Sang Ahli Wasiat

Kisah Seorang Pelukis dan Rumah yang Diwasiatkan Padanya

Rakean Radya Al Barra
10 min readApr 12, 2024
Photo by Annie Spratt on Unsplash

Bab I — Diberikannya Rumah

Alkisah — adalah seorang lelaki muda yang kaget betul ketika ia diberitahu bahwasanya sebuah rumah hendak diwasiatkan padanya oleh seorang dermawan yang penuh kasih.

“Kutitipkan rumah ini padamu, Nak,” berkata sang dermawan dengan bijaksana, matanya berbinar, memberikan sebuah kertas kecil bertuliskan alamat dan instruksi pemeliharaan rumah kepada sang pemuda, “Agar kamu dapat melukis karya-karya indah dan memperindah dunia ini sebagaimana aku.”

Sang pemuda memang adalah seorang pelukis. Setidaknya ia menganggap dirinya demikian, meskipun ia belum betul-betul memiliki karya lukisan. Tetapi sang dermawan — seorang seniman termahsyur di tujuh benua— rupanya semenjak awal melihat sesuatu padanya dan merencanakan sesuatu untuknya.

“Baiklah,” menjawab sang pemuda — sekarang seorang pemilik rumah baru — dengan penuh semangat naif khas pemuda, “aku berjanji akan menggunakan rumah ini dengan sebaik-baiknya.”

Rumah tersebut ternyata terletak jauh dari kota besar, dan mengharuskan setiap pendatang untuk berkendara di jalan gunung berliku-liku. Saat pertama kali datang ke rumah barunya, sang pemuda menatapnya kagum.

Tanahnya cukup besar. Cukup untuk sebuah kebun sederhana, saung untuk tamu, kolam ikan hias dengan air mancur, dan, dilingkupi sebuah pagar atau dinding batu, sebuah rumah yang tak terlalu mungil namun tak terlalu megah. Sang pemuda senang sekali. Langsung dipikirkan olehnya tiap-tiap sudut yang dapat mendukungnya untuk berkarya — memberinya inspirasi, peristirahatan, dan energi.

Ia lalu menghabiskan waktu yang lama sekali untuk mengenal tiap-tiap isi dari hasil wasiatnya, sembari mencoba melukis dengan alat-alat dan warna-warna indah yang tersimpan rapi — tentu oleh sang pemilik sebelumnya. Wasiat yang ia terima perlahan mulai dikenali.

Sang pemuda mulai akrab dengan tata letak rumah, termasuk beberapa ruang rahasia yang tak sengaja ia buka. Instruksi sang dermawan pun ia coba ikuti, hingga akhirnya ia dapat mengoperasikan alat-alat di rumah dan ia jadi paham bagaimana cara membayar token PDAM. Ia pun mencoba berbulan-bulan untuk mencari tanaman apa yang cocok di kebunnya — ternyata berbagai jenis sayuran. Semakin ia ulik, semakin kenal. Dan semakin nyaman di sana, semakin baik pula lukisan-lukisan yang ia hasilkan — yang amat indah berkat warna-warni elok dari cat khas yang ditinggalkan berember-ember oleh sang pemilik lama.

Semua terasa nyaman, akan tetapi hal yang sedikit mengganjal bagi sang pemuda adalah pagar rumah yang menjulang tinggi —sebuah dinding terbuat dari batuan abu raksasa, intimidatif dipandang. Setelah sekian lama, ia telah menjadi cukup terkenal dan orang sering berdatangan untuk membeli sayur-mayur dari kebunnya juga mengapresiasi karya-karya lukisnya. Tetapi sang pagar itulah yang membuat enggan untuk betul-betul bertamu.

Sang pemuda pada satu sisi sangat suka dengan pagar ini — gagah dan begitu cocok rupa dengan estetika tanah rumah itu. Pun ia tak suka sembarang tamu. Tetapi setelah cukup lama dengan sedikit sekali pendatang, pernah ia coba untuk meruntuhkannya. Namun, setelah dipukul besi, retak pun tidak. Digali pun tak bisa lantaran fondasinya yang berakar kuat jauh ke dalam tanah gunung itu. Maka ia kehilangan alasan untuk mencoba mengintervensi.

Tapi sang pemuda akhirnya tak risau. Aku bisa mencoba menanam apapun di kebunku, tapi hanya sayur tertentu yang dapat bertahan. Aku bisa mencoba mengundang tamu sebanyak mungkin, tapi pagar batuku itu membuat banyak orang enggan.

Kedua hal ini sejatinya sama, jadi aku tak perlu khawatir: tak perlu dipaksakan, memang dari sana begitu adanya.

Bab II — Untuk Apa Rumah?

Photo by Gabor Barbely on Unsplash

Jangan khawatir, wahai pembaca, karena sang pemuda ini tidak sama sekali tak punya tamu atau teman. Ada saja yang ia undang bertamu, dan di antaranya ada dua tamu tetap yang istimewa — seorang badut sirkus dan seorang penghuni gua.

Keduanya pun ternyata adalah kenalan sang dermawan — atau setidaknya, sang badut memanggilnya “Si Tua” dan sang penghuni gua mengenalnya sebagai “sang bijaksana”. Sosok misterius itu pun telah menitipkan tanah-tanah kepada mereka berdua sebagaimana dititipkan pada sang pemuda yang gemar melukis itu, dan dari tanah masing-masing itulah mereka semua mencari penghidupan. Ketiga sahabat itu gemar saling berkunjung, tiap kedatangan dan tawa-diskusinya membuat mereka teringat akan kesamaan asal mereka dan kebaikan sang dermawan.

Sang pemuda pertama kali bertemu sang badut saat ia datang jauh-jauh ke negeri pegunungan untuk meminta dilukiskan gambar parodi seorang politisi yang dibuat berpakaian bayi. Sang badut pun senang-senang saja diajak bertamu, sembari melihat lukisan jenakanya digarap, dan di situlah ia bercerita bahwasanya ialah seorang badut yang memiliki sirkus di padang rumput utara.

Kunjungan pertama sang pemuda ke sirkus sang badut tentu berkesan. Sebagai tamu, ia diberikan kursi terdepan dalam seluruh pertunjukan hebat — dari sulap hingga akrobatik, bahkan kabaret dan lawakan tunggal. Seusai pertunjukan, sang badut mengajak sang pemuda berkeliling di sirkusnya dan melihat apa saja yang ada di sana, termasuk nanti rumahnya, katanya.

Sirkus termanajemen dengan cukup baik, walau sekilas terlihat berantakan. Sang pemuda kagum dengan berbagai pernak-pernik dan tenda-tenda sirkus, sehingga ia sering meminta berhenti untuk membuat sketsa — inspirasi untuk lukisan-lukisan berikutnya. Menariknya, di dekat sirkus itu terdapat sebuah bangunan mewah mirip hotel-hotel bintang lima. “Itukah rumahmu?” tanyanya kepada sang badut.

“Oh tidak, itu tempat tidur para hewan sirkus. Jika mereka tak kuperhatikan, nanti mereka akan berserikat dan menuntut gaji lebih dariku.” Sang badut lalu mengeluarkan suara aneh seperti kuda yang kegirangan. Barangkali itu adalah tawa, pikir sang pelukis.

“Baiklah, kalau begitu rumahmu yang mana?”

“Aku tinggal di mobil van seperti RV di Breaking Bad,” sang badut tertawa lagi secara khas, “Tapi jauh lebih bisa dihuni. Sini sini ayo lihat.”

Mobil van miliknya begitu meriah, bermotif serupa dengan mobilnya Scooby Doo dan kawan-kawan. Isinya pun enak dipandang, penuh dengan berbagai pernak-pernik dan dekorasi aneh, memang, tetapi tetap sangat layak huni. Dapur dan toilet pun mudah saja untuk diatur, memungkinkan kehidupan di jalanan yang sangat nyaman.

Dengan demikian, setelah tahun-tahun mengalir begitu saja, sang badut sangat sering mengundang dan mengajak sang pemuda untuk jalan-jalan mengelilingi tujuh samudera, tujuh benua, dan tujuh keajaiban dunia versi On the Spot. Sang pemuda menjadi terbiasa dengan skema pertunjukan sirkus dan melukiskan puluhan karya yang terinspirasi perjalanan-perjalanannya dari rumah van milik sang badut itu. Usai tiap pertemuan, sang pemuda semakin ingin menjadi sepertinya. Begitu unik hidup menjadi badut!

Alhasil, pada suatu waktu, ia bicara padanya, “Sangat beruntung ya dirimu! Tanah sirkus milikmu besar, dan kamu bisa pergi ke mana saja dengan rumah mobil van milikmu itu. Bahkan jadi sering berkunjung ke rumah banyak orang.”

Pada saat itu, sang badut sedang terbaring di atas kasur sang pemuda, menikmati pemandangan pegunungan dari jendela lebar tepat di samping lanannya. Tapi komentar ini menggelitiknya sehingga ia langsung berdiri penuh gairah.

“Apakah kamu bercanda, pelukis?” Sang badut tertawa keras, “Si Tua itu memberikanku tenda-tenda dan van, maka aku menampilkan pertunjukan dan memperbanyak silaturrahmi. Ia memberikanmu cat indah dan tanah pegunungan yang tenang, maka kamu melukis dan menanam sayur. Di dalam diriku pun ada kehendak untuk memiliki rumah kampung tenang seperti dirimu ini, tetapi bukan itu amanatku. Bukankah sederhana?”

Sang pemuda tersenyum. Ternyata badut bisa bijaksana juga, walaupun tertawanya aneh. Dan ternyata perkara peruntukan rumah sangatlah sederhana.

Bab III— Mengisi Ruang-Ruang Rumah

Photo by K Munggaran on Unsplash

Ada pun sang penghuni gua, tamu istimewa satu lagi, yang merupakan seorang juru masak yang handal — membuat heran dan terpukau semua kenalannya karena begitu kompleks dan unik karya masaknya. Sang penghuni gua mengajarkannya memasak, dan sang pemuda kembali mengajarkannya melukis. Lalu lebih dari itu, mereka sangat sering saling menghadiahi.

“Ada jamur langka di negeri raksasa yang dijaga oleh para naga, dan harus aku cari untuk memasak ide hidangan terbaruku,” pernah sang penghuni gua jelaskan, “Demikian sepenangkapanku dari Instagram Reels yang kutonton. Atau jangan-jangan aku salah ingat dan aslinya adalah negeri naga dan dijaga oleh para raksasa?”

Setelah sekian minggu mencari jamur dan sekian minggu lagi bertapa di rumah guanya untuk memprosesnya, sang penghuni gua akhirnya menghadiahi sebuah hidangan yang ia sebut “kari jengkol dengan jamur negeri naga” (ternyata benarnya adalah negeri naga dan dijaga para raksasa) dalam sebuah kontainer makan bening berbahan kaca.

Ternyata begitu lezat hidangan tersebut! Untuk mengenang jasanya karena telah repot-repot membuatkan kari itu dan telah begitu berkesan, sang pemuda memutuskan untuk menyimpan sang kontainer makan kaca dengan penuh sayang pada rak bukunya.

Saking berkesannya, dengan kontainer sebagai pengingat akan pengalaman tersebut bersama sahabatnya, sang pemuda tergerakkan hatinya untuk membuatkan lukisan-lukisan yang terinspirasi darinya. Satu lukisan membayangkan negeri naga. Satu lukisan menggambarkan gua yang darinya keluar asap dapur. Satu lukisan merepresentasikan rasa umami sang kari dengan abstrak. Satu lukisan mengangkat jengkol dan jamur secara minimalis sebagai aset polanya. Lukisan-lukisan ini pun kemudian menggerakkan hati banyak orang, menambah kesan dan keindahan pada langkah hidupnya masing-masing.

Bagi sang pemuda, entah mengapa, rasanya begitu tepat untuk menyimpan segala sesuatu — toh turut serta dalam proses berkaryanya. Sang badut kerap memberikan hadiah-hadiah aneh dari segala penjuru dunia. Sang penghuni gua memasak untuknya lagi dan lagi. Tamu-tamu yang lain pun meninggalkan bekas yang sang pemuda simpan dengan telaten.

Tapi ternyata pada suatu hari, sang pemuda menyadari bahwa kontainer makan berbahan kaca yang dahulu terisi kari jengkol dengan jamur negeri naga entah hilang ke mana. Barangkali ia teledor saja dan lupa menyimpannya di antara tumpukan-tumpukan barang. Atau barangkali ada jin iseng yang melenyapkannya. Atau barangkali kucing jenakanya tak sengaja memecahkannya dan pembantu rumah telah membersihkannya (atau sebaliknya, kita tidak pernah tahu).

Hilangnya kontainer ini tiba-tiba membuat sang pemuda merindukan rasa kari dan juga temannya itu. Akan tetapi, ia sadar sang penghuni gua pun punya misinya sendiri — yang butuh banyak mencari bahan dan banyak merenung di gua sederhananya itu, dan tak dapat dipaksakan untuk bertemu. Maka percumalah mengharapkan kari itu lagi, dengan rasa yang sama.

Dari situ, ketika ia menengok isi rumahnya dengan lebih kritis, sang pemuda menemukan bahwa ternyata banyak sekali barang yang telah ia kumpulkan. Begitu ironis; tempat untuk tamu pun semakin sedikit karenanya.

Aku harus apakan barang-barang ini?

Lukisan-lukisanku semakin sini semakin terasa hambar, semakin tak menginspirasi. Energiku terkuras perfeksionisme melukis, hingga kebunku tak terurus. Barangkali karena barang-barang ini terlalu banyak dan membuat rumah penuh nan tak nyaman. Atau barangkali karena barang-barang ini sudah terlampau kuno dan tak lagi menginspirasi hal baru. Aku butuh kesegaran!

Tapi… aku harus apakan barang-barang ini?!

Bab IV— Menata Rumah

Photo by Rick L on Unsplash

Ada pun seorang tamu jauh lain, tamu istimewa ketiga, yang suka datang ke rumah gunung berpagar tinggi itu untuk membacakan syair-syair — seorang gadis kecil yang dijuluki oleh pelaut sebagai “Si Gadis Pantai”. Kerindangan sekitar adalah belahan dunia baru baginya, sehingga ia senang menetap dan mencari inspirasi untuk membuat syair-syair baru — yang ia nyanyikan tiap malam kepada laut agar para kapal tersesat dapat menemukan jalannya.

Sang pemuda ingat sekali bahwa sang gadis itu tinggal di dalam sebuah mercusuar di tepian pantai timur yang ruangan-ruangannya tertata rapi nan estetis seperti dalam maket-maket mahasiswa Desain Interior ITB. Rumah itu dan pantai sekitarnya telah menghasilkan beribu-ribu sketsa dalam buku-buku sang pemuda. Maka beruntunglah aku jika bisa kumintakan sarannya tentang barang-barangku, pikir sang pemuda, dan berkembaralah ia ke lautan pada suatu malam.

Ia temukan Si Gadis Pantai sedang bernyanyi, membawakan syair aneh tentang seorang nenek penyihir tua dan pernyataan sikapnya tentang kebijakan lahan kritis dan konflik agraria yang tak begitu sang pemuda pahami artinya. Apapun itu, sepertinya syairnya itulah yang menunjukkan jalan kepada para pelaut tersesat yang tak pandai mengikuti sinar mercusuar.

Sang pemuda mengungkapkan pertanyaannya, lalu menunggunya selesai bersyair. Dan akhirnya sang gadis angkat bicara.

“Jika barang-barangmu itu tak terpakai dan tak berharga, buanglah,” ia nasihati, matanya tak lepas dari ombak-ombak besar dan lampu-lampu kapal di kejauhan.

“Apa itu berharga?” tanya sang pelukis dengan sejujur-jujurnya pertanyaan, “Aku tak tahu cara membedakan apa yang berharga dengan yang tidak.”

Tak menjawab pertanyaannya, Si Gadis Pantai hanya mengangguk, “Aku pun dulu senang memelihara barang-barang. Semua terasa berharga.”

Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam pembicaraan, mata sang gadis lepas dari samudera dan bertemu langsung dengan mata lawan bicaranya. Sebiru lautan terdalam. “Melepas barang-barang menjadi sulit untukmu, ya?” bertanyanya dengan nada kasihan, “Kurang-kurangi; percaya padaku.” Sang pemuda hanya mengangguk setuju.

Sang gadis pantai melepas tatapannya dan berjalan di atas bebatuan hitam nan halus di tepian pantai menuju sisi lain laut. Sang pelukis mengikutinya. Sembari berjalan, sang gadis berbicara lagi, rupanya ada lanjutan dari tanggapan sebelumnya, “Kurang-kurangi, atau… kamu harus punya ruang yang lebih besar.”

“Kamu tahu rumahku sulit dijangkau orang lain. Pagarnya begitu tinggi dan menyeramkan.”

“Begitu ya?” Si gadis pantai tertawa, “Pantas saja. Segala hal sulit masuk; sekalinya masuk, ia sulit keluar! Tapi bukankah kamu sendiri yang membiarkannya demikian sulit?”

“Orang-orang pun mengira ia sulit dengan sendirinya.”

Sang gadis mengangguk percaya, “Aku pernah melihatnya.”

“Ingatkah saung kecil di tanah wasiatku, di dekat kolam dan di luar pagar rumah? Seringkali temanku seperti si badut sirkus dan si penghuni gua dan beberapa lainnya menetap di rumah, tetapi banyak pejalan yang sekadar ingin menepi beristirahat di saung. Lalu aku membekalinya hasil-hasil kebunku dan mungkin beberapa sketsa sebelum mereka pergi lagi,” sang pemuda jelaskan dengan penuh pertimbangan, “Mungkin barang-barang harus kuhilangkan dan rumahku sepenuhnya kujadikan saung peristirahatan sementara saja.”

Si Gadis Pantai berhenti berjalan dan menoleh ke belakang, cemberut, “Kenapa harus begitu?”

Sang pemuda termenung sebentar, “Mungkin lebih bermanfaat?” Balasan ini mengundang tawa.

“Tambah saja saungmu itu. Kamu juga masih butuh rumah.”

“Ah iya,” sang pemuda mengangguk, “Mau memuatkan lebih banyak barang atau mau lebih bermanfaat, keduanya butuh membangun ruang.”

“Memang demikian yang benar,” sang gadis mengafirmasi, lalu bersyair,

“kuberi biji, jadikan rindang

kuberi pendek, buatlah panjang

kuberi api, nyalakan bintang

kuberi rumah, bangunlah ruang!”

Setelah sang pemuda telah kembali ke rumahnya di pegunungan, ia merapi-rapikan barang-barang yang tergeletak di seantero ruangan dan tertawa. Berbagai hadiah dan kenangan dari orang lain baru ia lihat seolah dalam cahaya baru.

Ia temukan cat sisa wasiat sang dermawan, kayu-kayuan dari kakek-kakek pembuat angklung, puluhan jenis ornamen dan kain dari seorang syekh yang pandai tidur, paku dan palu dari ibu-ibu pemilik gorila, belum pula segala macam oleh-oleh aneh dari sang badut dan sang penghuni gua dan si gadis penyair, atau pun yang lainnya.

Cukuplah ini untuk membangun ruang-ruang rumahku.

Dan ketika rumahku lebih besar, dan tanahku lebih manfaat, lukisan-lukisanku akan lebih hebat lagi.

Lagipula — aku telah berjanji untuk menggunakan rumah ini sebaik-baiknya!

Photo by Vera Gorbunova on Unsplash

Awalnya kisah ini berjudul “Renungan Bebersih Gudang” akibat beberapa refleksi dari keturutsertaanku dalam membersihkan ruang gudang di rumah yang membuatku mempertanyakan sifat-sifat sentimentalku sendiri. Tetapi entah kenapa aku merasa ter-undang untuk menulisnya dalam bahasa metafora yang lebih naratif sehingga lahirlah “Sang Ahli Wasiat”.

Tulisan ini dibuat dengan imaji absurdisme ala-ala Ghibli dan kisah-kisah lama; semoga sewaktu dibaca bisa kerasa ^^

--

--