Scaled Empathy: Belajar Merasakan

Rakean Radya Al Barra
4 min readJan 26, 2024

--

Photo by Toa Heftiba on Unsplash

Berdasarkan Talents Mapping, talenta paling rendahku adalah empati.

Tentu, ini mengagetkanku dan membuatku khawatir bahwa selama ini aku diam-diam psikopat 😱. Jadi ini yang langsung kukonsultasikan ke praktisi. Untungnya, alih-alih ada masalah yang harus ditangani secara khusus, praktisi menafsirkannya lain.

Ternyata, maksudnya bukan bahwa aku tak punya empati, tetapi, untukku, empati tersebut tidak terjadi selangsung itu. Buatku, katanya, harus direnungkan, dipikir, dicerna dulu — baru akan terasa dan baru akan intens.

Menurutku penjelasannya masuk akal juga, dan sesuai dengan pengalamanku. Ini juga mungkin alasan mengapa, seumur-umur, ibuku (yang amat tinggi empati [dan cepat juga]) selalu menegur ke-“dingin”-anku terhadap orang lain. Ternyata emang aku gak bakat aja awikwoks.

Tapi itu bukan alasan untuk tidak melatihnya.

Jadi mau tidak mau, aku memperbanyak merenung. Mudah saja bagiku. Tapi ada satu masalah. Walau kucukup pandai memandang cerita dan perjuangan orang lain sebagai suatu hal yang seharusnya memicu respons emosional, pengalaman-pengalaman tersebut tetap terasa jauh.

Dengan begitu, aku menemukan bahwa merenung tak cukup untuk memunculkan empati tingkat tinggi: kamu harus mencicip.

Nyicip Nyicip

Photo by Kelly Jean on Unsplash

Dari obrolan random bersama temanku, Arsyad, tentang karya-karya Dostoevsky dan entah apa lagi, aku ingat ia pernah menyinggung soal respons emosional yang ditimbulkan dari membaca fiksi. Kata Arsyad waktu itu, membaca fiksi mampu menghasilkan respons emosi yang sama seperti kejadian yang serupa di dunia nyata. Menarik, kataku.

Jadi setelah kugali lebih lanjut, kutemukan bahwa ternyata diskursus tentang hal ini sudah lumayan terkenal dalam filosofi dan ada banyak perdebatannya. Ada yang meragukan bahwa hal yang tidak nyata bisa menimbulkan respons emosi yang murni. Ada yang punya bukti kalau fiksi dan cerita nyata sama saja respons emosinya. Dan lain-lain yang gak akan didalami di artikel ini.

Yang jelas, fiksi menyediakan cicipan dari dimensi-dimensi emosi yang mungkin sulit untuk digapai dengan cara lain (dengan catatan ini tergantung pada skill penulisnya dan konteks pembaca masing-masing). Beberapa orang juga berpendapat bahwa fiksi dapat membuat mereka merasakan emosi lebih daripada kehidupan nyata, karena fiksi memang sengaja dirancang untuk menimbulkan respons emosional (sperti One Piece akhir-akhir ini, atau ending 2521 lol).

Dalam konteks ini, aku menemukan bahwa, setidaknya bagiku, cicipan semacam yang dari fiksi ini krusial untuk bisa belajar ikut merasakan hal-hal yang terkesan ‘jauh’ dariku atau hal-hal berskala besar.

Contoh hal ‘jauh’ ini mungkin adalah kehilangan yang dirasakan oleh saudara-saudara kita di Palestina, yang bertahun-tahun tinggal di bawah penjajahan yang akhir-akhir ini (dan juga berkali-kali sebelumnya) diwarnai dengan kekerasan dan kematian yang disokong kebiadaban luar biasa. Atau juga kebingungan dan ketakberdayaan yang dirasakan oleh saudara-saudara tunawisma yang merangkak di perut kota, jauh dari atensi sehari-hari kita. Atau juga pengalaman mengenaskan dari kisah-kisah tokoh sejarah yang terpaksa melangkah dalam penderitaan tak manusiawi. Dan hal-hal ‘jauh’ lain yang mungkin sulit rasanya untuk betul-betul di-empati-kan karena simply gak kebayang.

Adanya cicipan rasa itu membukakan jalan untuk perenungan yang lebih berarti. Ada referensi emosi yang lebih mudah untuk di-skala-kan sehingga lebih bisa relate dan ikut tergerak saat menerima berita emosional. Aku selanjutnya menyebut fenomena cicipan rasa sebagai gerbang empati dengan istilah scaled empathy.

Cicipan untuk scaled empathy ini pun tak harus berasal dari fiksi. Ia bisa juga datang dari pengalaman sendiri yang lebih kecil skalanya. Pengalaman kehilangan teman masa kecil, misalnya, dapat menjadi basis untuk berempati dengan sahabat kita yang kehilangan, katakanlah, ibunya. Kedua hal memang skalanya tak imbang. Tetapi pengalaman kita sebagai cicipan membuat kita jauh lebih pure dalam berempati.

Dan ia membuat rasa-rasa yang berskala besar jauh lebih menggetarkan hati:

I thought I knew struggle until I talked to the needy.

I thought I knew pain until I reread the seerah.

I thought I knew loss until I learned of Gaza.

Belajar Merasakan

Photo by Esperanza Doronila on Unsplash

Untuk apa empati? Ia melunakkan hati, melancarkan syukur, membuka tabir air mata, dan memicu api yang menuntut sesuatu dari diri ini. Semuanya mendekatkan pada fitrah.

Aku yang ingin kembali pada kemurnian fitrah diri dan kebetulan sulit berempati jadi harus belajar, memang. Aku harus senantiasa mengenakan busana pejalan dan menjelajah dunia untuk mencari cicipan-cicipan yang dapat mengantarku pada hal-hal yang semakin mengikis sang eksoskeleton keras hati.

Dan walau bukan tentang empati, konsep inilah yang didekati dalam karya-karya pujangga Arab terdahulu. Esensinya sama. Hal yang dipersepsi ‘jauh’ dan abstrak seperti Tuhan harus bisa didekati dengan ‘cicipan’. Dan dengan demikian diciptakanlah oleh-Nya cinta pada makhluk, agar kita dapat merenungkan, belajar, mengenal skala — dan pada akhirnya tahu betul cara mencintai-Nya dengan semurni-murninya cinta.

Layaknya belajar mencintai yang Mahacinta via penciptaannya, scaled empathy pun seharusnya mengantarkan kita pada titik lebih murni yang dapat lebih menyelaraskan perasaan-perasaan kita dengan harmoni semesta yang diridai-Nya.

--

--