Seek Discomfort: Antarktika, New York, dan Zona Nyaman

Rakean Radya Al Barra
6 min readDec 22, 2023

--

Pernah dengar tentang Ironman Triathlon? Ialah seri olahraga jarak jauh berisikan 3,9 km berenang, 180,2 km bersepeda, dan 42,2 km berlari.

Mematikan, ekstrem, tak terdengar manusiawi.

Ironman adalah selebrasi dari kemampuan fisik manusia, dan memang bisa diselesaikan — hanya oleh manusia dengan kondisi fisik terprima. Dengan begitu, para pejuang Ironman melatih selama bertahun-tahun untuk akhirnya bisa mendekati potensi tubuh maksimal manusia.

Surprisingly, cukup banyak juga yang mampu. Sejak konseptualisasi Ironman Triathlon pada tahun 1978, angka penyelesaiannya telah mencapai ratusan ribu orang. Komunitasnya juga membesar dan semakin menarik perhatian global. Speaking of global, Ironman ini telah dilakukan di semua benua — termasuk Antarktika, sang benua beku.

Tantangan ini, sebuah Ironman standar 3,9–180,2–42,2 di Antarktika, diberi nama khusus: Iceman.

Yes Theory and Project Iceman

Aku diperkenalkan dengan kanal YouTube Yes Theory oleh teman sebangku SMA-ku, Rajji, saat masih kelas 10 — and I was hooked.

Dengan prinsip utama bahwa momen terbaik dalam hidup berada di luar zona nyaman, sekumpulan kawan mengadopsi mindset “yes” dan membuat konten mulai dari tantangan aneh seperti ditinggal tanpa uang di negara asing sehingga harus mengandalkan kebaikan orang tak dikenal atau bungee jumping di atas Grand Canyon, hingga eksplorasi kehidupan lokal di negara-negara “berbahaya” atau tempat-tempat abandoned. Yang aku suka adalah bahwa hal-hal clickbait ini bukan semata dilakukan untuk meraup penonton, tetapi benar-benar terasa bahwa mereka melakukannya atas dasar filosofi mencari ketidaknyamanan — sebab di situlah kita bertumbuh.

Konsep pencarian ketidaknyamanan ini mereka rangkum dalam nama clothing brand mereka: Seek Discomfort.

yes theory

Dengan komunitas besar di seluruh dunia, akang-akang Yes Theory mudah sekali berkoneksi dengan banyak sekali orang ber-value serupa. Salah satunya mereka temui di tahun 2019, seorang mantan konsultan manajemen dari Denmark yang sudah lelah dengan menepikan mimpi-mimpinya: Anders Hofman.

Dari tampak luarnya, kehidupan Anders tampak baik-baik saja: lulus dengan gelar bisnis yang dilanjut ke magister ekonomi dan bekerja di perusahaan konsultasi. Tapi deep down, semenjak Anders mulai bersekolah, ia merasa bahwa ada bagian dari identitasnya yang dirampas. Selama bertahun-tahun sekolah, jiwa “Anders kecil” yang pemimpi dan optimis meredup, menyisakan cangkang korporat tak berambisi yang terjebak dalam rutinitas. Selama sekolah hingga dewasa, rasanya apapun hal luar biasa yang Anders impikan langsung ditembak orang lain dengan komentar-komentar “ah, gak mungkin” dan “ngapain sih?”, memaksa Anders untuk mengikuti formula dan path yang telah terdefinisi dari sananya.

Tapi setelah “a lifetime of putting his dreams on hold”, Anders memutuskan bahwa ia tak bisa selamanya hidup seperti itu. Lalu, dalam rangka pembuktian ke diri sendiri dan dunia bahwa mimpi semestinya tak dipandang serendah itu — ia berencana melakukan sesuatu yang impossible. Pilihannya: menjadi orang pertama yang melakukan Ironman di Antarctica.

Perjuangannya ia mulai betul-betul sendiri, dari mengumpulkan uang, mencari sponsor, membangun narasi — semuanya sambil berlatih berenang, bersepeda, dan berlari, ditambah ice bath rutin untuk membangun ketahanan terhadap dingin. Cerita Anders sampai pada telinga-telinga manajemen Yes Theory, dan singkat cerita, mereka tersentuh.

Dengan begitu, Anders Hofman menjadi atlet pertama yang disponsori oleh Seek Discomfort, langsung sebesar 100.000 Danish Krone.

Tak hanya itu: perjalanan Anders dari persiapan hingga penyelesaian Iceman didokumentasikan dan dibuatkan menjadi film dokumenter “Project Iceman”, disutradarai langsung oleh Ammar Kandil dari Yes Theory. Mereka benar-benar terlibat dari awal proses sampai ke hari-H, dalam proyek gila yang berpotensi merebut nyawa.

Tapi proyeknya selesai. Setelah dua tahun latihan di negara-negara kutub utara, Anders dan tim dokumenter menjalankan ekspedisi 33 hari (dan Iceman 72 jam) ke Antarctica, dengan berbagai kejadian near-death yang berhubungan dengan singa laut leopard, badai salju, kehilangan komunikasi, dan angin sekencang 150 km/jam. Semuanya berhasil dieksekusi dan direkam, lalu tim kembali pulang dengan selamat.

Anders berhasil menyelesaikan Iceman pertama di sejarah dunia, dengan perjuangan kerasnya dibuktikan melalui film dokumenter yang memenangkan Best Picture dan Best Documentary Los Angeles Film Awards.

Kebetulan, aku sedang di Amerika pada saat premiere — penayangan awal terbatas bersama Anders beserta tim produksi film, disertai sesi talkshow eksklusif, yang diadakan di beberapa kota besar di seluruh dunia. Dengan pertimbangan bahwa itu once in a lifetime experience, aku menyisihkan uang dan waktu untuk berebut tiket dan menghadiri premiere terakhirnya di New York City.

nyc babyyyy

Limitations are Perceptions

Jiwa yang kita punyai semasa kecil yang terasa bisa bebas bermimpi kian lama kian hilang. Apakah semestinya begitu?

Hal-hal besar dan exciting yang ingin kita lakukan cenderung langsung dimatikan begitu saja oleh “pemikiran realistis” yang membelenggu. Sistem-sistem sosial yang begitu rewarding bagi orang-orang yang mau conform menghasilkan produk-produk layaknya pabrik: efektif dan efisien memang, tapi barangnya tak bernyawa.

Setelah menonton premiere secara up-close, dikelilingi oleh sesama pemimpi dan diceritakan langsung pengalamannya oleh Anders dan tim, ada api kecil di dada yang dibuat berkobar. Aku ikut terharu saat ditampilkan wawancara anggota keluarga Anders, ikut deg-degan saat tim menghilang di tengah badai besar, dan ikut patah semangat ketika Anders berkali-kali terjatuh dari sepeda.

Premiere tak sama sekali terkesan sebagai ajang pamer kelihaian ber-film atau ajang pamer pencapaian Anders, tetapi dibalut untuk relate sekali dengan kita: toh orang biasa dari Denmark bisa lari triathlon di Antarktika. It was touching on a personal level.

Bahkan, pada suatu titik dalam talkshow-nya, audiens diajak untuk sharing juga:

What is your Iceman?

Dalam suasana hangat itu, audience bercerita, dari yang memandang Iceman pribadinya ialah keputusan untuk beralih ke kehidupan di industri kreatif, hingga ke yang “sekadar” bermimpi untuk membangun hubungan baik kembali dengan ibunya. Meskipun jangkauannya mungkin jauh berbeda, secara spirit kita pasti punya aspek mimpi terkubur dalam kehidupan kita — yang kita kubur sendiri hanya karena kita menganggap kita terbatas mencapainya dan lebih baik tidak dipikir sama sekali.

Hal terbesar yang aku pelajari dari Project Iceman adalah bahwa limitations are perceptions — batasan adalah persepsi. Semua orang yang menganggap konyol atau tak mungkin mimpimu, termasuk dirimu sendiri, kemungkinan besar tidak pernah betul-betul menguji batasan-batasan tersebut. Maka yang terbangun adalah penjara persepsi, membekukan mimpi dan membuat mengalah. Tapi di saat kita menyadari bahwa kita layak untuk menguji persepsi itu — menguji batasan itu — dan committed untuk segala ikhtiar dan ketidaknyamanan yang menyertainya, hal-hal impossible nan personally meaningful dapat kita lakukan.

Dengan begitu, tulisan ini bukanlah advokasi untuk langsung melakukan hal-hal ekstrem seperti Iceman berdalih menembus persepsi batasan diri, tetapi untuk mulai memandang bahwa plafon yang kita tetapkan selama ini mungkin dibatasi persepsi — bahwa sejatinya ia jauh lebih tinggi dari itu.

Aku yakin manusia diciptakan untuk melawan kepayahannya sendiri.

Dan kalau gak berhasil? Kalau “terluka”?

Setidaknya telah ada komitmen moral untuk berjuang. Dan luka adalah keniscayaan.

So, what is your Iceman?

Karena ini bukan tentang uangnya, melainkan tentang menyebarkan pesan, film lengkap tersedia secara gratis di YouTube.

--

--

Rakean Radya Al Barra
Rakean Radya Al Barra

Written by Rakean Radya Al Barra

ngumbara rasa; berbagi tiap jumat pukul 10 WIB

Responses (4)