Sudah Lama, Bosan Pula

Hal-Ihwal Ceramah Tarawih

Rakean Radya Al Barra
7 min readMar 22, 2024
Photo by Ahmed Sherif on Unsplash

Tak terasa, sudah sepertiga dari Ramadhan telah terlewati. Hari-hari dihiasi dengan berbagai amalan targetan, di samping ritual khas Ramadhan yang kita jalankan mulai sore hari hingga malam: rangkaian ngabuburit-buka-tarawih. Ternyata, meskipun tak begitu terasa, rangkaian tersebut menghabiskan persentase hari yang cukup besar juga.

Dan mungkin salah satu highlights-nya adalah Salat Tarawih, salah satu sunnnah istimewa di Bulan Ramadhan, yang seringkali dipandang ‘berat’ oleh muslim pada umumnya. And please bear with me, tapi penting rasanya untuk kita coba kupas beberapa hal dari Salat Tarawih dulu sebelum ke pokok bahasan.

Ibnu Rajab berkata, “Ketahuilah bahwa seorang mukmin di bulan Ramadhan memiliki dua jihadun nafs (jihad pada jiwa) yaitu jihad di siang hari dengan puasa dan jihad di malam hari dengan shalat malam. Barangsiapa yang menggabungkan dua ibadah ini, maka ia akan mendapati pahala yang tak hingga.”

Dari Bukhari, kata Rasul shalallahu ‘alayhi wasallam, “Barangsiapa melakukan Qiyam Ramadhan karena imanan wahtisaaban (iman dan mengharapkan pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”

Imam Nawawi rahimahullah mengkarakterisasi Qiyam Ramadhan di sini dengan artian Salat Tarawih. Beliau juga berkata, “Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka berselisih pendapat apakah shalat tarawih itu afdhol dilaksanakan sendirian atau berjama’ah di masjid. [Banyak ulama] berpendapat bahwa yang afdhol adalah shalat tarawih dilakukan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khattob dan sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus ikut melaksanakannya seperti itu.”

Dari beberapa informasi ini, kita bisa simpulkan bahwa Tarawih adalah salat malam sebagaimana Tahajjud, yang dilaksanakan di bulan Ramadhan dengan berbagai keutamaan yang amazing. Kaum muslimin pun memposisikannya secara istimewa dengan menjadikannya salah satu ritual berjamaah mengikuti contoh para sahabat.

Lalu bagaimana dengan ceramahnya?

Kita ketahui bahwa khutbah Jumat adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari rangkaian Salat Jumat. Ada pun pendapat para ulama yang mengkarakterisasinya sebagai sunnah muakkad (ditekankan/mendekati wajib) bahkan wajib.

Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk ceramah tarawih. Sepemahamanku, alih-alih menjadi suatu sunnah khusus yang memiliki kedudukan hukum tertentu, ceramah tarawih adalah bentuk syiar yang memanfaatkan situasi terkumpulnya jamaah secara masif dalam momentum Ramadhan yang penuh semangat spiritual. Opportunity yang menarik!

Secara implisit, ialah dakwah efektif-efisien. Efektif karena in theory Ramadhan membuat orang lebih peka terhadap tausiah dan efisien karena jamaah sudah terkumpulkan untuk salat Tarawih berjamaah jadi ya — sekalian.

Lalu kalau tujuannya adalah dakwah efektif-efisien, mengapa rasanya seringkali tidak demikian?

curhatan pemuda

Dari berbagai eksplorasiku melakukan safari Tarawih, tak jarang rasanya aku menjumpai ceramah Tarawih yang disampaikan secara tidak antusias, disambut oleh jamaah yang tidak semangat. Sayang aja rasanya seolah lose-lose situation. Yang ceramahnya gak pengen ceramah, yang diceramahinnya gak pengen diceramahin — duaduanya mau segera udahan. Ke manakah tujuan awal? Kalau memang begitu, untuk apa diadakan?

Tujuan tulisan ini bukanlah untuk mendiskreditkan ceramah Tarawih, menyatakan pertidaksetujuan, apalagi mengharam-haramkan. Aku hanya menyayangkan jika ritual spesial dengan waktu terbatas (1/12 tahun) sebagaimana Shalat Tarawih malah kontraproduktif karena ceramahnya — menghabiskan waktu dan memiliki stigma ‘berat’. Padahal ia bisa menjadi tools dakwah yang efektif-efisien.

Jadi ya mari kita tengok sabda Rasul,

“Jika seseorang menjadi imam, hendaknya ia ringankan shalatnya. Karena di barisan ma’mum terdapat orang lemah, orang sakit dan orang yang memiliki keperluan.”

Fenomena BATAN dan PDAM

sefruit analogi

Anak ITB banyak yang memiliki keperluan. Banyak juga yang sok memiliki keperluan. Dengan dalih keperluan ini, tak jarang yang skip Tarawih sepenuhnya karena menghabiskan terlalu banyak waktu. Tentu tiap orang beda-beda cara analisis dan definisi cost-benefit-nya.

Muncullah penyelamat berupa Masjid Dzarratul ‘Ulum (BATAN) dan Masjid Maaim Maskuub (PDAM) yang bisa selesai seluruh rangkaian Tarawih di sekitar pukul 20.00 WIB, karena tidak ada ceramahnya. Sementara, di Masjid Salman, selesainya hampir pasti setelah 20.30 WIB, bahkan beberapa kali mendekati 21.00 WIB — tergantung penceramah dan imam.

Lagi-lagi, tiap orang memiliki pertimbangannya masing-masing, dan aku tidak ingin men-judge apapun dari jamaah setia ketiga masjid tersebut.

Yang lebih menarik buatku adalah menengok sudut pandang muslim terawam terkait hal ini, termasuk beberapa temanku. Tanpa BATAN atau PDAM, barangkali mereka tidak akan Shalat Tarawih sama sekali hahaha.

Terus apa yang salah dengan Tarawih di Salman?

Bagus-bagus aja kok menurutku. Sangat bagus malah. Jika memang suasana kental Ramadhan dan jamaah bersemangat yang kamu cari, Salman-lah tempatnya. Jika ceramah Tarawih insightful dari berbagai tokoh masyarakat yang kamu cari, Salman-lah tempatnya. Jika bacaan shalat merdu yang kamu cari, Salman-lah tempatnya. Syiarnya punya segmen dan strategi tertentu. Hanya saja, anak ITB yang banyak memiliki keperluan itu barangkali bukan segmennya hahaha.

orang pun bisa pindah2 segmen tergantung keadaan wkwk (source: story whatsapp pudin)

Syukur-syukur aja imam Masjid BATAN, Kang Fitroh, tetap memiliki bacaan yang tertib (tadwir mendekati hadar kali ya?) sehingga jamaah yang mencari tarawih cepat tanpa ceramah tidak dihadapkan dengan ritual shalat yang asal-asalan.

Lalu bagaimana dengan masjid-masjid lain di luar sana? Rasanya, yang tidak menyisakan pilihan untuk jamaahnya cukup banyak juga. Sudah lama, bosan pula — belum lagi bacaan shalatnya gak enak. Hadeuuuh.

Jika Aku Menjadi Bapak-Bapak Komplek

Photo by Mark Hang Fung So on Unsplash

Akhir-akhir ini aku jadi tambah apresiasi terhadap ceramah tarawih di kompleks perumahan.

Di daerahku sendiri (yang lumayan pelosok), aku memilih untuk lebih sering ber-Tarawih ke masjid RW sebelah yang lebih established. Dan ada kalanya aku tiba-tiba senang sendiri setelah shalat di sana karena rasanya beuh ni Tarawih goll banget!

Sebagai contoh, salah satu ceramah Tarawih yang diisi oleh Ketua DKM-nya sendiri membawakan tema pengelolaan sampah rumah tangga. What??

Awalnya, beliau memaparkan beberapa kondisi makro soal TPA-TPA dan TPS-TPS yang ada di Bandung, disambungkan ke kondisi kemarin-kemarin yang mana sampah menjadi permasalahan di tiap RT karena tidak bisa diambil. Ceramah dibuat terasa relevan bagi hidup pribadi para jamaah.

Hal ini disambungkan lagi ke firman Allah untuk tidak wasteful, membacakan dalil-dalil tentang larangan mubazir dan juga tanggung jawab umat manusia sebagai pengelola dari Bumi dan rahmat sekalian alam.

Katanya kan, kita muslim ini khairu ummat? Kita coba buktikan!

Ceramahnya pun diakhiri dengan anjuran untuk mengelola sampah mulai dari rumah tangga masing-masing dan juga peringatan untuk saling mengajak dalam hal ini. Lalu shalatlah kita dengan imam muda yang oke.

Gol!

Relevan. Terasa dekat. Mengandung unsur spiritual. Ada call to action yang jelas. Shalatnya oke.

Kendati selesai di 20.30, rangkaian tarawih tersebut menurutku cukup ideal. Kalau aku adalah jamaah yang tak punya pilihan lain, aku akan tetap sangat nyaman dengan tarawih tersebut.

Menurutku, poin utamanya adalah relevan dan terasa dekat. Di lain keadaan, dalam suatu masjid random di daerah Tubagus Ismail, aku menemukan hal yang sama — penceramahnya terasa familiar dan dekat dengan warga, sehingga reminder-nya untuk memperbanyak membaca Al-Quran selama Ramadhan terasa lebih likely untuk menyentil.

Dua poin tersebut belum tentu harus dibawakan oleh seorang yang memang lokal. Penceramah panggilan atau ustadz keliling pun dapat membangun rasa relevan dan dekat apabila paradigma mereka di awal sudah benar — ceramah inilah syiar efektif-efisien.

Teladan terteladan kita, Rasulullah Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam pun terbiasa memperhatikan jamaahnya: kesiapannya, kesabarannya, karakteristiknya. Dari Ibnu Mas’ud, ada cerita bahwa beliau shallallahu ’alaihi wasallam juga memperhatikan kesiapan orang yang diberi ceramah — untuk memastikan jamaah tidak malah jengkel dengan adanya ceramah tersebut.

Lagi-lagi balik ke tujuan. Ceramah adalah syiar efektif-efisien. Bukan ajang unjuk gigi. Bukan ajang ngiklan ormas. Bukan ceklisan amal Ramadhan. Tapi cara untuk mengetuk hati jamaah dan serentak melangkah sedikit lebih dekat menuju Allah.

Inspiring, under limited time. Ted-X-ifikasi ceramah Tarawih. Hahaha.

Dengan begini, muncul pemikiran iseng. Jika pada suatu hari aku berhenti menjadi hiperaktif dan menetap menjadi bapak-bapak komplek kelak (entah kapan), bagaimana caraku mengatur per-Tarawih-an nanti? Barangkali bisa disusun kurikulum sesuai keadaan orang-orang komplek.

Nanti siapapun yang dapat giliran ceramah, atau siapapun yang diundang, dapat di-briefingkan semacam ToR singkat mengenai poin-poin yang selayaknya dibangun. Waktunya bisa ditekan dan dibatasi, dibuat pembiasaan untuk public speaking yang baik— karena sejatinya kita ini sedang pitching sebuah produk yang luar biasa valuable kan ya? Feedback dapat dikumpulkan dari obrolan-obrolan bersama jamaah, menjadi inputan untuk iterasi selanjutnya yang semakin baik lagi. Terdengar seru hahah!

Lalu bagaimana hal ini bisa di-scale up? Keadaan idealnya mungkin adalah adanya segmentation-positioning-targeting yang jelas untuk tiap masjid dalam menjalankan syiar Tarawihnya. Ada masjid komplek yang diketahui publik cukup established dan isi syiarnya udah bisa cukup advanced. Ada masjid komplek yang fokus ke pendidikan anak-anak dan masyarakat awam sehingga ceramahnya ringan. Ada masjid umum besar yang menarik massa umum dan memiliki ceramah-ceramah general dengan semangat Ramadhan. Ada masjid yang seperti BATAN dan PDAM tanpa ceramah. Dan idealnya, semua informasi ini diketahui publik dan ter-brandingkan dengan jelas. Dengan begitu produknya akan jauh lebih terasa manfaatnya.

(ceilah apalah ini ocehan Manajemen Rekayasa bangeud cenah)

Tentu keadaan ideal sulit dicapai, tapi setidaknya bisa diangkat diskursusnya di wadah dan wewenang kita masing-masing.

Wahai pemuda aktivis kompleks perumahan, ajak ngobrol lah bapak-bapak masjid kompleksmu itu! Wahai panitia Ramadhan, cermati kembalilah tujuan dari ceramah Tarawihmu itu! Wahai imam-imam, perhatikanlah kondisi jamaahmu itu! Wahai jamaah, perhatikanlah karakteristik masjid-masjid sekitarmu untuk bisa menyesuaikan keadaanmu itu! Wahai anak ITB, ditunggu di BATAN (xixixi canda batan)!

Mari kita wujudkan syiar yang efektif-efisien, yang dapat membuat Ramadhan kita semua jadi lebih bermakna.

--

--