Say, “Yes!”: Cara Memaksa Diri Belajar

Practice Makes Perfect, But How Do You Start “Practice”?

Rakean Radya Al Barra
6 min readMay 10, 2024
Johnny Harris featured on the New York Times

Aku termasuk salah satu subscribers awal Johnny Harris, jurnalis dan videografer spesialis politik internasional asal Washington DC yang tak jarang memukau audiensnya dengan storytelling style khasnya, bahkan sebelum ia bertransisi dari Vox ke kanal pribadinya. Dan bertepatan dengan si karantina-pandemi-yang-memaksa-diri-produktif-itu, aku menonton salah satu videonya yang berjudul, “How to Force Yourself to Learn Stuff” tak lama setelah ia rilis.

Fast forward empat tahun kemudian, dengan pengaruh sadarnya atau tidak, setelah aku diilhami untuk menonton ulang video tersebut, aku memandang bahwa ternyata aku cukup sering menjalankan sarannya.

Photo by Markus Spiske on Unsplash

Inisiatif

Setelah temanku Faliha mem-point out bahwa ia suka cara aku pakai framework-framework di tulisan “Growth Era: Refleksi Q3 2023", aku membacanya ulang dan justru lebih senang dengan bagian “Firsts!”. Sederhananya, di situ aku mendetailkan hal-hal di triwulan ke-3 2023 yang betul-betul pertama kali dilakukan dalam hidup. Aku ingat aku mengetik itu sambil tersenyum, memutar otak untuk mengenang hal-hal aneh yang kulakukan dari Juli hingga September.

Dan rasanya aku banyak sekali belajar dari segala macam firsts itu. Tapi dari mana firsts tersebut berasal? I think I best explain it here:

“Apa 20% dari usaha yang menghasilkan 80% dari output di Q3 ini?”

Aku rasa kuncinya adalah inisiatif. Value creation terbesarku di Q3 ini tidak berasal dari begadang hingga larut malam untuk mengerjakan tugas, loncat-loncat dari kerkom ke kerkom dan rapat ke rapat, atau bahkan langkah-langkah akhir menuju puncak gunung.

Banyak hal di firsts yang kuuraikan di atas asalnya dari inisiatifku sendiri, yang lalu kurangkai menjadi narasi yang convincing agar orang ikut semangat play a part. Aku sangat bersyukur keberanian dan ke-gaskeun-an untuk memulai yang se-‘sepele’ itu bisa membuahkan pengalaman-pengalaman luar biasa.

Contoh, deh.

Aku punya kenalan yang mengelola media kecil. Dan aku melihat bahwa kontennya sedikit, sementara scope pemberitaannya cukup seru. Singkat cerita, aku menawarkan diri untuk membuatkan video jurnalistik untuknya, berbasa-basi bahwa aku senang membuat konten dan pernah ikut kelas jurnalistik di Tempo meskipun tidak pernah menghasilkan konten jurnalisme. Aku bergerilya mencari topik dan narasumber yang menarik, segera mem-pitching konsep, dan bergegas merekam saat diiyakan.

Di sini, Adobe Premiere yang entah berapa lama aku tinggalkan kembali aku sentuh. Dan ilmu-ilmu jurnalistik dasar (terutama the art of asking questions!) kembali aku ulik. Lalu, dengan tekanan untuk membuat video yang lumayan, aku mempelajari berbagai teknik animasi teks dan mengunduh template-template yang mempermudah flow menyunting video berkali-kali lipat. Setelah diminta revisi, aku gercep menambahkan bagian lain dan mengakali penyuntingan untuk pengembangan story yang enak. Belum lagi soal kamera, thumbnail, copywriting, dan… yaa segala perintilan that goes into a single video. Rasanya cepat sekali aku bisa mempertajam segala macam skill, hanya karena satu tawaran iseng.

I saw a chance and I jumped at it. And I think I’m quite good at that.

Contoh-contoh lain kurang-lebih serupa: ada situasi yang berpotensi untuk dicemplungi, aku tahu aku bisa insert myself di situ (belum tentu harus fit sempurna loh ya), dan aku berkomitmen untuk bisa. Hasilnya? Mengesampingkan segala iming-iming insentif, akselerasi pembelajarannya saja pun worth it. Dan itulah poin Johnny Harris dalam videonya.

((Oh iya, inisiatif untuk jalan-jalan juga termasuk, karena jalan-jalan juga ada ‘skill’-nya haha.))

Excited Accountability

Photo by Marc-Olivier Jodoin on Unsplash

Di video “How to Force Yourself to Learn Stuff”, Johnny Harris menjelaskan excited accountability, atau akuntabilitas yang bersemangat, sebagai prasyarat dari speed boost atau percepatan pembelajaran. Sesuai dengan istilahnya, kuncinya adalah (1) semangat dan (2) akuntabilitas.

Di tahun 2012, Johnny yang masih awam di dunia motion graphics tiba-tiba diilhami untuk menawarkan jasa membuat video animasi kepada suatu instansi negara untuk salah satu programnya karena video default-nya jelek. Ketertarikan dan inisiatif inilah yang ia maksud dengan semangat. Ternyata instansi tersebut mengiyakan dan berekspektasi atas hasil yang baik darinya. Inilah yang ia maksud dengan akuntabilitas.

Dengan resep ampuh ini, Johnny tiba-tiba berada di titik motivasi yang tepat untuk belajar motion graphics. Ia sendiri punya semangat dan passion pribadi dalam project tersebut dan memiliki insentif untuk tetap konsisten dan membuahkan hasil konkrit karena harus akuntabel terhadap instansi tersebut. Kuncinya adalah cukup semangat sehingga dapat mulai berjalan, dan cukup akuntabel untuk bisa dipertanggungjawabkan atas karyanya.

Kalau kalian perhatikan, cerita aku dengan video jurnalistik di bagian sebelumnya amat sangat mirip dengan cerita ini. Dan kombinasi kedua unsur yang sama hadir juga ketika Johnny menawarkan sebuah project dokumenter ambisius kepada Vox, yang menjadi salah satu tipping point dalam perjalanan dan pembelajarannya.

Kalau kita coba pandang dua unsur ini, kita-kita yang punya passion dan list berisikan skill berbejibun yang ingin dipelajari itu seharusnya tak bermasalah soal ketertarikan atau semangat. Jadi, rasanya, yang memang menjadi gamechanger dalam resepnya Johnny Harris adalah unsur akuntabilitas. Ini bisa jadi agak tricky karena ada risiko kita terlalu gegabah dalam menawarkan diri, sampai-sampai kegagalan malah berpotensi sangat merugikan. Oleh karena itu, aku sangat mengadvokasikan untuk mencari safe place to fail. Contohnya adalah cerita video jurnalistikku. Mentok-mentok, videonya tak di-upload dan aku tak akan di-hire lagi — masih aman untuk gagal. Tapi ekspektasinya juga cukup banyak untuk menekan agar aku mau cepat belajar dan menghasilkan sesuatu yang oke.

Meskipun contoh yang aku gunakan di sini banyaknya di dunia video dan jurnalistik, ini berlaku untuk segala macam proyek dan segala macam skill. Aku ulangi karena lagi-lagi resepnya sederhana: excited accountability.

Saying Yes

Yes Theory

Kedua contoh yang kuuraikan di kedua bagian sebelumnya mengusung inisiatif sebagai unsur kunci dalam meraih kesempatan-kesempatan speed boost pembelajaran. Sayangnya, inisiatif itu tidak mudah untuk semua orang. Harus cukup tahu diri, tahu situasi, dan tahu peluang — belum lagi keberanian untuk memulai. Jadi di sini aku ingin tawarkan the next best thing: mengiyakan. Saying yes!

Dalam hari-hari tanpa obsesi, aku temukan bahwa ada banyak sekali tawaran untuk membantu ini-itu. Banyak yang agak aneh dan tak sepenuhnya ideal untukku juga. Tapi aku pikir aku tak begitu punya alasan untuk menolak, dan aku memang tak menjadikan ‘kayaknya aku kurang mampu’ sebagai alasan untuk menolak.

Itulah yang menyebabkan aku menjadi ustadz pengisi ceramah di acara peresmian masjid keluarga temanku di Garut, membantu-bantu segala macam inisiatif iseng Taufiq Pangestu, membaca tilawah di Halal Bihalal program studi, berangkat ke Jakarta untuk menjadi MC di acara BSI Thamrin, menjadi tim hore IISMA Alumni Jawa Barat, dan hal-hal agak absurd lainnya — kesemuanya menuntut aku untuk belajar sesuatu. (Again, excited accountability!!!)

Kita tidak pernah tahu ada mutiara apa dibalik tawaran dan ajakan teman kita. Barangkali itulah cara Tuhan mengajak kita pada jalan-jalan baru yang berpotensi mengubah trajektori hidup kita. Toh, aku menjadi Ketua P3RI dan bermagang di eFishery awalnya juga karena mengiyakan ajakan. Sebagaimana inisiatif, untuk ini kita perlu juga untuk cukup cakap dalam menimbang-nimbang dan membuat pilihan. But I find that growth is generally outside of our comfort zone. Dan kalau ada unsur sedikit tak nyaman dalam mengiyakan, you’re on the right track.

Tapi kalau seseorang tak berani inisiatif dan tak pernah ditawarkan atau diajak untuk melakukan apa-apa, gimana? Coba untuk aktif sebisamu dulu aja, karena pintu-pintu akan terbuka menyesuaikan itikad kita.

Lagipula, inisiatif dan penawaran cukup berkaitan. Tentu, memperbanyak inisiatif dan memperlebar network akan meningkatkan peluang dari tawaran-tawaran tersebut. Jadi, apapun itu, aku sangat menyarankan untuk sesekali mendengar celotehan iseng hati yang tak nyaman itu dan menindaklanjutinya. Siapa tahu jadi speed boost pembelajaran yang kamu butuhkan :D

--

--

Rakean Radya Al Barra

self-proclaimed preman medium, berbagi tiap jumat pukul 10 WIB