Sobat di Singapore

Rakean Radya Al Barra
7 min readMar 23, 2023

--

Beberapa waktu yang lalu aku nemu screenshotan tweet berikut di Instagram:

Ada.

Namanya Arsyad.

Cerita aku ketemu dan deket ama makhluk Arsat ini terlalu panjang dan menarik untuk dimuat dalam satu tulisan Medium. Tapi intinya kita sempat sama-sama homeschooling walau gak satu sirkel komunitas, lalu kenalan yang benerannya di i’tikaf Salman. Setelah itu, ditakdirkan untuk tiga tahun sekelas selama SMA, menjabat di organisasi dengan epik sebagai kombo ketua-sekjen, dan hingga kini… apa ya “hingga kini”-nya, perasaan ngechat juga cuma beberapa kali dalam sebulan wkwk. Selain saling kirim memes di grup, memang jarang ada real conversation sama Arsyad: paling sesekali kalau ada hal penting buat di-discuss (biasanya urg jg yg inisiasi ah maneh mah sat).

Begitulah Arsyad; salah satu sobat hidup yang paling berpengaruh bagiku— dan semoga aku pun sebaliknya dianggap demikian baginya. Ah naon sih syad, getek nulisnya.

Langsung aja deh ke ceritanya.

Pada suatu waktu ketika aku masih di Penn, aku mengajak si beliau buat ngobrol catch-up setelah berbulan-bulan cuma berinteraksi di grup yang isinya sebatas memes dan reels IG. Kita nge-Zoom cukup lama, saling sharing tentang kehidupan abroad. Aku bercerita mengenai the American experience dan Arsyad memberikan perspektif tentang Singapore, tempat ia berkuliah. Menariknya, segala obrolan itu berujung “maneh kudu ka dieu”. Kamu harus ke sini.

Jadi deh kurancang rencana untuk bertemu dengannya dan menumpang beberapa hari di Singapore setelah selesai ber-IISMA di Penn.

Setelah aku pulang ke Indonesia berbulan-bulan kemudian, yang juga minim interaksi dengan si Arsat (dasar), aku mendadak bermain ke rumah teman sekelas kita, Rajji, yang tiba-tiba disuruh ikut sama ayahnya ketika ia bercerita tentang rencanaku pergi ke Singapore. Kebetulan malam itu, kita iseng mengajak Farhan Habib, yang ternyata ujungnya disuruh ikut juga sama orang tuanya (biar ga di rumah mulu ya bib ya).

Jadilah rencana mendadak untuk pergi bertiga ke Singapore di bulan Januari sebelum kuliah dimulai.

Dan serunya adalah — Arsyad gak dikasih tau bahwa Rajji dan Habib ikut, hahaha hancur semua rencanamu Syad.

Selama perjalanan, kami bertiga bercanda soal peluang ditahan dan sebagainya. Abisnya, waktu aku pergi ke Amerika, aku dan dua temanku sempat ditahan “secara random” untuk inspeksi lanjut di Chicago sampai ketinggalan penerbangan berikutnya. Itu pun rasanya tidak random, sebab aku punya nama “Al Barra”, satu temanku bernama “Muhammad”, dan satu lagi berkerudung. Sulit untuk berhusnuzan, rasanya.

Jadi deh perjalanan menuju Singapore dipenuhi candaan sompral seenaknya tentang kemungkinan seorang “Muhammad Rajji” dan “Farhan Habiburrahman” dicurigai oleh petugas.

Taunya beneran terjadi.

Setelah kami mendarat di Bandara Changi, kami memasuki ruangan yang dibatasi oleh jajaran pintu putar dengan petugas di tiap pintunya. Dari observasi kami, terlihat cukup mudah. Tinggal masuk, menyerahkan paspor, menunggu diperiksa, lalu lolos-lolos saja ke alam bebas. Aku dan Habib persis seperti itu. Tapi, di belakang kami berdua, ternyata Rajji diminta untuk ke pinggir dan menghadap ke petugas lain hahaha.

Si Rajji ini ditanya-tanya mengenai tujuannya ke Singapore, berencana bertemu siapa, dan sebagainya. Para petugas pun menelepon kontak yang Rajji masukkan ke form izin masuk negara: kontak Arsyad. Para petugas lalu berhasil menelepon Arsyad (yang saat itu ada di MRT menuju bandara) dan bertanya ke Arsyad tentang siapa saja yang berencana berkunjung.

Arsyad menjawab, “Only one person, Rakean.”

Petugas lalu meminta Rajji untuk memanggil si Rakean ini.

Hadeh.

Saat itu, aku dan Habib sedang duduk manis di ujung ruangan, menunggu kabar dari si Rajji dari kejauhan. Tau-tau terlihat si bocah ber-sweater biru itu melambai-lambai ke kita. Karena malas (astaghfirullah) dan masih sedang berusaha mengontak Arsyad untuk detail pertemuan, aku meminta Habib untuk menemui Rajji.

Tak lama kemudian, setelah bolak-balik, Habib melapor padaku bahwa Rajji memanggil Rakean. Hiya hiya hiya, baiklah.

Kemalasanku ditepis sementara dan aku segera menemuinya di ruang pinggiran itu.

Aku pun kaget saat petugas tiba-tiba bilang, “Oh so you are this Rakean? Let me see your passport.”

Mereka lalu bertanya-tanya kepadaku mengenai tujuan kami bertiga ke Singapore dan mengapa Arsyad hanya tahu ada satu orang yang akan berkunjung. Awalnya, mungkin karena wajahku sama-sama ASEAN, mereka berusaha menggunakan bahasa Melayu. Tapi setelah kubalas dengan ber-wasweswos bahasa Inggris berdialek Amerika (sekaligus flexing), mereka berganti bahasa ke Inggris dan jadi lebih mudah dipahami. Dan entah kenapa, dengan aksenku yang terdengar legit, rasanya mereka pun lebih respect ahahaha.

Si petugas-petugas ini bertanya mengenai tujuan kami ke Singapore, pekerjaan kami, pekerjaan Arsyad, dan mengapa Arsyad hanya tahu akan dikunjungi Rakean.

Aku menjelaskan bahwa kami bertiga berencana untuk men-surprise Arsyad dan itulah alasan mengapa ia hanya tahu akan didatangi olehku.

Di sini, aku agak khawatir bahwa rencana surprise kita gagal karena situasi, tapi aku pun kurang tau apa saja yang dibahas antara Arsyad. Tak pantas juga, rasanya, menanyakan ke petugas-petugas garang ini apakah surprise-nya mereka gagalkan atau tidak.

Oh well.

Aku pun berkomunikasi dengan Arsyad soal potensi keterlambatanku tanpa membawa-bawa persoalan dua orang ekstra.

Denang hati yang lebih tenang karena gak harus bikin Arsyad nungguin, kami menunggu para petugas mengetikkan entah apa ke komputer mereka sebelum akhirnya Rajji merdeka.

Alhamdulillaah.

Kita berjalan lagi dengan aman. Lalu tepat setelah keluar ruangan, kita disapa. Ternyata ada lagi yang nungguin — Teh Farah, kakaknya Habib.

Sementara aku dan Rajji memang gaskeun nan bodoh, Habib sudah punya safety net di Singapore berupa kakaknya yang kerja di sana. Aman si Habib mah.

Beruntungnya, aman ini ia tularkan juga.

“Mau makan apa?” tanya Teh Farah, “bebas aku beliin. Kita ke Jewel yah.”

Asiik.

Satu perjalanan bus bandara kemudian, kita semua sampai di Jewel, bagian dari bandara Changi yang ada air terjun terkenalnya itu. Sayang sekali karena mendekati tengah malam, air terjunnya mati. Karena kebanyakan opsi restoran sudah tutup, kita akhirnya agak terpaksa makan di A&W. Setelah memesan, aku baru ingat bahwa Arsyad masih berkeliaran mencari kita.

Jadi untuk melangsungkan rencana surprise sikami, aku berpisah dari grup ke bagian lain food court untuk menemui Arsyad. Dia ternyata harus jalan dari stasiun MRT yang berbeda terminal, tapi tak apa aku iming-iming dengan makan gratis.

Lalu, tiba-tiba muncul si budak teh, berpostur khas dengan kaos berkerah berlogokan NUS.

“Assalamu’alaikum!”

Si Arsyad ga banyak berubah. Masih gitu-gitu aja, termasuk kebersikerasannya dalam mewarnai rambutnya, yang tentu saja saia komentari. Kita basa-basi sedikit tentang perjalanan ke sini dan kulangsung ajak ke A&W untuk makan.

“Si Awe teh halal kan ya?” kupastikan, sambil berjalan ke A&W, ingin mendistraksinya agar tak melihat Habib dan Rajji yang sedang asyik makan di kursi dekat meja pemesanan.

“Oh semua franchise gede kaya gini mah biasanya dah halal kok.” Pandangan Arsyad masih lurus.

“Wah, good to hear.” Kita sampai di depan meja pemesanan. Antriannya pun sepi karena menjelang tengah malam. Arsyad memandang menu. “Sok Syad mau pesen apa?”

Persis di sebelah kanan kita, Teh Farah mengulangi, “Iya sok pesen ajaa, mau apa?”

Arsyad bingung — tiba-tiba ditanya oleh sosok tak dikenal, dalam bahasa Indonesia lagi.

Ia langsung melihat ke arah Teh Farah dan otomatis — Rajji dan Habib.

Makin heran dia.

“Lohh, kok! Kumaha, kumaha?”

Ekspresinya kocak. Heran campur senang bertemu kawan lamanya (tapi lebih banyak heran-nya sih).

Dari ekspresinya, langsung terjawab bahwa para petugas memang tidak membocorkan apa-apa hahah terimakazie petugas.

Arsyad langsung mendatangi meja, bersalaman dengan Habib dan Rajji, mengekspresikan keheranannya (“Kalem kalem kumaha ieu teh?”) sambil tersenyum lebar. Pertemuan-yang-sebenernya-istimewa-itu langsung berubah menjadi obrolan biasa, seolah itu hari yang normal di Kelas C atau Kantin Nano SMA 5 — seolah ga ada yang berubah.

Tuh kan: pas ketemu serunya tetep aja. Tanpa terasa ada halangan ber-conversation ria karena perbedaan atau apapun itu.

Rajji masih saja Rajji, walau sekarang udah punya production house. Habib masih saja Habib, walau sekarang jago riset pasar. Arsyad masih saja Arsyad, walau sekarang udah akselerasi skill di NUS. Rakean pun masih begini-begini aja.

Kita ngobrol bebas sambil makan, mengklarifikasi latar belakang si surprise ini dengan segala dramanya. Bahasan pun beralih ke sistem-sistem hidup di Singapore yang bisa aja di jokes-in sama Habib, yang (ditambah ketawa khas Habib) membuat kita susah berhenti tertawa.

Kami berkunjung ke Singapore selama 5 hari, dibawa ke berbagai tempat oleh Arsyad yang baik hati menemani meskipun sebetulnya ia baru mulai masuk kuliah lagi.

Ini salah satu perjalanan yang paling tidak “Rakean”. Berbeda rasanya dengan jalan-jalan keliling Amerika yang segalanya kuurus sendiri secara detail, kali ini rasanya aku menjadi anak kecil yang tinggal ikut orang tuanya ke mana-mana. Aku, Rajji, maupun Habib tidak menyusun rencana apa-apa ke Singapore selain tujuan utama bertemu dengan Arsyad. Jadi deh segala hal yang kita lakukan di sana spontan dan dijamin ke-oke-annya oleh wawasan lokalnya Arsyad.

Tanpa membeli paket kuota di beberapa hari pertama, aku pun generally useless dan betul-betul cuma menjadi pelancong di “rombongan tur”-nya Arsyad. Bagiku aneh — tapi menyenangkan.

Menyenangkan juga bisa bertemu kembali dengan Arsyad, yang obrolan panjang terakhirnya waktu aku masih di Penn itu. Kita berdiskusi tentang keresahan karir di kamar dorm-nya, tentang konsep syukur saat berjalan ke masjid, dan tentu saja perkara jodoh di bus waktu pergi berdua ke Orchard (dasar). Ada juga ke-Arsyad-an haqiqi yang random kayak waktu tiba-tiba dia ngomongin berbagai jenis parfum dan tingkat ke-worth it-annya di toko baju— membuatku berpikir bahwa aku lumayan rindu juga dengan keabsurdan si beliau.

Tiap harinya, kita pun tidur minimal pukul 1 pagi karena kebanyakan ngobrol, lalu melampiaskan kelelahannya di berbagai platform angkutan umum Singapore di siang harinya. Menyenangkan skaliy.

Sehat-sehat di sana Syad! Urg apal maneh terlalu sibuk buat baca ginian tapi semoga di ditu berkah slalu ye. Percaya lah didinya mah bakal aman-aman bae lah. Tong betah teuing bisi poho membangun Indonesia.

vlog rajji

Selamat Jumat dan selamat menjalani ibadah Ramadhan! Jangan lupa baca Al-Kahfi, ga kebayang tuh booster-nya berapa kali lipat hari ini ^^

--

--