Semenjak Kejadian

Rijal dan Kesehariannya

Rakean Radya Al Barra
3 min readJun 7, 2024
Photo by Felipe Correia on Unsplash

Rijal terbangun dari lelapnya dengan nyut-nyut yang membuat pening. Ia meraba-raba sekelilingnya mencari jam kulit kasar yang padanya ingin ia peroleh waktu dan tanggal. Sebetulnya tak begitu perlu juga. Ia pikir tak masalah apabila ternyata ia telah tidur bertahun-tahun, seperti orang-orang di kisah lama nan begitu asing yang dulu pernah diceritakan kepadanya oleh Mamah semasa belia. Akan tetapi, waktu dan tanggal memberikannya sedikit rasa pasti, kemewahan yang lama tak ia rasakan semenjak Kejadian.

Begitu banyak yang berubah semenjak Kejadian.

Sebetulnya, ia tak begitu ingat apa saja yang berubah dan memang-dulu-bagaimana?— pusing tiap kali ia berusaha mengingatnya. Semuanya begitu samar seolah dalam lari-lari kecilnya di alam memori ada yang menaruh tembok besar pada saat Kejadian. Yang jelas ia yakin banyak hal telah berubah selamanya.

Entah apapun itu, segala hal berujung pada kondisinya meraba-raba di pagi hari.

Sial, rupanya jamnya telah hilang.

Rijal lalu beranjak dari tempat tidur sederhananya dengan kepala yang masih pening untuk melanjutkan rutinitas hariannya.

Langkah pertama tentu saja adalah mengunjungi toilet komunal — keburu adzan dan penuh oleh bapak-bapak setengah tertidur. Selama masih gelap, tak banyak yang terjadi di situ, dan ia memang lebih menyukainya demikian. Orang-orang itu biasanya kurang senang melihat dirinya, meskipun mereka tak akan mengakui hal tersebut. Untungnya pagi itu sama saja seperti pagi-pagi lain dalam rutinitasnya.

Setelah hajatnya telah tertunaikan, Rijal memulai pekerjaan door-to-door-nya. Rumah ke rumah ia datangi untuk bertransaksi. Hasil-hasilnya nanti akan ia putar lagi ke pasar. Semacam freelance, ia menganggapnya.

Hm, freelance.

Istilah zaman lampau sebelum Kejadian yang entah mengapa masih menyantol di pikirannya. Barangkali dahulu ia pernah menjadi pekerja freelance. Ia kurang tahu. Ia juga menduga pernah ada masanya ia mengotak-atik komputer seharian untuk bekerja. Dan kalau bertemu komputer lagi sepertinya akan familiar. Tetapi sekarang ia tak punya komputer untuk menguji hipotesisnya.

Pada sore menuju akhir hari, Rijal sering mengerutkan kening sembari berdiri-berdiri di perempatan tempat ia biasa berpikir, mencoba untuk menerka-nerka mengenai kehidupan yang ia yakini lebih baik sebelum Kejadian, tapi ia tak bisa.

Mengapa semua menjadi begitu buruk semenjak Kejadian? Atau apakah itu hanya halusinasi fana? Ataukah sekarang halusinasinya, dan ia sedang dalam mimpi buruk yang panjang? Apakah ia bisa bangun? Apakah ia bisa kembali? Apa itu kembali?

Terkadang ia menepis godaan sentimen ini yang membuat begitu frustrasi dengan pandangan logis bahwa sebelum Kejadian, bisa jadi segala hal tidak lebih baik. Atau mungkin Kejadian itu memang tak pernah ada dan hanya akal-akalannya untuk malas bekerja. Atau bisa jadi alam semesta memang baru berjalan semenjak Kejadian dan ia terlambat saja dalam membiasakan diri pada apa yang namanya hidup. Toh baru pertama kalinya menjalankannya — jika memang alam semesta ini baru. Lalu, jika sekarang begini adanya dan dahulu lebih baik, mengapa tak pernah muncul keluarga dan teman-temannya?

Memang pernah punya kah?

Mengapa tak ada yang membantunya?

Mengapa tak ada yang membantunya?

Apakah ia ditinggal?

Dengan lahirnya kata ‘tinggal’ dalam kepala Rijal, ia berhenti berjalan dan jatuh ke trotoar, tak mampu bergerak selain mulutnya yang seolah membunyikan seluruh gemuruh yang tersembunyi dibalik dadanya.

Rijal berteriak sekencang-kencangnya.

“Kenapa deh, dia?” bertanya Alia kepada rekan-rekan kerjanya di dalam mobil, hendak berpindah rapat ke hotel lain untuk mendiskusikan kebijakan ketenagakerjaan yang ramai diprotes masyarakat di Twitter, “Gak ada yang tertibin apa?”

“Oh si Bapak itu, Neng?” Sopir Grab tiba-tiba memasukkan dirinya ke dalam pembicaraan, menengok ketiga pejabat muda melalui spion tengah, “Udah lama kayak gitu. Katanya jadi gila setelah di-PHK, kelilit pinjol, terus dia kabur dari keluarganya. Saya orang sini sering lihat dia tidur di taman, mandi di masjid, mulung ke komplek, gitu-gitu. Kasihan ya.”

“Iya ya kasihan.”

“Terus kenapa emang, Neng?”

“Hmm, gak kenapa-kenapa sih. Tutup lagi jendelanya aja deh, Pak. Bisa minta tolong mainin musik, sekalian? Apapun dari Hindia deh Pak, lagi capek-capeknya kerja.”

Sehijaunya lampu, mobil itu kemudian berbelok dan menghilang dari perempatan, penumpangnya segera lupa dengan orang gila yang berteriak-teriak tidak jelas di pinggir jalan.

Lalu besoknya dan besoknya dan besoknya Rijal terbangun lagi dan lagi di atas kardus itu, meraba-raba tanah trotoar untuk mencari jamnya.

--

--

Rakean Radya Al Barra

mengumpulkan buah perjalanan | berbagi tiap jumat (and sometimes wednesdays)