, Mang Opik bercerita tentang penyakit yang akhirnya menutup usia Mas Darto.

Semua hal ini, beserta cerita-cerita kecil interaksi keseharian Mas Darto, terekam dalam HP Mang Opik, siap untuk dijadikan hadiah bagi keenam adiknya. Setelah berbagi sebanyak dan sedalam itu, tak seperti obrolan biasa mereka sehari-hari, para bapak memikirkan hal yang persis sama, tetapi terlalu tak nyaman untuk mengakuinya. Pak RW melihat hal ini.

Sebagai ketua RW yang baik, daripada membiarkan suasana tak nyaman, ia coba hibur para tetangganya, “Sayang sekali ya, Mas Darto ini. Kenapa dia gak cerita lengkap, coba? Kan bisa kita bantu.”

Seisi ruangan mengangguk dengan lega, seraya berkata, “Iya ya?”

Dengan begitu, juga dengan perasaan sedikit lebih tak bersalah (toh sudah dibuatkan konten untuk adik-adiknya), para bapak kembali ke pos masing-masing dan meninggalkan kontrakan Mas Darto untuk terakhir kalinya.

Kehidupan di Majusuka berjalan seperti biasa saja — sampai suatu saat Mang Opik ditemukan tergeletak nan pucat dengan mulut berdarah depan Alfamart dan Pak RW bingung sekali dengan apa yang harus dilakukan sebagai ketua RW yang baik.

Mungkin cerita-cerita kebaikan lagi agar suasana enak kembali.

Ya, itu langkah seorang ketua RW yang baik, ia pikir.

Photo by Dave Webb on Unsplash

untukmu yang memilih bertarung dalam sepi

kau punya segala hak untuk berteriak dari tebing agar seisi hutan dan lautan tahu

tapi kau pilih untuk tak merisaukan para burung yang sudah cukup khawatir dengan bisnis dan politik sarang, apalagi para tuna yang sudah cukup lelah menghindari maut dalam kelompok mereka sendiri

aku hormati pilihanmu

tapi barang kau teringat dengan telinga kecilku ini yang tak selalu sempurna terbuka menyambutmu dan mata lesuku yang tak selalu sempurna berbinar menghadapimu,

akan kuhormati pula

agar teriak yang terjebak dalam kerongkonganmu menemukan setidaknya sebuah muara

dipetik spontan dari kepala tanpa banyak sunting. tidak ada satu inspirasi khusus dibalik cerpen ini; banyak trigger belakangan yang konvergen mengingatkan. keadaan cerpen sedikit terinspirasi dari ayat kalalah dan cerita jabir ibn abdillah radhiyallahu ‘anh.

--

--